Dee adalah seorang karyawan swasta yang bekerja di salah satu perusahaan bilangan Jakarta Selatan, tepatnya di daerah Kuningan. Tahun ini Dee sudah berusia dua puluh lima tahun. Tak terasa, Dee sudah menjalani keseharian sebagai karyawan swasta kurang lebih dua tahun, tepat hari ini.
“Untuk matamu yang basah tak berhenti. Untuk tawa yang datang sesekali
Di titik gelap dan terang yang berganti. Gemuruh angin berbagai penjuru”
Dalam lamunannya, Dee mengenang ketika pertama kali harus bersaing dengan pencari kerja lainnya demi mendapatkan dan duduk di posisi yang sekarang. Berkat usaha dan doa tentunya, Dee berhasil menggapai apa yang diidamkannya, mendapatkan pekerjaan.
“Ringkihlah asa. Hilanglah harap.
Terbuanglah waktu”
Meskipun begitu, perjuangannya belum selesai. Ia tak lantas menjalani hidup yang tenang-tenang saja. Usia dua puluh lima tahun membuat Dee merasakan heboh, riuh, dan cepatnya dunia ini.
Sebagai seorang yang bekerja di ibukota membuat Dee harus selalu bangun pagi, bersiap, dan berjubelan. Sangat berbeda dengan ketika Dee masih duduk di bangku sekolah bahkan di bangku kuliah.
“Kecil hanya sekali. Muda hanya sekali
Tua hanya sekali. Hiduplah kini”
Sebelumnya, semua serba di tata rapi sedemikian rupa sesuai jadwal, tinggal terima beres. Dee selalu berpedoman “make it simple“. Yang sudah ada ya diturutin aja, dari pada mikir lagi.
“Merangkak dua langkah kecil pertama. Kini dia lari dan tergesa-gesa
Terenyuh dia buah manis pertama. Kini ilusi pahit mewah rasa”
Kemudian, setelah melepas status mahasiswa dan berubah menjadi status karyawan di sebuah
perusahaan. Dee seolah masuk ke mimpi buruk, merasakan heboh, riuh, dan cepatnya
dunia.
Heboh bangun pagi. Heboh ngejar bus. Heboh lari ke kantin karyawan. Heboh mengantre. Heboh keluar masuk toilet. Heboh nyari ojek online. Heboh keluar masuk halte. Heboh keluar masuk lift kantor.
Cepat waktu berganti detik, menit, jam. Cepat keluar kantor. Cepat masuk kantor. Cepat masuk halte. Cepat nyari makan pagi-makan siang. Cepat lari-lari di jalan Cepatnya teknologi.
Mungkin itu hanya sebagian kecil realitas perjalanan seorang Dee yang hanya sebesar dua
puluh dari seratus persen yang bisa dituangkan oleh Dee di usia dua puluh lima ini.
Entah dengan yang lain. Mungkin sama mungkin berbeda.
“Jutaan ragu, Juta keliru, Puji ilusimu”
Di usia yang ke dua puluh lima ini, Dee harus pegang kendali atas dirinya sendiri. Pegang
kendali untuk tidak terseret hal yang di luar batas pola mikir manusia.
Setelah Dee mengejar ilmu dari apa yang selama ini dipelajari di bangku sekolah sampai kuliah, ia harus menerapkan semua itu di masa sekarang.
Mau mengikuti arus atau melawan arus? Atau, mengikuti arus dengan cara tersendiri? Mau kelana mau ke mana, untuk apa? Di usia dua puluh lima ini juga, Dee terkadang seiya menyudahi hal yang sudah tak bisa digenggam lagi. Dee terkadang harus remedi dari apa yang ia lakukan.
Saat sedang sendu, Dee biasanya pergi ke café, duduk manis pesan roti dan secangkir coklat panas. Sesekali ia melihat betapa heboh, riuh, dan cepatnya dunia.
“Wajah kecilmu. Kita manusia
Bukan yang maha paling mulia”
Itulah perjalanan singkat yang membawa Dee untuk sampai di umur dua puluh lima.
Kalau kata Tulus “Muda hanya sekali, tua hanya sekali”.
So enjoy your journey!
PS: Semua kutipan di atas merupakan lirik lagu Satu Kali yang dinyanyikan oleh Tulus.
Editor: Agustinus Rangga Respati
Foto sampul: Arlingga Hari Nugroho