Wawan benci wajah-wajah duka itu, rasanya ia ingin membalas tatapan mereka dengan belai palu besi. Akan tetapi, Wawan tidak bisa apa-apa. Dia terkurung di dalam ruang kaca. Ruang di mana ia diamati oleh mata-mata yang menyayangkan liburan musim panas Wawan. Sebaliknya, Wawan justru senang-senang saja karena liburan tersebut telah mengajarkannya tentang cinta. Wawan jadi paham cara memeluk hal yang ia cinta, mempertahankannya, serta memukul para brengsek yang berani menyentuhnya.
Jangan bayangkan liburan Wawan akan seperti cerita teman-temannya yang pergi ke rumah kakek nenek. Rumah Kakek tidak memiliki udara segar, hanya bau kambing apek. Rumahnya juga tidak terlihat hangat, tapi dingin dan reyot. Kedatangan Wawan dan Bapak sungguh tidak meriah, tidak ada yang menyambut. Bahkan, matahari pun ingin ikut kabur dari mereka. Suasana itu membuat Wawan menggigil. Dia takut yang ia duga-duga benar.
“Pak, kayaknya kakek sudah mati dan digantikan alien! Nanti aku bakal diculik pakai UFO, terus jadi budak di luar angkasa,” ucap Wawan sambil menarik-narik kemeja bapaknya dan merengek pulang. Bapaknya tidak peduli. Bapak tahu bahwa Kakek bukanlah alien, melainkan tukang pukul istri.
Kakek akhirnya datang menghampiri mereka. Tulang rusuk kakek menyapa mereka lengkap dengan senyuman. Kakek tidak sendiri, ia bersama seekor kambing berkalung lonceng yang dia ikat dengan tali merah. Bak melihat penampakan, Wawan bersembunyi di balik Bapak yang tiba-tiba mengeraskan rahangnya.
Bapak tak banyak bicara. Dia hanya membicarakan penitipan Wawan. Kakek juga hanya tersenyum dan sesekali menampakan lubang di sela giginya. Wawan perlahan keluar dari punggung Bapak. Wawan mulai menyadari kesia-siaan rasa takutnya. Kakek terlihat ramah, tapi tetap ada rasa dingin yang Wawan rasakan.
Bapak pergi dengan mobil hitamnya yang perlahan ikut tenggelam di gelap malam. Wawan tahu bahwa mobil itu akan lama untuk kembali sebelum Bapak dan Ibu resmi mencopot cincin. Wawan pasrah. Paling tidak, malam ini dia tidak akan mendengar piring pecah.
Malam itu. Wawan makan nasi dan telor ceplok. Nasinya keras, tapi kakek tetap saja lahap memakannya. Nafsu makan Wawan tidak ada di ruangan itu karena kalah dengan aroma kambing yang ikut makan bersama mereka. Piring yang masih utuh itu akhirnya merebut perhatian kakek dan membuatnya berceletuk ke Wawan pertama kali.
“Dimakan. Kalo gak nanti nasinya makan kamu.”
Mendengar itu, Wawan lebih kuat memaksa gigi-giginya menggilas tiap nasi yang lebih layak disebut beras itu.
Malam pertama Wawan lewati dengan menangis di atas kasur palembang dan di antara debu. Tangisnya tak bersuara. Sejak kecil Wawan sudah belajar bahwa tangisan yang berisik akan mengakibatkan pipi merah.
Dua hari Wawan kebingungan. Di sana tidak ada sinyal. TV pun tidak ada. Dia cuma bisa melamun dan sesekali memakan keripik pisang yang melimpah di dalam ranselnya. Wawan juga cuma bisa bermain di sekitar rumah, kecuali kandang kambing. Kakek melarang dia. Tetangga di rumah ini terlalu jauh. Di sini juga tidak ada anak kecil sama sekali. Meskipun begitu, Wawan berharap malam tidak cepat datang.
Sepi rumah itu akan pecah di tengah malam. Pecah oleh pekik pria baya. Awalnya hanya bisikan parau, perlahan isak itu makin keras seperti volume radio yang diputar ke kanan hingga mentok membelah malam. Teriakan itu seperti harimau kawin. Suara itu berpindah mengikuti Kakek dari kamarnya dan memuncak di kandang kambing. Bedanya, pekik di kandang lebih ramai, karena para kambing ikut serta bak paduan suara musim kawin.
Awalnya Wawan merasa nyaman karena memiliki rekan untuk menangis. Akan tetapi, ketika aum harimau kawin tiba pertama kali terdengar, penis Wawan langsung bocor. dia takut ikut diterkam.
Lusa setelahnya rasa takut Wawan diinjak oleh penasaran. Dari rintih pertama Kakek, Wawan langsung jongkok dan memasang matanya di celah pintu kamarnya. Setelah pekik pertama, Kakek terlihat keluar kamar dengan mata basah dan ingus menetes. Setelah auman itu muncul, tak lama Kakek masuk ke dalam kamar dengan penuh keringat dan aroma kambing yang makin kental. Mata Kakek sudah tidak basah, wajahnya sudah kembali dengan senyum yang terasa berbeda.
Wawan sudah memutuskan untuk membongkar akar auman itu. Meskipun hal tersebut melanggar prinsip Wawan, sebuah prinsip yang diajarkan ibunya, yaitu berhati-hatilah, jangan ikuti hatimu, hatimu tidak punya otak. Pengecualian untuk kasus ini, karena otak juga turut serta untuk menggalinya.
Beruntunglah Wawan karena insomnia yang dia gendong tiap malam. Dia jadi tidak takut ketiduran selayaknya anak-anak bau pesing. Sebenarnya Wawan tidak seberani itu, dia hanya lupa akan takut, dan sedikit lapar. Dia membuka tas ranselnya dan mengambil sebungkus keripik pisangnya, menyisikan satu keripik lagi di sana.
Pintu kandang dibuka. Ada sembilan kambing di sana yang sudah tertidur pulas dan tidak peduli akan kehadiran Wawan, kecuali satu kambing yang malah mendekat. Lonceng di leher Kambing itu menyanyikan lagu selamat datang ke Wawan tanpa canggung. Ini semua berkat meja makan yang mengakrabkan mereka. Bisa dibilang mereka adalah saudara semeja. Mereka saling berhadapan, dan entah mengapa tinggi mereka sejajar. Kambing itu lebih tinggi dari biasanya, bulunya lebih gondrong, dan putingnya lebih merah. Wawan hampir lupa bahwa makhluk di hadapannya adalah kambing, bukan ibu-ibu.
Wawan mengelus kepala kambing itu. Indera di jarinya kegirangan akan rasa halus. Kambing itu memang berbeda dibanding kambing lain yang buluk, meskipun tetap Bau. Kambing itu mengendus jaket Wawan seperti anjing polisi yang menemukan narkoba.
Wawan merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sebungkus keripik pisang, yang langsung disambut oleh lidah si kambing. Keripik itu langsung Wawan buka dan berikan kepada kambing karena ia tidak kuat dengan melas matanya. Dengan lahap dikunyahlah keripik itu. Si kambing langsung meloncat-loncat kegirangan bagai monyet dikado pisang.
“Enak?” Wawan Kaget. Suara itu tiba-tiba muncul dari belakangnya. Kakek mendekat. Kakek masuk melawati pagar mengarah ke kambing itu. Kakek memukul kepala kambing dengan kepalan tangan dan berteriak lagi. “Enak?!”
Badan Wawan seketika gemetar. Dia bingung akan apa yang terjadi. Tanpa peduli kehadirian cucunya, Kakek terus melanjutkan pukulan-pukulannya, menggenggam kaki kambing, dan menyeretnya ke arah sebuah ruang gelap diiringi denting lonceng dan jeritan kambing. Dingin malam itu lenyap disetrika.
Kaki Wawan mengikuti jejak mereka, tetap dengan langkah ragu, dan tak berhenti mengompolkan keringat. Setibanya di depan pintu, Wawan hanya menampakan sedikit wajah pucatnya. Di dalam, ruangan itu penuh dengan perkakas besi. Si kambing tergeletak lemas dengan leher terikat tali tambang. Kakek mengambil palu, mengangkatnya, dan menghempaskannya dengan keras ke lonceng kambing sampai gepeng. Itulah saat terakhir lonceng bergema memenuhi ruang itu.
“Enak keripiknya?!” teriak kakek sambil melanjutkan pukulan palunya ke empat kaki kambing.
Tiap ketok dibalas kambing dengan jeritan yang perlahan lirih seiring kakinya yang makin pipih. Wawan yang cuma pengamat tidak mau kalah dengan ikut menangis histeris. Wawan kecewa. Dia melanggar aturannya sendiri untuk tidak berisik ketika menangis.
Ingus Wawan tumpah. Matanya banjir. Kakek mulai berhenti memegang palu dan tanduk kakek sudah menyusut. Kakek pun berdiri. Dia berbalik badan, menatap Wawan dengan senyum dan mendekatinya seolah tidak terjadi apa-apa. Dengan gerakan cepat tangan kakek mendekati Wawan.
Wawan tidak merasakan apa-apa. Kakek hanya mengambil celurit yang ada di dekat Wawan. Kali ini tangan Kakek mendekat lagi ke Wawan dan menyentuh pundaknya. Seperti guru yang menggiring murid, Wawan diajak untuk mendekati kambing yang masih terkelepar pengap. Wawan menahan kakinya, tapi sentuhan kakek menghipnotisnya untuk tetap berjalan.
Mereka berjongkok di hadapan si kambing. Amarah masih terasa bertengger di Kakek saat dia berbicara kepada Wawan.
“Lihat.” Ujung celurit tertancap di perut kambing. Seperti menggali mata air, bacokan itu membuat sungai merah mengalir beserta sungai bening di mata pembacok. Berkali-kali Kakek mengulanginya, dan beberapa kali berhenti untuk mengusap matanya yang becek. Kakek mengakhiri dengan sayatan terakhir yang membelah perut kambing. Tangan Kakek menyelinap masuk belahan itu, dan sekejap ditariknya semua isi yang tertanam. Seperti kado, Kakek memberikan jeroan itu ke Wawan dengan girang.
“Punyamu,” ucap Kakek.
Wawan menerimanya, tapi isi perutnya menolak karena amis yang tak tertahan. Ternyata kado kakek belum berakhir. Kakek juga memberikan celuritnya kepada Wawan dan berkata.
“Giliranmu.”
Wawan memegang celurit itu yang sudah sewarna dengan tangannya. Wawan menatap si kambing. Napas kambing masih berbisik, dan matanya berteriak ke Wawan. Wawan sudah tenang. Bekas air di wajahnya sudah benar-benar kering. Dia tahu apa yang harus dia lakukan, bukan hanya saat itu tapi seterusnya. Dengan dua tangan berujung celurit, Wawan menusuk tengkorak kambing.
***
Pundakku teryata masih cukup kokoh untuk menggendong Wawan. Dia memang cukup berat untuk bocah seumurannya. Aku bersyukur telah mengajarkan hal tersebut kepada cucuku ini. Keadilan memang harus ditegakkan, meskipun harus mengorbankan cintamu.
Aku meletakan Wawan di kasurnya. Tidurnya sangat lelap seperti tidak pernah tidur berhari-hari. Dari wajah lelapnya, ada yang terbangunkan dari diri ini. Wajah Yanti. Wajah dia mirip. Semoga Wawan paham, supaya dia tidak bernasib sama seperti Yanti. Yanti sudah diberi pelajaran. Dia seharusnya sudah paham siapa yang memiliki dia. Parjo memang Bajingan, tapi semua akan baik-baik saja jika Yanti bukan lonte.
Malam itu tenagaku cukup terbakar banyak. Perutku sampai berteriak. Untung saja ada sebungkus keripik pisang yang mengambang dari dalam tas wawan.
Sayang sekali malam ini kambing itu mati. Sial. Tidak apa. Masih ada kambing lain. Akan kupilih kambing yang lebih mulus. Kambing yang lebih segar. Kambing yang bisa melupakannya. Bajingan. Aku rindu Yanti.
***
Langit sudah terang. Wawan terbangun dengan tangan yang masih bau amis. Perut dia kosong, tetapi keripik pisangnya lenyap dari tasnya. Wawan mencari seisi rumah dan tidak menemukan apapun. Dia pun masuk ke kamar kakek. Kakek tertidur pulas sekali. Wawan tidak tega membangunkan dan juga terlalu dewasa untuk mengganggu orang lain agar perutnya kenyang.
Wawan membalik badan dan keluar dari kamar itu. Di ambang pintu ia berhenti. Ada sesuatu yang janggal pada pelukan Kakek. Wawan kembali masuk dan menyadari bahwa di dalam pelukan tersebut terdapat sebuah plastik bekas keripik pisang.
Wawan pun pergi meninggalkan kamar kakek. Tak lama dia kembali lagi dengan celurit di tangan. Wawan pun berkata, “Punyaku.”
Penyelaras Aksara: Agustinus Rangga Respati
Ilustrasi: Juan Antony