Masyarakat pesisir Karangbolong meyakini adanya kepercayaan menghormati laut, menghargai yang goib, dan percaya atas kekuatan leluhur akan datang memberi restu dengan mengadakan prosesi sesaji.
Belum lama, sekitar 5 bulan lalu saya kembali ke tempat ini: Goa Karangbolong, Pesisir Kota Kebumen, Jawa Tengah, tepatnya mengunjungi Mandor Unduh (pimpinan adat setempat).
Alih-alih menilik ke belakang sekitar tahun 2018 saat napak tilas, saya penasaran bagaimana binatang kerbau jadi piranti penting dalam tradisi kultur setempat. Selain tradisinya, daerah ini memang tersohor dengan kekayaan alam yang indah khususnya lajur garis pantai selatan dengan goa-goa di tepian bibir pantai. Terdapat beberapa lokasi di sini yang dipercayai sakral; Goa Karangbolong dan pesanggrahan Ratu Kidul, yang terakhir konon Bung Karno sempat ke sini.
Sementara di selasar utara, sekitar 30 meter dari pesanggrahan ada gudang kecil tempat di mana petani sarang walet menyimpan perkakas unduhan yang digunakan untuk beradu nyawa dengan tebing curam dan ganasnya ombak. Alat-alatnya sederhana seperti tali tambang, pelindung kepala, besek, dan beberapa kain.
Di sini pula ada satu lukisan tanpa nama dan tahun, gayanya surrealism, visualnya sangat kosmologis menggambarkan peristiwa unduhan. Orang-orang di sana tak ada yang tahu asal-usul lukisan tersebut. Selain lukisan juga terdapat arsip-arsip berupa foto lawasan yang menggambarkan runutan prosesi unduh sarang walet yang terpasang di dinding. Kondisinya sangat memprihatinkan, dan saat kembali ke sana untuk ketiga kalinya, arsip itu telah lenyap, dibuang begitu saja dengan dalih sudah usang.

Sakralitas Kerbau
Ngunduh sendiri adalah kegiatan mengambil atau memanen sarang burung walet. Di sini memang tempatnya burung walet hinggap dan menghasilkan ribuan sarang. Aktivitas ini jadi salah satu mata pencaharian petani setempat dan tak heran jika burung ini turut menjadi ikon kota Kebumen. Sebelum dilakukan panen/unduhan, masyarakat setempat mengawalinya dengan ritual unduh. Ritual ini dilakukan dengan tata cara yang cukup rumit, yaitu 99 macam ubo rampe harus tersedia.
Rangkaiannya seperti prosesi pemotongan kerbau, pesta rakyat berupa makan bersama dan pertunjukan lokal seperti wayang dan diakhiri dengan kenduri dan tayuban. Konon laku ini ditujukan kepada Nyai Roro Kidul dan beberapa nama tertentu yang dipercayai oleh masyrakat setempat.
Sayang ketika beberapa kali mengunjungi lokasi ini saya hadir bukan saat peringatan satu suro, dan sekaligus terhalang pandemi Covid sehingga prosesi ini urung dilakukan. Entah di tahun ini, jika dilakukan pun mungkin dengan format yang berbeda.
Peristiwa ini menjadi sakral karena letak unduhan yang berada di tebing curam dan bibir pantai dengan ganasnya ombak yang bisa kapan saja menghajar para petugas unduh, maka menjalanankan laku selamatan menjadi penting. Masyarakat meyakini adanya kepercayaan menghormati laut, menghargai yang goib, dan percaya atas kekuatan leluhur akan datang memberi restu dengan mengadakan prosesi sesaji.
Sebenarnya aktivitas ini semacam usaha menghindarkan diri dari malapetaka. Para petugas unduhan senantiasa berharap diberi keselamatan dengan meminta restu kepada Tuhan dan alam semesta saat melakukan kerja heroik panjat tebing, serta dengan harapan mendapat tangkapan yang melimpah. Salah satu piranti unduh terpenting adalah binatang kerbau. Di tempat ini cara penerapannya agak berbeda dengan tradisi di tempat lain yang turut menggunakan binatang serupa.
Menilik ke belakang, kerbau memang memiliki bentang historis panjang dan keterikatan religiusitas, budaya, sosial, juga mentalitas masyarakat Nusantara. Misalnya saja kerbau menjadi binatang yang paling aman untuk dipilih sebagai kurban untuk menghormati umat Hindu yakni dengan tidak menyembelih sapi. Kerbau juga dipercayai binatang yang senantiasa membantu petani untuk membawa hasil panen atau membacak sawah.
Juga dalam konteks ritual budaya misalnya Rambu Solo di Tana Toraja yang melakukan penebasan kerbau dengan jumlah yang tidak sedikit guna memperingati peristiwa kematian. Sementara di Solo kepala kerbau dipisahkan dan dikubur bersama dengan kain mori putih. Pada saat yang sama Yogyakarta melakukan laku sesaji dengan binatang kerbau untuk dibuang ke Gunung Merapi dan pantai selatan atas nama larung sesaji. Bergeser ke barat menuju pesisir Kebumen, kerbau turut jadi piranti utama untuk ritual. Rasa-rasanya ini menarik, ada peristiwa transit dan transisi. Jika kepala kerbau memiliki simbol kuat di dua kota sebelah timur dari Kebumen itu, maka di Kebumen justru kaki kerbau jadi pusat religiusitas dalam konteks ritual.
Kerbau itu dibunuh dan dikurbankan dalam balutan kesucian oleh masyarakat setempat–Karangbolong, pesisir selatan Kota Kebumen. Khidmat aktivitas mereka nyaris membuat salah paham bagi sebagian kalangan. Ngunduh semua kembali suci dan selaras dengan alam sebagai bentuk syukur.
Kerbau sebagai tumbal sebenarnya bukan hal yang asing. Namun barangkali ada sisi yang terasa paradoks ketika melakukan investigasi mandiri, rasanya seperti menemukan ikhwal menarik menyoal keberadaan bagian-bagian tubuh kerbau itu setelah dikurbankan. Menurut salah satu masyarakat unduhan ketika berbincang di kediamannya, tubuh kerbau yang senantiasa dengan damai diselimuti doa-doa, dagingnya dimasak dan dibagikan kepada orang-orang yang terlibat dalam prosesi. Bagian kepala dari tulang, mata, dan lidah akan diolah jadi cokbang (oseng bumbu lengkap) dengan harapan mereka semua terlimpahkan berkah dengan memakan daging itu. Kemudian kaki kerbau bagian depan dan belakang diambil masing-masing satu bagian untuk dibawa ke Pesanggrahan Nyai Ratu Kidul, tokoh yang sangat populer dalam mitologi masyarakat Jawa khususnya.
Kaki kerbau itu telah berada pada titik yang paling transendental, sebagai bentuk kekuatan spiritual sebelum para petugas unduh menaiki tebing. Kaki kerbau menjadi manifestasi tertinggi masyarakat setempat tempo dulu selain peran kerbau yang kerap dekat untuk membantu pekerjaan petani, tapi juga karena di bagian kaki, tubuh tertopang dengan kokoh, kekuatan dan energi yang besar ada di bagian ini. Maka besar kepercayaan kaki seakan menjadi simbol kekuatan nenek moyang akan turut hadir untuk membantu para pekerja unduh menjalankan aktivitas panjat tebing curam demi meraih sarang-sarang walet–untuk tolak bala.
Tangan-tangan cekatan dan nyali yang besar menyatukan tali tambang, memanjat tebing-tebing curam, kadang kala bersinggungan dengan ganasnya ombak pantai selatan sudah tentu dilewati para petugas unduhan dengan ikhlas, syukur, dan keberanian. Sayangnya saya tidak berhasil mengabadikan momentum ini, karena lokasi yang tidak memungkinkan untuk dilewati, atau bahkan hanya sekadar untuk dilihat.
Aktivitas panjat tebing tentu bukan sesuatu yang lazim dilakukan oleh setiap orang, bukan juga suatu keharusan tanpa alasan. Mereka melakukannya atas kepercayaan rasa syukur kepada Tuhan, keselarasan ekologis, dan urusan domestik. Saya ingat betul saat menemui salah seorang mandor unduh di kediamannya. Ia bercerita sepintas asal-usul, prosesi, hingga kesan pertentangan masyarakat setempat atas keberadaan lelaku ritual tersebut.
Semacam ada dikotomi di dalamnya karena ngunduh sarang burung walet ini dalam prosesnya erat melibatkan alam. Masyarakat setempat memiliki kepercayaan bahwa alam tidak dapat diganggu gugat, maka segala yang melibatkan alam harus meminta izin dan masyarakat Karangbolong menggunakan potongan kerbau dan rangkaian lain sebagai simbol permintaan izin kepada Tuhan dan alam sekitar. Jika masyarakat akan melakukan proses potong kerbau dan ngunduh, maka harus ada syarat tertentu yakni sesaji/sajen.

Medan yang (mungkin) Baik-baik Saja
Ada ironi yang terjadi di lokasi ini. Lelaku penggunaan penumbalan kerbau atau sesaji lain yang dipahami sebagai bentuk nguri-uri kebudayaan, justru terasa terjadi pertentangan dalam ranah ideologi dan keimanan yang terjadi. Seperti ada arena kontestasi kebenaran bagi yang tua dan yang muda, bagi yang muslim dan penganut ajaran leluhur. Secara kebetulan mayoritas di tempat ini adalah mereka yang muslim dan tampak hidup berdampingan secara harmonis dan humanis.
Konektivitas manusia dan pengalaman ekologis yang dinyatakan dengan hewan kerbau seakan menjadi penanda kontradiktif dalam konteks penganut kepercayaan dan agama Islam. Ini juga bertalian dengan konteks di mana praktik simbolik kerbau mulai ditinggalkan dan akan berdampak pada masalah ekologis. Sistem kepercayaan leluhur yang lekat dengan ruang lingkup ekologis, melibatkan manusia dan alam sehingga tidak dapat terpisahkan dan tak lain sifatnya menjaga.
Barangkali ini merupakan sebuah kesalahpahaman yang terlanjur tumbuh subur dalam lapisan masyarakat. Menilik lebih tajam ke belakang menyoal pembunuhan hewan, pada kepercayaan umat muslim misalnya terdapat sebuah ritual yang dinamakan qurban yang dilakukan pada hari Raya Qurban. Hal ini tercermin dalam peristiwa Nabi Ibrahim yang disembelih oleh Ayahnya atas firman Allah SWT.
Segaris dengan kepercayaan masyarakat yang menganut paham leluhur tentang animisme dan dinamisme, menghadirkan kerbau sebagai hewan sembelih nampaknya tetap sama. Hanya biasanya kata “persembahan” dan “ritual” menjadi sesuatu yang identik dan terkadang dihubungkan dengan sesembahan pada hal-hal selain Tuhan.
Sebagian masyarakat menduga bahwa penurunan hasil unduhan dipercayai atas kehadiran masyarakat muslim yang radikal dengan kepercayaannya. Atau memang zaman telah berganti, generasi muda saat ini makin abai dengan nilai-nilai tradisinya sendiri, atau maraknya pemburuan burung walet oleh manusia tak bertanggung jawab.
Persepsi sentimentil ini muncul dengan anggapan bahwa menurunnya perolehan unduhan adalah dampak dari kehadiran radikalisme agama yang ada di masyarakat setempat. Karena tempat-tempat yang dianggap sakral, tidak boleh dimasuki orang umum kecuali petugas unduh yang justru di masa sekarang dibuka umum untuk wisata. Di saat yang sama adanya masyarakat muslim radikal kerap menganggap peristiwa tersebut musyrik, sehingga tempat yang dipercayai sangkral justru kemudian digunakan sebagai lokasi ibadah keagamaan yang bersifat mengumpulkan orang banyak seperti jumatan, tahlilan, dan hari raya, ini yang dianggap sebagai pertentangan.
Konon hasil unduhan sejak dahulu selalu mencapai angka 80 sampai 95 kg per tangkapan, kemudian sejak beberapa tahun terakhir mengalami penurunan drastis menjadi 2 kg saja, dan burung-burung tidak lagi hinggap di Goa ini. Penurunan yang heroik dan fenomena yang memprihatinkan.
Perbedaan perspektif yang timbul antar umat penganut kepercayaan agaknya lebih tepat jika dikatakan sebagai kesalahpahaman. Barangkali pandangan orang muslim pada dasarnya adalah benar terkait anjuran berkurban menggunakan hewan, tetapi pada fenomena ini terdapat kekeliruan dalam memaknai bahwa kurban untuk sesembahan yang menyekutukan Allah. Pada dasarnya perspektif kepercayaan dan agama lain adalah sama-sama sebagai rasa syukur kepada Tuhan.
Mungkin saja peristiwa ibadah yang melibatkan masyarakat dengan jumlah banyak justru dapat mengakibatkan burung walet menjadi takut akan kehadiran manusia, belum lagi pemburuan liar, atau bahkan perbuatan asusila oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab di lokasi yang dipercayai sakral. Oleh karenanya, sarang walet tidak dihasilkan dan berdampak pada kemerosotan hasil panen. Ini menandakan bahwa pentingnya menjaga tempat-tempat yang telah disakralkan dengan senantiasa menghargai dan menjaga alam agar tetap seimbang.
Gemah ripah loh jinawi..
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto: Karen Hardini