Isyarat Kupu-kupu | Cerita Pendek Kristophorus Divinanto

Cahaya matahari mengunjungi kamarku lewat kaca jendela yang terbuka. Ayam jago riuh berkokok sahut-menyahut. Residu dari dingin malam masih terasa. Usai jerangan mendidih, kutuangkan air panas ke dalam secangkir gelas yang telah kuiisi dua sendok teh tubruk. Kuletakkan cangkir teh di atas meja kerja dekat jendela. Setelah cuci muka dan sikat gigi, laptop langsung kunyalakan untuk memulai pekerjaan.

Seekor kupu-kupu hinggap di sudut bingkai foto. Barangkali bentang sayapnya mencapai satu jengkal telapak tangan. Sayapnya berwarna dasar hitam dengan corak kuning. Kupu-kupu ini sangat pemberani. Tiada takut dengan deru jemariku yang menekan kibor. Tiada pula melenggang ketika beberapa kali kuusir dia dengan lambaian tangan. Ia tetap merangkaki fotoku ketika balita tengah berada di pangkuan nenek. 

Ingatan tentang nenek melintas iseng di benakku, bagai seekor kupu-kupu yang beterbangan di taman imaji. Bunga-bunga masa lalu bermekaran dan ingatanku hinggap di salah satunya. Mendarat di sekuncup kisah masa lalu yang harum dan segar, seolah kisah ini baru saja terjadi kemarin.

Nenek selalu mengajakku menata ruang tamu ketika dilihatnya seekor kupu-kupu bertengger atau beterbangan di rumah. Seorang tamu akan datang, katanya. Nenek hidup dengan percaya bahwa kupu-kupu adalah isyarat kedatangan seseorang. Awalnya memang ikhlas hatiku membantu nenek menyapu, mengepel, mengganti taplak meja, dan menata kursi. Setelah beberapa kali kutahu bahwa tiada tamu yang datang, aku jadi ogah-ogahan. Ketika nenek memanggil untuk membantu merapikan ruang tamu, terkadang aku pura-pura tidak mendengar bahkan pura-pura tidur. Ketika seekor kupu-kupu hinggap di rumah, buru-buru kutangkap dan kuterbangkan ia ke luar rumah sebelum nenek melihatnya.

Jarang sekali ada tamu yang datang ketika kupu-kupu beterbangan di rumahku atau hinggap di salah satu sudut ruangan. Sekalipun ada, itu juga hanya suatu kebetulan. Lagi pula bukan seorang tamu yang membawa kupu-kupu masuk ke dalam rumah, melainkan bunga-bunga aster yang ditanam nenek di teras. Kalau seekor kupu-kupu hinggap di sudut rumah atau beterbangan di sekitar rumah, itu pasti karena kebetulan tersesat. Sama halnya ketika seseorang datang setelah kupu-kupu berseliweran. Semua hanya sebuah kebetulan. 

Kupu-kupu tak pernah mengisyaratkan keberadaan seseorang. Perihal seekor kupu-kupu hanya sebuah isyarat untuk setangkai bunga yang mekar. Seharusnya nenek sendiri tahu bahwa segala sesuatu yang hidup adalah rangkaian kebetulan. Dan perihal kupu-kupu dan tamu hanya salah satu dari semesta yang kebetulan. Aku rasa nenek tidak akan percaya lagi isyarat kupu-kupu, jika yang datang bukanlah tamu, melainkan malapetaka.

Bahkan sampai hari ketika aku dan sepupuku berangkat ke Jogja untuk kuliah, nenek masih berpesan. Kalau ada kupu-kupu masuk kamar kalian harus bersiap-siap sebab seseorang akan datang, begitu katanya. Kami semua terkekeh mendengar pesan nenek. Setelah aku dan sepupuku memeluk nenek, kami beranjak layaknya kupu-kupu yang meninggalkan sekuntum bunga.

Ketukan pintu kamar membawaku kembali dari taman lamunan. Memoriku terbang meninggalkan kuncup ingatan. Seseorang mengetuk pintu kamarku dengan gaduh. Aku beranjak dengan kesal, mengumpulkan caci maki untuk seseorang tolol di balik pintu yang tidak tahu waktu karena bertamu sepagi ini. 

Tamu itu sepupuku. Ia memelukku. Amarahku layu. Tangisnya makin menjadi.

“Barusan nenek kecelakaan, kak. Tabrak lari.”

Mataku membelalak. Sepupuku masih menangis di pelukanku. Aku mulai menangis. 

Kupu-kupu yang sedari tadi hinggap di bingkai foto, kini terbang mengelilingi kamarku. Mengelilingi kami yang tengah berpelukan di tengah perasaan yang rawan.

 

Untuk J.M Noersijati, eyang putriku.

Kutoarjo, 13 April 2021

 

Ilustrasi: Butterfly 2000 – The Kribs (@the.kribs)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts