Berbicara mengenai sekolah liar, lantas ingatan saya lekas bermuara pada pidato kebudayaan yang dilayangkan oleh Seno Gumira Ajidarma. Meskipun sederhana, pidatonya pada event Jogja Art+Book Fest 2023 lalu, telah membentuk cara berpikir saya tentang sekolah, serta ekosistem pendidikan macam apa yang perlu kita imajinasikan.
Dalam pidatonya, saya menangkap semangat Seno sedang mengupayakan gerakan alternatif terhadap sekolah konvensional yang selama ini telah gagal melihat pendidikan. Sekolah telah gagal ketika ia digunakan untuk melanggengkan praktik komersialisasi dan industrialisasi yang belakangan ini masif diberlakukan.
Meskipun demikian, impotennya sekolah konvensional tidak bisa jika keberadaanya sebatas diprotes atau dimaki. Mereka butuh ditandingi, melalui gerakan alternatif yang egaliter, kolektif, dialektis, independen, bahkan diupayakan oleh masyarakat itu sendiri.
Akan tetapi ketika tatanan hari ini justru mengamini model sekolah konvensional, lantas apakah pidato yang dilayangkan Seno hanyalah sebatas wacana tanpa model yang jelas? Atau justru ia telah benar-benar hadir di tengah kehidupan masyarakat hari ini?
Selayang Pandang Gubug Kreatif Jatiteken
Pada kenyataanya di tempat yang jauh dari tatapan kuasa arus utama, praktik sekolah liar telahlah beroperasi, bahkan gerakannya diupayakan oleh masyarakat itu sendiri. Tempat tersebut merupakan Gubug Kreatif Jatiteken Kulon yang berada di daerah pinggiran Kebumen, Jawa Tengah. Tepatnya berada di Balingasal, Padureso.
Sekolah tersebut diinisiasi oleh seorang pemuda lokal bernama Reyhan. Selain aktif menginisiasi sekolah liar di desanya sendiri, ia juga terlibat aktif dalam gerakan literasi melalui Perpustakaan Jalanan Kebumen.
Ia bukan sekadar tawaran wacana, ia telah benar-benar terbentuk bahkan telah memberikan wadah bagi pendidikan yang lebih sehat bagi masyarakat desa.
Melalui perbincangan kami selama satu malam penuh, saya menangkap semangat imajinasi yang dilayangkan oleh Reyhan. Bermula dari kegundahannya terhadap digitalisasi yang telah masuk ke desa, membuatnya terdorong untuk menciptakan Gubug Kreatif bagi anak-anak disekitarnya.
“Latar belakang kemunculannya [Gubug Kreatif Jatiteken], bermula dari berbagai persoalan yang terjadi di lingkungan masyarakat desa kami, terlebih di era digital ini. Hal yang paling mendasar adalah literasi yang berdampak pada kurangnya perhatian terhadap ekosistem sumber daya alam, budaya dan pendidikan di desa. Kemudian kami mencoba membentuk ruang, serta wadah bagi anak-anak juga masyarakat melalui sekolah rakyat dan taman bermain bagi cah-cah angon,” pungkas Reyhan sembari menghisap sebatang rokok di pekarangan rumahnya sendiri.
Ketika ditanya awal mula Gubug Kreatif berkegiatan, Reyhan menjawab dengan tegas bahwa mulanya hanya sebatas bermain. Kebiasaan Reyhan yang kerap bermain dengan anak-anak tersebut mulai mendapatkan banyak perhatian dari masyarakat sekitar. Dari situlah ia mengupayakan kegiatan lain yang dapat memberi manfaat bagi masyarakat di sekitarnya.
“Pada mulanya kegiatan-kegiatan yang kami lakukan hanyalah menjadi kawan bermain [bagi] anak-anak. Namun kemudian masyarakat sekitar mulai memperhatikan apa yang sedang kami lakukan, selain bermain dengan mereka kami juga mencoba melakukan gerakan ke arah yang lebih intens, seperti membaca buku, mendongeng, dan memperkenalkan budaya-budaya di sekeliling kita,” sahutnya sembari memperlihatkan beberapa dokumentasi mengenai Gubug Kreatif.
Reyhan sendiri memiliki pembacaan yang menarik mengenai wacana sekolah liar. Baginya sekolah liar dapat menjadi pendidikan alternatif untuk menjawab segala kegagalan yang diciptakan oleh pendidikan nasional kita selama ini. Meskipun demikian hadirnya sekolah liar bukan untuk meruntuhkan pendidikan nasional, namun lebih pada mengupayakan ruang bagi masyarakat yang tak mampu ditampung oleh pendidikan nasional.
“Sekolah liar perlu mas, bukan untuk meruntuhkan sendi-sendi pendidikan nasional, tapi untuk menebus kesalahannya. Ketika setiap kesuksesan berdiri di atas kegagalan dan kemenangan para pecundang,” ucapnya.
Kurikulum Bagi Anak-Anak Desa
Selain mencoba untuk bermain dan melakukan kegiatan literasi lainnya, Gubug Kreatif juga mengupayakan adanya perkembangan kreativitas untuk anak-anak di desanya.
“Ada banyak hal yang mereka senangi mas, salah satunya adalah seni. Kita coba buat [kegiatan] tentang tari-tarian, pantomim, drama, dan seni lainya. Kemudian dipentaskan dan dihadiri [oleh] masyarakat sekitar,” terang Reyhan.
Ketika kami sedang khidmat berjalan-jalan ke lapangan desa yang mana merupakan lokasi bagi kegiatan Gubug Kreatif itu sendiri, saya menjumpai banyak sekali alat-alat permainan yang kerap digunakan untuk media belajar. Alat-alat tersebut terdiri dari wayang, bambu, barang bekas dan masih banyak lagi.
Lantas saya pun tertarik untuk menanyakan rencana yang akan diambil Gubug Kreatif ke depannya. Pertanyaan tersebut justru memantik sebuah jawaban yang membuat saya geleng-geleng tak habis pikir. Ternyata komunitas kecil yang berada jauh di pusat kota ini, justru memiliki sebuah visi dan misi yang besar dan jelas. Bahkan visi misi mereka cukup kontekstual untuk menjawab problem sekolah konvensional yang gagap melihat masyarakat paling bawah.
“Kami sedang memulai beralih ke pendidikan alternatif mas, jadi kami tengah mempersiapkan kurikulum dalam bentuk yang sesuai dengan kemampuan anak-anak dan juga melihat realitas sosial yang terjadi,” ucap Reyhan.
Meskipun demikian, mengupayakan sekolah liar di desa sejatinya tidaklah luput dari masalah dan juga tantangan. Nyatanya masih banyak para pemuda dan kawan sejawat di sekitarnya yang memilih untuk merantau, sehingga keberlanjutan dari Gubug Kreatif menjadi cukup sulit diupayakan.
“Tantangan saat ini adalah bagaimana kami bisa membentuk ekosistem [yang sesuai] dengan anak-anak, melahirkan pemikiran yang kritis, juga untuk berkelanjutan hidup yang lebih manusiawi. Terlebih adalah bagaimana kami tidak kehilangan para pemuda untuk merantau atau bekerja di luar daerah. Karena masalah yang kami hadapi lainnya adalah minimnya ketersediaan fasilitas perpustakaan, gubug, dan alat belajar untuk anak-anak.”
Perbincangan kami setahun yang lalu itu, membuat saya memikirkan kembali relevansinya sekolah liar dan alternatifnya saat ini. Sebagaimana hasrat membangun alternatif, ia sejatinya tidak cukup sebatas dorongan untuk peduli. Hasrat alternatif butuh dirawat. Maka tak heran apabila mengupayakan keberlanjutan bagi gerakan alternatif, justru jauh lebih sulit ketimbang menginisiasi gerakannya.
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Suden