Ayam Pringgolayan

Saya menemukan diri sendiri kembali lewat sepiring pecel lele di Ayam Pringgolayan.


Keluar dari riuh rendah Selokan Mataram, Condong Catur, Yogyakarta, saya menjatuhkan pilihan pada depot makan bernama Ayam Pringgolayan. Ini bukan pilihan yang sulit mengingat setiap kebingungan memilih makanan dapat diatasi dengan nasi hangat dan sepotong ayam.

Hampir dapat dipastikan ini adalah menu yang aman dan nyaman. Apalagi penjualnya juga dapat ditemui setiap beberapa ratus meter sekali di Yogyakarta, terutama di malam hari. Mulai dari tenda kaki lima emperan toko sampai resto terang benderang dengan tempat duduk empuk plus senteran freon, semuanya menyediakan menu ayam. Segala kemudahan itu ada untuk memenuhi hasrat manusia melakukan ritual memakan ayam. Ritual yang sudah dilakukan beratus tahun lalu.

Kegemaran manusia memakan daging hewan memang sudah dilakukan sekitar 2,5 juta tahun lalu, tapi ayam belum terlalu lama jadi pilihan menu di meja makan.

Masyarakat Maresha, sebuah kota kuno di Israel dipercaya telah mengonsumsi ayam pada rentang 400 sampai 200 tahun sebelum Masehi. Ayam betina lebih dulu menjadi korban kerakusan manusia, sebab ayam jantan sibuk dielus-elus sebelum masuk ring adu jalu. Padahal sekarang, dua-duanya akan berakhir di meja makan juga, hanya waktunya berbeda.

Dari sana, bangsa Romawi lalu merebakkan budaya makan ayam seabad kemudian. Sampailah semua dongeng itu menjadi seporsi ayam dan nasi hangat yang ingin saya santap di Ayam Pringgolayan ini.

Disambut kibar spanduk kuning gading dengan tulisan berwarna merah, kedai ini tidak ingin banyak menjelma teks. Di muka, etalase berisi ayam, ikan, dan deretan mie instan cukup menahbiskan tempat ini sebagai kedai yang menjajakan ayam goreng sebagai salah satu menunya.

Dengan kriteria seperti ini, orang galib menyebutnya pecel lele. Meskipun selada hidroponik jarang sekali masuk ke dalam daftar belanja penjual pecel dan ikan yang ada di menu bukan ikan lele, entah bagaimana tempat ini akan tetap disebut pecel lele.

Setahu saya, penjaja pecel lele andal banyak berasal dari Lamongan. Sudah pasti mereka juga menyimpan jawaban atas misteri nama pecel lele. Katanya awal tahun 70-an banyak orang Lamongan yang merantau ke Jakarta untuk jualan soto lamongan. Santapan itu lebih dulu kondang. Setelah soto, mereka akan melebarkan sayapnya ke usaha pecel lele di sebelahnya.

Sebenarnya, kudapan ini disebut pecak di daerah asalnya. Sebuah konsep hidangan dengan cara dipenyet dan diberi sambal. Sementara, pecak di Jakarta lebih karib digunakan untuk menyebut hidangan ikan tawar yang direndam dengan kuah santan berbumbu pedas dengan kemiri. Pecak memiliki dua arti. Entah karena sungkan atau tidak enak sebagai pendatang, walhasil pecak Jawa Timur seterusnya disebut pecel lele.

Sampai saat ini, pecel lele merebak bak jamur di musim hujan. Bisnis ini terkenal tahan banting dan dapat diandalkan. Tenda pecel lele kokoh menancap di kota mana saja dan selalu menemukan penikmatnya.

Ayam Pringgolayan memang tidak ada di tenda, juga tidak berasal dari Lamongan. Namun, tetap saja santapan di sini menemukan penikmatnya. Padahal, tempat ini tidak terlihat seperti tempat pecel lele pada umumnya. Di sini tidak ada spanduk dengan desain yang masyhur itu, tidak ada kobokan, atau daun kemangi.

Ayam Pringgolayan justru tampil sebagai tempat yang nyaman dengan tanaman yang digantung, desain alas meja yang cutting edge, juga rak buku dengan tema yang tabrak lari. Meski demikian, sepotong ayam, nasi hangat, dan sambal memang bisa dinikmati di mana saja.

Pecel lele memang makanan segala kondisi. Ia bisa dihampiri seorang pegawai pulang kerja yang seharian dimarahi bosnya, anak kost bangun tidur yang kelaparan, atau ibu ngidam di tengah malam. Ia nikmat dimakan malam, atau siang yang terik, tapi tidak menutup kemungkinan untuk sarapan menghadapi hari yang berat.

Ayam goreng, nasi, dan sambal memang a piece of cake. Siapa saja bisa mampir dua tiga kali seminggu ke pecel lele. Kebingungan memilih menu makan terjawab lewat sepiring nasi hangat, sepotong ayam, dan sambal.

Meskipun ayam sudah sering kita makan setiap hari, entah kenapa hal yang berbeda terjadi ketika ayam digoreng dengan tepung yang kriuk dan dijajarkan pada etalase belakang kasir oleh waralaba Amerika. Apa yang membedakan ayam di etalase pecel lele dan waralaba Amerika?

Sementara seorang pegawai dengan gaji UMR Jogja belum tentu pergi ke sana sebulan sekali. Seorang anak kost dengan kiriman pas-pasan hanya mampu memesan es krim dan duduk berlama-lama mengerjakan tugas. Ia sekadar berganti suasana dari kostnya yang pengap sambil membeli gaya lewat es krim rasa stroberi.

Di sana, tidak akan ditemui mas-mas yang masih menggunakan helm antre di kasir. Atau, anak kost bangun tidur yang asal menyambar cardigan untuk dipadukan dengan piyamanya.

Waralaba ayam Amerika jarang sekali menyediakan pemandangan orang yang datang sedirian, minimal berdua, atau satu keluarga. Pemuda pemudi pacaran, rombongan teman akrab, atau satu mobil keluarga di awal bulan. Meskipun tidak semua begitu, biasanya mereka yang datang dalam sebuah perayaan.

Yang datang ke sana pastilah memang bertujuan ingin ke sana, sudah menyisihkan waktu dan tentu saja koceknya. Mereka makan perlahan, karena bagi mereka makan ayam yang satu ini adalah rekreasi, bukan lagi sekadar mengganjal lapar. Sebab mengganjal lapar untuk sebagian orang adalah tugas sayur kangkung dan tempe garit.

Setelah makan mereka juga tidak akan tergesa-gesa pulang. Bukan karena kekenyangan sebab biasanya malah porsi di tempat itu kecil, tetapi untuk memaknai apa yang baru saja mereka konsumsi.

Dengan meja yang berserakan mereka mengobrol dan senda gurau. Siapa saja di luar dapat melihat dari jendela kaca besar yang rajin dilap. Mereka layaknya ayam di dalam etalase meja pemesanan. Semua bisa melihat, tetapi belum tentu dapat merasakan.

Pemandangan seperti itu tentu saja tidak terpampang di pecel lele. Orang datang karena lapar dan pulang segera setelah kenyang. Paling lama setelah sebatang rokok. Begitu juga akan terjadi keesokan harinya, lusa, tubir, dan tulat.

Beberapa memang datang bersama orang lain, tetapi pecel lele menyediakan ruang yang ramah bagi mereka yang datang sendirian. Mereka yang ingin merayakan kesepian. Mereka yang menjunjung tinggi kekhusyukan saat makan.

Sebagai contoh, Ayam Pringgolayan menghadapkan semua mejanya ke tembok. Sehingga mau datang bersama berapa orang pun, pemandangannya sama. Setiap orang diakomodasi kepentingannya, termasuk yang datang sendiri.

Tidak ada mata yang mengekor dari pintu depan kepada siapa saja yang datang dengan dirinya sendiri ke pecel lele. Ia bisa datang, pesan, makan, kenyang, dan pulang.

Pesanan saya datang. Nasi hangat, bersanding dengan ayam goreng, ikan, tempe, terong, sambal merah dan hijau, juga selada hidroponik yang segar. Saya datang sendiri, membelokkan halauan keluar dari ingar bingar, ketergesaan, dan klakson menyalak di Selokan Mataram. Saya menemukan diri sendiri kembali lewat sepiring pecel lele di Ayam Pringgolayan.

 

Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto: Juan Antony

 

 

1 comment
  1. Ulasan tentang umkm dari sudut pandang yang berbeda.
    Sangat keren dan kreatif.
    Keterampilan membuat ulasan ini perlu di ATM (Amati Tiru Modifikasi) oleh para Pendamping UMKM.
    Mari kolaborasi!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts