Entah kali ke berapa ataupun aku yang memang seolah tidak peduli berapa kali menerimanya. Aku sebenarnya tak mau pusing perihal kalkulasi akan segala variasi pembawaan dirinya. Aih, mungkin ia hanya butuh validasi dari sekian rentetan kisah romansa yang ia bawa.
Dari segala sisi yang ia bawa, sayangnya ia tak menyadari bahwa yang aku miliki ialah satu sisi saja, hati yang selalu menerima apa adanya. Mungkin hati yang selalu menerima itu tiada harga di matanya, atau hanya saja sebagai sebuah jembatan yang ia perlukan tanpa peduli bagaimana kokohnya jembatan itu dapat berdiri di sana. Atau mungkin ia terlalu nafsu terhadap obsesi yang selama ini ia pupuk sebegitu perhatiannya sehingga kokoh menjulang memenuhi ruang-ruang kesadaran yang ada.
Entahlah, mungkin dalam raung-raung kesengsaraannya akan rasa yang kunjung berbalik impas, adalah obsesi yang membutakannya pula. Aku hanya mengetahui satu hal, rasa itu tak terbatas pada satu ruang saja, ia akan selalu elastis mengikuti bentuk ruang dan periode waktu yang ada, berdiam dan bertahan lama hingga mati tak tersinari lagi. Begitulah rasa atau hanya aku seorang yang bodoh saja.
Beberapa tahun silam, ia datang kepadaku pertama kalinya. Ia bawa senyum cerah yang membekas sampai sekarang. Layaknya kuas-kuas dan cat-cat samar hingga kini tetap nyaman berada di suatu pigura yang sama. Aku tak dapat melepas senyum itu hingga sekarang. Mungkin itulah hari yang harus aku hindari, agar tak menjadi tawanan rasa hingga sekarang. Menuang bergelas-gelas arak pada luka yang sama. Menjulang megah-megah rasa yang telah terbangun, bilamana takdir tak menghendaki untuk bersama, lantas untuk apa rasa ini dibangun begitu megah? Semua memang terjadi untuk sebuah alasan, namun sampai sekarang aku tak mengerti jua sebuah alasan itu. Mungkin alasannya adalah agar aku tak mengerti alasan itu. Cukup masuk akal bila alasannya ialah tak ada alasan. Aih, senyum yang membekas.
Apakah kau mempercayai rasa pada pandangan pertama? Aku kira itu adalah kebodohan semata atas logika manusia yang terlalu sempit untuk menerima keadaan yang telah, sedang, dan akan terjadi. Setidaknya, aku tidak secara setengah matang menerima rasionalisasi itu begitu saja. Aku masih menempatkan potensi di dalamnya. Sehingga begini, potensi itu akan selalu ada namun presentasenya yang tidak dapat kita prediksi secara pasti. Bagaimana bisa rasa kau terjemahkan dalam algoritma yang sama atau urutan aljabar sesuai alfabet sesuai ejaan yang disempurnakan menurut bahasa manusia? Tidak. Aku hanya melantur perihal esensi rasa pada pandangan pertama, namun aku percaya pada potensi yang diam-diam tumbuh subur di rongga terdalamku.
Kau pernah menatapku dengan seluruh jiwamu yang remuk redam. Kau bawa dirimu di hadapanku dengan membawa oase air matamu yang layu itu. Aku tak mengira dibalik tubuh rentanmu itu kau bawa pula hati yang rentan pula. Kau meracau pada luka yang kali ke berapa kau ungkapkan. Ku lihat pula kau menari di atas lantai-lantai pualam yang terlampau kelam. Mereka berusaha merenggut mahkotamu sementara kau berusaha menahan keangkuhan mereka atas kuasa mereka. Dan aku, hanyalah orang yang memiliki satu sisi saja, menerima segala remuk redammu, dan amuk ombak kesedihanmu. Hati yang selalu menerima diuji untuk pertama kalinya. Sementara saja, kau melangkah santai kembali ke pelanamu tanpa sempat melambai anggun sama seperti saat pertama datang dengan langkah yang gontai.
Rumah itu selalu sama. Di ujung jam tiga pagi, di selasar pasar, tak jauh dari altar yang penuh kelakar itu. Kau datang lagi. Kau bawa senyummu yang berantakan. Kau buka pula keranjang yang tampaknya sangat membebani langkahmu kemari. Perlahan kubantu kau menata isinya agar sesuai dengan isi hatimu. Kau tampak tak senada dengan melodi yang kupetik pada tangga nada ketiga. Namun kau masih antusias bernyanyi sembari menyulam kembali senyummu. Tak apalah pikirku, kutinggalkan saja dawai-dawai itu berserakan. Kugulung wol-wol yang berserakan agar dengan mudah kau dapat memilin mana yang cocok untuk sulamanmu. Seketika telah usai, kau mengenakan sulaman itu pada senyummu yang manis. Dan, kau melangkah santai kembali ke pelanamu tanpa sempat melambai anggun sama seperti saat pertama datang dengan senyum yang terurai.
Sesekali aku mengunjungi sabanamu yang begitu anggun dengan rumpun hijau tenang. Seperti sediakala kau beri pilihan dari ketiga gelas di hadapanmu. Namun, aku telah melepas dahagaku dengan syukur atas lamunan senyummu. Seperti oase kesegaran bagiku, walau kau selalu datang ke bilik itu dengan menjerang bara murka atas luka-lukamu. Namun tidak bagiku, kau selalu hijau di mataku. Pernah pula aku terjebak di taiga tajam menuju sabanamu. Kau tampak dingin. Setelah menduga aku membawa rasa padamu. Hanya saja aku terlampau ahli untuk menyamarkan rasa menjadi canda. Dan benar saja, rasa itu bercanda di koma-koma senandung asmaraku untukmu. Aku terlampau ahli menjadi jembatan di antara rasamu untuk taiga dan tundra. Sahara dan sabana. Dia dan dia. Tidak dengan aku.
Entah mungkin aku yang terlampau keras kepala atau kekerasan hatiku untuk selalu menerimamu apa adanya tak lekang oleh waktu. Kau selalu datang ke koordinat yang sama, sialnya dengan isi yang sama. Hanya saja pelapisnya menawan kau samarkan. Takdir mungkin menertawakan kita. Atas aku yang terdakwa lihai menyamarkan rasa. Dan kau yang terdakwa ahli menyamarkan luka yang sama.
Aku tak mengerti bilamana ada utas yang meruas pada rusuk-rusuk kita. Kemanapun kau mengembara rasa, aku kira kau akan pulang menyusuri utas itu pula. Ke bilik tempat aku memiliki satu sisi saja. Walau pernah kulahap habis dengan tiang-tiang api menyala, murka-murka samsara atas rasa yang tak kunjung berpihak kepadaku. Kau meruntuhkan ego yang kubangun tinggi-tinggi bagai benteng-benteng pertahanan suatu monarki. Jari-jari lentikmu menyusun logam-logam, batu-batu, serpihan kaca, dawai-dawai, dan wol-wol yang tak serupa lagi pada saat kau bawa. Kau suguhkan aku senyummu itu. Sejak saat itu kukira kau telah mengeratkan kuk pada pundakku, tanpa aku menyadarinya. Aku tak mengerti topeng apa yang kau pasang pada tiap-tiap kedatanganmu. Sementara aku, selalu saja telanjang di hadapanmu.
Aku bersumpah. Bahwa kelak kau akan melihat namaku pada lembar-lembar bertanda emas, papan-papan pewarta kabar, mulut-mulut berbusa orang-orang di keramaian, pekik bising umpatan jalanan, riuh ramainya lalu-lalang kekhawatiran orang-orang, dan di kedua mataku sendiri. Aku akan dipasung untuk sementara saja. Dan sepertinya kau tak akan merisaukan itu dan hanya menilik barang tiga sentimeter saja.
Tapi aku tak tahu pasti pada hari kematianku. Sebab aku telah terdakwa sebagai pemberontak. Atas percobaan pembunuhan kepada takdir. Aku menikamnya tepat di jantung hatinya. Aku memberontak atas absolut mutlak kendaranya. Dan aku dipasung. Kelak aku akan bahagia, bila kau bersama kerumunan orang-orang penganut takdir, ikut mencemoohku dan melempari ku dengan topeng-topengmu yang palsu itu. Sebab aku menyadari, kau selalu mengambil perhatian-perhatian dari bilik kecil itu tanpa kusadari. Begitu penuh keranjangmu kau bergegas pergi. Aku akan bahagia bila akhirnya nanti aku bisa melihat wajah aslimu. Sementara aku, tergantung tak memiliki rasa di tiang pancung pada pukul tiga pagi.
Hanya saja, aku selalu bermimpi, kelak kau akan datang membawa dirimu saja. Mendekapku erat dan mengajakku berdansa di lantai-lantai kelam itu. Hanya saja, aku selalu bermimpi.
Jogjakarta, 20 September 2020.
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto: Bima Chrisanto