FSTVLST mengadakan Doa Wiwitan Makarya di Liberates Creative Colony (1/22). Acara ini merupakan doa untuk memulai langkah kembali FSTVLST dalam berkarya setelah dua tahun masa pandemi. Diawali dengan diskusi dan potong tumpeng, acara ini diakhiri dengan pertunjukan kecil FSTVLST. Tak banyak yang diundang selain keluarga, kolega, media, dan beberapa festivalist.
Acara ini memang tidak dibuka untuk umum, mengingat situasi problematik sekarang yang bisa dibilang masih belum beres. Apalagi, mengingat penggemar FSTVLST cukup banyak, FSTVLST tidak ingin mengambil risiko-risiko yang ada dalam membuat pentas luring dan membagikannya ke banyak orang.
“Saya berpikir untuk membuat pementasan luring atau offline, tapi kita selalu digagalkan oleh prinsip kita sendiri,” ujar Farid saat sesi diskusi.
Farid juga mengatakan, banyak percobaan yang telah dilakukan selama dua tahun belakangan. Misalnya beberapa waktu lalu, ia mengutip kalimat Roby di grup pesan. Roby bilang, “Ayo ngawe pentas, judule iki Kita Tidak Belajar Apapun Tahun Ini”. Dari sini, mereka kemudian menyadari kalau kondisi ini perlu disiasati dan tidak bisa dibiarkan terus berlarut.
Situasi pandemi memang membuat apa-apa serba rumit, termasuk bagi FSTVLST dalam menyelenggarakan pentas. Gagasan judul itu diambil bukan tanpa alasan. Roby sang gitaris, selama dua tahun belakangan mengamati kondisi dan celah yang bisa diambil, sebelum sampai akhirnya sampai pada keputusan, memang tidak dapat melakukan apa-apa. Sementara FSTVLST, yang sempat mengambil beberapa panggung online, tidak mampu lagi membohongi diri mereka sendiri kalau itu tidak menyenangkan.
FSTVLST mengaku, setelah dua tahun ini mereka akan mulai lagi dengan membawakan lagu-lagu baru mereka di album kedua yang notabene belum pernah dipentaskan secara langsung. Bahkan, perilisan albumnya juga dilakukan dengan sangat sederhana.
Band yang kurang lebih dua tahun ini hanya muncul di layar 5 sampai 6 kali belum sempat mencicipi pentas yang sesungguhnya. Selama ini, FSTVLST bisa melakukan pentas karena nunut dengan kegiatan yang lain. Setelah wiwitan ini, harapannya mereka mampu menggelar pentas dengan inisiatifnya sendiri.
“Ya mungkin kita akan bisa ketemu dengan festivalist sekitar 50 sampai 100 orang dengan prokes, tetapi reguler. Kami akan lakukan dengan lebih sering. Risikonya ya tiketnya jadi sedikit mahal, tapi ya itu perlu dicoba. Jadi setelah ini kita akan coba memulai pertemuan-pertemuan kecil itu, tetapi asyik gitu lho,” terang Farid saat diskusi.
Acara dilanjutkan dengan pemotongan tumpeng. Tak lupa juga doa dipanjatkan kepada Yang Maha Kuasa, meminta restu juga dari orang-orang tercinta agar apa yang akan dimulai nanti dapat menjadi berkah. Sesuai dengan namanya, wiwitan itu sendiri berasal dari kata wiwit dalam bahasa Jawa yang berarti mulai. Tradisi acara wiwitan ini dilakukan dengan menggunakan nasi tumpeng lengkap dengan lauk pauknya. Prosesi tumpengan diakhiri dengan makan bersama nasi wiwit atau nasi yang dibawa saat wiwitan tersebut.
Rangkaian sore itu ditutup dengan panggung kecil “Pagi Merah FSTVLST” sebagai simbol wiwitan (memulai) kembali makarya mengarungi situasi dan kondisi yang memungkinkan sekarang. Rindu akan suasana acara gigs, itu jelas dirasakan. Namun bagi FSTVLST sendiri bertemu dengan orang-orang saat pentas adalah sebuah vitamin.
Sama seperti para teman-teman festivalist yang diundang saat acara wiwitan tersebut, meskipun hanya beberapa teman saja yang diundang. Kesempatan bertemu dengan teman-teman festivalist ini mengobati rasa rindu dan menjalin silaturahmi, sekaligus menjadi proses tukar informasi untuk mencari ide-ide yang nanti kiranya bisa digarap untuk pentas FSTVLST.
Setelah setahun terakhir mulai terbiasa dengan pandemi, dan berharap adanya keputusan-keputusan bijak yang memungkinan panggung kembali seperti sedia kala. Sesuai janji mereka juga, masker di foto profil akan mereka lepas ketika sudah manggung lagi, dan semoga dengan wiwitan ini, FSTVLST siap makarya untuk memulai kembali perjalanan pentas di tahun 2022 dan di tahun berikutnya dengan peraturan dan kebijakan-kebijakan yang ada.
Editor: Agustinus Rangga Respati
Foto: Adi Atmayuda