Hanyut | Cerita Pendek Faiza Zahra

dok. Faiza Zahra

Dia menyibakkan rambut bergelombangnya yang sebahu ke belakang telinga. Kedua pasang kakinya yang telanjang, basah dan kasar terkena pasir kehitaman. Sebenarnya sekujur tubuhnya telah basah dan beraroma sedikit amis. Tanpa berkedip ia terus menatap ke bawah dan melipat kedua tangannya di depan dada. Saat itu matahari barusan menampakkan rupanya perlahan, guratan kemerahan masih segar dan hangat. Sementara itu cuitan burung disamarkan oleh deru kendaraan yang lalu lalang di jembatan, tepat berada di seberang, posisinya lumayan tinggi jika dibandingkan dengan posisinya sekarang. Gadis itu tampak seperti perempuan pada umumnya dari luar, dalamnya entah bagaimana. Sebab mana ada orang waras yang hampir menceburkan dirinya menuju lautan di pesisir, lautan yang dihias oleh kemasan makanan ringan, botol-botol minuman ringan, hingga mayat ikan cucut yang menyangkut di bebatuan, barangkali mereka sudah tidak kuat akan limbah yang mencemari kehidupan mereka. Lantas, apakah ada limbah yang berseteru dengan gadis di hadapannya ini.

Seseorang di depan gadis itu menghela napas panjang. Tangan kanannya menyodorkan sepasang sepatu bergaya flat seperti sepatu balet, warnanya masih putih bersih, berbeda dengan gadis yang kini berdiri di hadapannya. Ia masih menunduk tajam. Tadinya ia pikir selepas membeli sebungkus nasi campur untuk sarapan di warung tegal langganannya dekat sini, urusannya sebatas makan dan berangkat untuk kuliah. Layaknya batu karang yang tajam mengelilingi mereka berdua. Tentu saja baik dirinya dan gadis itu tidak menduga bahwa semua ini akan terjadi. Mereka tidak kenal satu sama lain. Seolah-olah teman lama, ia memikirkan apa yang akan meluncur dari lidahnya. Atau barangkali ia akan membiarkannya berbicara duluan.

Hanya terdengar debur ombak pelan dan deru kendaraan bermotor, sedikit hembusan angin yang bergesek dengan bebatuan karang di sekitar mereka.

Gadis itu mengangkat kepalanya, iris kehitaman yang jernih menangkap bayangannya yang keheranan, menatap tajam, lebih tajam dari bebatuan yang menusuk telapak kakinya, masih berbalur pasir dan lembab. Walau sorot matanya tajam, ia tampaknya kurang tidur. Kantung matanya bertengger jelas. Yang ditatap membalasnya dengan menggigit bibir gugup. Baiklah, sepertinya ia akan mengambil sepatu miliknya dan segera berlari dan meninggalkannya cepat. Ia yakin sepasang sepatu itu jelas miliknya, ukurannya terlihat pas.

“Mas tidak perlu menolong saya.”

Gadis itu berbicara duluan. Seseorang di hadapannya terlihat terkejut.

“Ini sepatu milik mbak ya? Saya kira ini milik mbak.”

“Iya, terima kasih banyak.”

Tangannya menyambut sepasang sepatu flat putih bersih itu. Selepas memasangnya, ia membungkuk pelan.

“Saya hanya takut kalau terjadi apa-apa dengan mbak,” balas orang yang terbalut dalam jaket dengan logo klub sepakbola asal Spanyol di bagian dada sebelah kanan.

“Sebenarnya memang itu tujuan saya. Dari mana mbak temukan sepatu tersebut?”

Yang diajak berbicara mengarahkan jarinya menuju tepian jalan yang penuh oleh tenda-tenda warung jalanan yang masih tutup.

“Rencana saya selalu gagal akhir-akhir ini,” ujarnya pelan. Sepertinya memang ada banyak limbah yang mengalir dalam darahnya. Dari tatapan dan gestur tubuhnya, bahkan sekarang ia menangkupkan kedua telapak tangannya ke muka. Ia pernah berada di posisi itu, jadi ada sedikit empati, bercampur aduk dengan kebingungan. Tapi ia belum pernah menceburkan diri menuju laut, terlebih mengapa ia memilih tepian yang dangkal, kurang lebih tidak sedalam kolam renang dewasa. Tepian tersebut penuh dengan sampah-sampah plastik juga mayat ikan cucut yang keracunan, menyebabkan aroma amis turut menemani. Pantai di kota tersebut mungkin salah satu yang terjelek di dunia ini, tidak terawat, airnya keruh dan spektrum biru yang indah sulit untuk ditemukan. Nelayan-nelayan juga mengeluhkan hasil pancingan yang semakin berkurang. Tidak ada panorama berupa pegunungan yang menakjubkan, hanya jembatan yang menghubungkan kota itu dengan pulau di seberangnya. Pantai itu menumbuhkan pertanyaan dan rasa jijik alih-alih menenangkan pikiran. Lantas, apa yang dicari oleh gadis itu di lautan yang muram ini?

Seminggu yang lalu, ia baca berita di koran lokal, seorang mayat laki-laki ditemukan mengambang di lautan tersebut. Polisi menemukannya, akibat penemuan sepeda motor yang tak bertuan di trotoar jembatan itu. Ia khawatir gadis itu mempunyai tujuan yang sama dengan almarhum yang nahas kehilangan nyawanya, tujuh hari yang lalu. Pernah ia baca lagi-lagi di koran yang sama, orang dengan niat seperti itu perlu dirangkul dan didengarkan. Mungkin gadis ini hanya butuh teman bicara. Tetapi barangkali gadis ini jahat?  Bisa saja ia habis membunuh seseorang bukan? Asumsi-asumsi itu terus berjatuhan layaknya durian di bulan Desember. Gadis itu mengenakan kaus hijau toska dan celana bermotif batik selutut. Gadis itu lebih pendek darinya. Gadis itu tidak terlihat seperti seseorang yang mampu menghilangkan nyawa sesamanya. Gadis itu masih mematung di hadapannya. Baiklah, sepertinya ia bukan ancaman baginya. Lagipula kalau ternyata ia hanya seseorang yang tidak waras, ia tidak akan melukainya.

“Sudah sarapan mbak?  Saya habis beli nasi di warung dekat sini. Kebetulan saya beli dua bungkus, ini satunya buat mbak saja,” sahutnya sambil mengeluarkan  sebungkus nasi dari kantung plastik yang ia letakkan sejenak di sampingnya sesaat setelah membantu gadis itu keluar dari tepian laut. Ia menggelengkan kepala.

Canggung, ia menyerahkan sebotol minuman soda dari kresek yang kini ia pegang erat. Sang gadis mengambilnya dengan gestur patah-patah, membuka tutup botolnya, lalu menenggaknya cepat tak bersisa.

“Terima kasih banyak mas, berapa harganya? Saya ambil uangnya dulu dari rumah saya ya? Janji kok, nggak bakal saya tilep.”

“Santai mbak, nggak usah dibayar juga tidak apa. Saya perempuan kok mbak, ngomong-ngomong, hahaha.”

“Janganlah mas, eh  maaf, mbak maksudnya. Rumah saya dekat sini kok, sebagai ucapan terima kasih. Jangan ditolak ya?”

“Santai , panggil saja saya Dam.”

Potongan rambut Dam memang bergaya cepak. Lebih nyaman baginya begitu, kota ini sangat panas dan rambut panjang tidak berjodoh dengannya. Badannya yang kurus terkatung dalam celana pendek gombrong berpadu dengan jaket kesayangannya.

“Terima kasih banyak, Mbak Dam. Sebentar, saya ambil uang dulu ya? Mbak tunggu di sini saja, nggak apa-apa.”

Sebenarnya Dam sedikit khawatir pada gadis tersebut. Bukan karena ia takut apabila gadis itu kabur dan tidak memberinya selembar uang lima ribu rupiah, namun bisa jadi ia menceburkan dirinya menuju laut lagi, siapa tahu . Lebih baik ia turut mengiringi gadis itu berjalan menuju rumahnya. Lagipula gadis itu terlihat lebih muda darinya, sebaya dengan adiknya di bangku sekolah menengah atas. Membayangkan adiknya menceburkan diri menuju lautan saja sudah membuatnya bergidik. Ia menggelengkan kepala.

“Nggak, saya ikut kamu saja, tidak apa-apa. Saya punya adik seumuran kamu, nanti kalau kamu mencebur ke laut lagi gimana? Bahaya lho.”

“Eh, kalau mbak Dam mau bareng sama saya juga tidak apa kok, tapi jalan lho mbak, saya nggak bawa motor, hehehe.”

Rasanya gadis yang kini berbicara di sampingnya itu berbeda dengan gadis yang sebelumnya basah kuyup oleh air beraroma amis di lautan itu. Walaupun tetap saja kini tetes air masih berjatuhan dari bajunya. Langkah mereka kini beriringan, sandal jepit Dam dan sepatu flat balet milik gadis itu berderap bersama. Dam masa bodoh dengan uang lima ribu rupiah, namun ia penasaran. Gadis ini diselimuti misteri. Menjadi teman bicara untuk meluapkan apa yang sesak di dadanya, sehingga ia menceburkan diri ke laut di pesisir yang dangkal itu. Rambutnya yang bergelombang seakan-akan menari dengan langkahnya. Dam mengingat adiknya yang terkadang mengajak teman-teman sekelasnya untuk bermain di rumahnya. Rumah mereka tidak terlalu besar, tapi lokasi itu digemari oleh sahabat adiknya. Berbeda dengan Dam yang pendiam, adiknya cukup terkenal di sekolahnya. Sebagai anggota ekstrakulikuler tari modern, adik Dam kerap berlatih bersama para sahabatnya di teras rumah keluarga Dam. Seperti anak SMA pada umumnya, mereka membicarakan tentang grup idola dari Korea Selatan, membeli minuman ala zaman sekarang yang manis sekali, dan sesekali membicarakan kakak kelas yang menurut mereka keren di sekolah. Tidak akan ada yang berbicara mengenai asam lambung yang kambuh, utang keluarga yang belum lunas, atau bos tidak tahu diri yang selalu menekan jam kerja. Setidaknya masa muda tampak lenggang dan menyenangkan.

Gadis di sebelah Dam, apakah hal-hal yang menyenangkan tergantung dalam dirinya? Mengapa memllih untuk menceburkan diri ke laut dangkal? Dam terus mengikuti kemana arah gadis itu berjalan, melipir ke gang sempit yang masih berbatasan dengan pesisir lautan. Jembatan besar yang khas itu masih terlihat dari sana.

“Saya tadi sebenarnya tersandung sama sepatu kamu waktu mau pulang habis beli nasi campur ini,” ucap Dam memecah keheningan.

“Wah, maaf mbak. Harusnya saya letakkan lebih jauh lagi ya, biar mbak tidak tersandung,” balasnya dengan tersenyum.

“Kalau saya tidak tersandung sepatumu keburu kamu hanyut di laut nanti. Walaupun dangkal, kan itu hampir ke tengah-tengah laut, dik. Lautnya juga bau lho, hahaha.”

“Saya hanya penasaran mbak, rasanya jadi ikan itu bagaimana… akhir-akhir ini tangkapan ikan bapak saya semakin berkurang, mau gimana lagi, nanti kami nggak bisa makan mbak.”

Dam tertegun. Jadi bapaknya seorang nelayan. Jawaban gadis itu tidak lazim tapi Dam mencoba untuk mengerti. Lautan, tampaknya tidak dihuni oleh ikan-ikan. Hanya mayat-mayat ikan saja. Kemudian sampah, dari manusia. Ia menatap gadis itu kembali.

“Sekolah di mana? Adik saya seumuran seperti kamu.”

“Barusan lulus SMA mbak, tapi saya nggak kuliah. Cari kerjaan juga di mana-mana inginnya yang berpengalaman. Saya sih memang berpengalaman, tapi sekadar mencebur ke laut kayak tadi.”

Gadis itu melanjutkannya dengan tawa pelan. Mereka berhenti di depan sepetak tanah yang  sempit di antara rumah warga-warga lain. Ayam-ayam bersahutan kesana kemari, anak-anak kecil menggiring bola plastik di hadapannya. Sang gadis mendekati salah satu anak yang asyik bermain. Mereka berbicara sebentar. Lalu ia memasuki sebuah rumah yang terbuat dari seng dan asbes di sebelah petak tanah yang disusun sedemikian rupa guna melindungi diri dari panas dan hujan. Ada perasaan yang campur aduk dalam hatinya. Yang jelas, gadis ini menghadapi beberapa hal yang tidak mungkin dihadapi oleh adiknya atau dirinya tujuh tahun yang lalu. Sambil berlari, gadis itu tidak lagi mengenakan sepatu flat putih yang sebelumnya ia pakai. Kakinya telanjang, namun ia telah berganti  pakaian, kaus dengan gambar calon walikota dan wakilnya serta celana pendek warna merah. Beberapa bulan lalu, memang ada pemilu untuk menentukan walikota baru. Kebetulan calon yang terpampang dalam kaus yang dipakai gadis itu memenangkannya. Sayangnya, keadaan di kampung gadis itu masih sama. Ia merogoh saku celananya.

“Nggak usah, buat kamu saja. Lumayan buat beli es teh sama gorengan kan?” ujar Dam sambil menggelengkan kepalanya.

“Lho mbak, beneran?”

“Iya. Ada orang tua kamu di dalam?”

“Kerja mbak dua-duanya, bapak saya masih di pasar ikan, ibu jadi rewang di rumah teman sekolah saya.”

Dam mengangguk-angguk. Gadis itu kembali berkata sambil menggaruk-garuk kepala, “Tapi misalnya ada orang tua saya, jangan dilaporkan juga ya mbak. Nanti saya sama adik saya dicermahin.”

Dam tersenyum. Ia berubah pikiran, menyerahkan sekantung kresek berisi dua bungkus nasi campur yang mempertemukan mereka berdua. “Uangnya kamu simpan saja, sarapan dulu sama adikmu ya, sudah jam segini lho.” Mata gadis itu terbelalak, tapi ia tampak senang.

“Mbak kok baik sekali, benar-benar. Terima kasih banyak! Tapi nanti mbak sarapan apa?”

“Paling makan bubur ayam, depan gang rumahmu ada yang jualan kan itu, tadi saya lihat, hahaha.”

“Oh, buburnya Pak Rahmat, enak lho mbak!” Dam menghela napas lega. Pokoknya gadis ini bisa makan dulu.

“Saya pamit dulu ya, titip salam untuk bapak, ibu, dan adikmu.”

Sang gadis melambaikan tangan. Dam melambaikan tangan juga, ia berbalik badan dan berjalan perlahan. Ia tiba-tiba teringat.

“Siapa ya nama gadis itu?” Perutnya yang keroncongan membuatnya lupa akan hal itu.

***

Hari Senin. Dam masih terduduk di jok sepeda motornya yang terhenti di tengah-tengah jalanan macet. Pukul enam pagi bukan waktu yang biasa untuk kemacetan yang menunda perjalanan Dam menuju kantornya. Mobil-mobil saling mengklakson. Sepeda motor Dam masih terhimpit di antara mobil-mobil di jalanan itu. Sirine ambulan terdengar, barangkali ada kecelakaan. Jarak kantor Dam perlu ditempuh sekitar sepuluh kilometer lagi. Jari-jarinya menggapai ponselnya yang masih tersimpan di tas selempangnya.

“Selamat pagi pak? Saya Damar Amerta dari Divisi pemasaran satu, mohon maaf atas keterlambatan saya, terjadi kecelakaan mendadak…”

Beberapa peristiwa yang terjadi di dunia ini kebanyakan sulit untuk ditebak dan begitu acak, beberapa peristiwa menciptakan konsekuensi yang tidak tanggung-tanggung. Orang-orang di kerumunan mengaku tidak saling kenal, namun mereka setidaknya pernah melintas satu sama lain, di suatu tempat yang mereka lupakan. Mobil patroli polisi dan ambulan berada di tepi jalanan itu agak menurun dari jembatan, yang menghubungkan kedua pulau yang telah lama bersaudara. Mayat telah diangkut menuju ambulan, polisi-polisi masih berlagak menstabilkan jalanan. Matahari bersinar semakin terik, kehidupan terus berjalan. Walaupun di area ini ada satu nyawa yang melayang. Tidak ada serpihan kendaraan yang rusak di jalanan, maupun darah yang mengalir di sela-sela aspal. Tetapi ada sepasang sepatu flat balet putih di trotoar, tepat di samping besi berkarat pembatas jembatan.

 

Penyelaras aksara: Gentayu Amanda
Foto sampul: Faiza Zahra

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts