Hadil Mencari Lidah

Foto: Dion Rahaditya Krisna

Namanya Hadil. Selain karena tubuhnya yang lumayan tinggi, hampir tidak ada yang bisa dibanggakan dari orang itu. Setelah dua tahun sekelas dengannya, gerak-geriknya di kelas juga tidak ada yang menonjol.

Sesekali memang dia diminta menurunkan layar untuk LCD di depan kelas. Semua orang tahu dia mendapatkan mandat itu bukan karena dia bintang kelas. Ya, hanya karena dia yang nampak tinggi menjulang di kelas. Selain dari itu tidak ada lagi kelebihannya.

Begitulah aku mengenal Hadil dua tahun ini, sebagai sekadar penurun layar. Tidak lebih.

Belakangan namanya jadi gunjingan orang-orang. Di kelas, di kantin, di lobi kampus, semua orang tertawa dengan sisipan nama Hadil di tengah-tengahnya.

Aku memang tak setiap saat satu kelas dengannya. Maka, maklum saja kalo aku tak selalu tahu apa yang terjadi padanya. Namun, nampaknya kali ini Hadil membuat sesuatu yang menggemparkan.

Tebakan awalku, mungkin dia boker di celana. Apa lagi coba kelakuan remaja purna karya seperti Hadil yang bisa bikin gempar satu kampus.

Sambil celingukan, aku mulai menguping pembicaraan orang tentang Hadil.

“Si Hadil ya? Iya gila emang itu orang, kok bisa ya?”

“Gila gila gila, kok ya bisa hilang?”

“Aku juga baru lihat di papan, kukira hanya becanda, ternyata sungguhan.”

Tanpa berpikir panjang, dengan tunggang langgang, kutinggalkan tempat laknat penuh pergunjingan itu. Aku menghampiri papan pengumuman terdekat. Menerobos kerumunan sambil misuh-misuh, aku sampai juga di papan pengumuman baris paling depan. Ealah, Hadil.

***

Aku rasa susah tidur itu hajat hidup orang banyak. Aku yakin semua orang pernah merasakannya. Padahal aku tidak pernah lupa berdoa, juga jarang tidur siang. Anehnya, aku hampir selalu susah tidur.

Hampir sebulan ini aku selalu menghabisakan tiga sampai empat jam sebelum benar-benar pejam. Itu menjadi siksaan buatku. Ditambah lagi, selama beberapa jam tersebut, hanya satu hal yang aku bisa lakukan; menggerutu dalam hati. Aku bicara dengan diriku sendiri, di dalam hati.

Susah tidur ini nampaknya sudah akut. Aku merasa tidak tidur, tapi sekujur tubuhku sudah lemas, bahkan untuk turun dari tempat tidur aku tak bisa. Yang jelas ini bukan tindihan seperti kepercayaan orang kampung itu. Kondisinya sangat ilmiah.

Jadi aku tiduran dengan mata yang terbuka dan sadar. Aku merasa bisa melakukan penghitungan kalkulus dari tempat tidur. Kecuali mata dan pikiranku, tubuhku tidur.

Aku pernah berusaha menceritakan ini pada banyak orang. Pahitnya, ekspresi semua orang selalu sama saat aku mencoba menjelaskan hal ini. Keningnya mengrenyit, sedikit berair, kehilangan kontrol atas bibirnya, pupil mengecil, kelopak mata mengkerut, kepala sedikit menoleh ke kiri sambil berkata “Ha, gimana?”.

Pun, setelah adegan itu aku masih harus menjelaskannya sekali lagi. Sangat tidak efektif curhat yang kujalankan. Maka berikutnya aku malas cerita pada siapa-siapa tentang kejadian ini. Tidak pada siapapun cerita ini kuulang.

Aku sudah berusaha menghilangkan penyakit ini. Pertama-tama, aku cari di Google. Jawabannya tidak jauh beda ketika aku tanya bibiku di rumah. Rujukan itu meminta aku untuk merendam kaki dengan garam dan air hangat beberapa menit. Cara ini nihil khasiatnya.

Lalu, aku beranikan pergi ke dokter, tidak dengan membawa harapan bahwa dia akan mengerti. Maka setelah adegan kening mengrenyit, sedikit berair, kehilangan kontrol atas bibir, pupil mengecil, kelopak mata mengkerut, kepala sedikit menoleh ke kiri, doktor itu tetap berkata, “Ha, gimana?”

Pun, setelah adegan itu, aku masih harus menjelaskannya sekali lagi. Sudah kubilang dan kuduga cara ini tidak efektif. Ini bukan perkara dokter.

Sebenarnya bukan perkara tidak bisa tidur yang menghantui pikiranku. Perkaranya adalah setiap tidak bisa tidur itu, aku terus mencerocos dalam hati.

Pernah merasakan berbicara dalam hati selama empat jam? Percayalah, rasanya tetap lelah dan membosankan. Aku tidak bisa menyuruh suara dalam hatiku berhenti.

Menghentikan suara dalam hati itu mustahil dilakukan. Memang tidak menghasilkan suara, tapi di dalam dada, serasa sedang ada sarasehan maraton terus-menerus. Bukankah itu lebih mengganggu dari sekadar tidak bisa tidur? Yaitu menunggu tidur dengan bicara dalam hati.

Memasuki bulan kedua, kelainan ini mencapai tingkat parah-parahnya. Aku kurang tidur. Badanku jadi kuyu, kantong mataku menghitam, kepalaku pening tak ketulungan. Beberapa suplemen makanan yang aku konsumsi rasa-rasanya semakin menggerogoti ginjalku saja.

Sampai suatu saat, aku melihat sebuah adegan di televisi tentang seseorang yang memotong tangannya sendiri agar bisa lepas dari jepitan batu besar. Dari adegan itu, pencerahan datang padaku.

Malam hari, saat aku kembali menggerutu dalam hati, aku segera ke lemari makan mengambil sebilah pisau. Pisau itu buatan Swiss. Gagang merahnya meyakinkanku pisau ini tidak takut darah.

Dengan sekuat tenaga, kutarik ujung lidahku keluar. Sambil memejamkan mata, aku gorok lidahku sampai putus. Ujung lidahku masih menggeliat ketika kumasukkan ke dalam toples bekas selai.

Sialnya, aku seakan masih merasakan bekas coklat dan kacang di perut toples itu. Sebentar saja, pangkal lidahku kebas, tetapi ujungnya masih sibuk menjilati bekas selai kacang di toples.

Setelah kubersihkan darah yang berceceran di meja makan, aku menyeringai puas. Meskipun aku jadi cadel, suara hatiku tidak mengganggu lagi. Suara itu kini ikut cadel dan tidak jelas.

Aku kini dapat tidur dengan nyenyak karena sudah tidak mendengarkan suara-suara dalam hatiku sendiri. Pertama-tama, suaranya jadi cadel. Lalu, lama-kelamaan hilang tanpa kupedulikan.

Jauh daripada aku yang jadi cadel dan pelo, aku senang karena kelainanku tersebut sudah hilang. Tempat tidur kini menjadi ramah untukku.

***

Ujung lidahnya hilang. Gila. Dia benar-benar menghilangkan ujung lidahnya. Ujung lidah yang hanya satu-satunya itu dia hilangkan. Ujung lidahnya yang dia simpan di bekas toples selai kacang itu hilang. Ujung lidah yang selalu menggeliat yang di simpan di bekas toples selai kacang itu hilang. Hadil yang malang, dungu, dan sial.

“Dil, kamu paham kan konsep ujung lidah itu?” ujarku marah.

“Olong lah, taya butuh bantuan mentali lidah taya, bukan celamah inggu pagi sepelti ini,” Hadil mencoba mengirim pesan suara kepada saya. Sebenarnya butuh beberapa waktu untuk membuat transkrip atas ucapannya.

“Dil, satu julur lidahmu itu cuma ada satu ujungnya di dunia ini,”tambahku geram.

“Tamu juga idak aham kan lasanya idak isa tidul? Amu mau bantu idak?” Hadil ikut-ikutan marah.

Hadil, seorang tinggi jangkung, teman kelasku, kini kehilangan ujung lidahnya. Selepas hari-hari itu, aku selalu menemani Hadil mencari ujung lidahnya yang merayap entah kemana. Petunjuk kami hanya satu, yaitu apa yang ujung lidah Hadil rasakan.

Setelah lepas dari rasa selai kacang beberapa hari lalu, rasa yang ujung lidahnya cecap selalu berubah. Kadang-kadang rasa tanah, kayu, daun, dan kadang dia bilang ujung lidahnya mencecap kuah rawon. Rasa yang ujung lidahnya cecap itu menjadi navigasi kami mencarinya.

Pencarian ujung lidah Hadil tidak pernah mulus dan lancar. Meskipun telah memasang selembaran sayembara di kampus, di rumah ibadah, dan depot rujak cingur, tapi lidahnya tidak kunjung ketemu. Sialnya lagi, aku kerap harus mengaduk-aduk semangkok bakso pesanan orang ketika Hadil bilang dia merasakan kuah bakso dan bawang goreng di ujung lidahnya.

“Sungguh, ini lasa bakso di walung itu, aku tidak bohong,” Hadil merajuk.

“Dil, masak iya aku harus raup kuah bakso biar kamu percaya kalau ujung lidahmu tidak ada di sana?” jawabku sewot.

Setelah dialog terakhir itu bersama Hadil, aku memutuskan berhenti membantu Hadil. Ini pekerjaan mustahil.

Hari ini adalah hari ke-100 setelah dia kehilangan ujung lidahnya. Ini juga berarti aku sudah mengaduk 100 jenis makanan untuk mencari ujung lidahnya. Ini berarti sudah 100 hari lidahnya berkeliaran di luar toples selai kacangnya.

Belakangan aku dengar, dia juga jarang masuk kampus. Sekalinya terlihat di kampus, dia lebih mirip mayat hidup yang ingin mati untuk kedua kalinya. Mukanya pucat, seperti orang kurang tidur.

Pernah kuhampiri dia sekali, tapi dia tidak mau bicara denganku lagi. Aku paham, dia jelas marah karena aku tidak membantunya lagi. Aku pikir sudahlah, mungkin dia sudah cangkok lidah.

Sebulan aku tak dengar kabar tentangnya. Sebulan sudah Hadil juga tidak datang ke kelasku. Ini berarti sudah seratus hari lebih sebulan dia mencari ujung lidahnya. Banyak teman bilang dia jadi depresi karena kehilangan ujung lidahnya.

Selebaran yang dia tempel setiap minggu sudah tertutup berbagai poster pensi kampus. Sementara itu pula, aku yang selalu menggantikan peran Hadil menurunkan layar LCD di kelasku. Ah, padahal aku sudah ambil posisi tidur yang nyaman kalau ada Hadil. Aku sudah tidur dengan pulas sebelum tugas menurunkan layar itu aku emban. Sialan Hadil!

 

Editor: Arlingga Hari Nugroho

Foto: Dion Rahaditya Krisna

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts