Peluru Bedil Bapak

Peluru bedil ayah
Ilustrasi: Jim Cooke

Djenar, ibuku memberikan nama ini kepadaku delapan belas tahun yang lalu. Menurut ibuku, Djenar berarti kuning. Aku sendiri awalnya tidak begitu mengerti kenapa aku diberi nama yang artinya kuning. Ketika aku berusia dua belas tahun, sepuluh tahun yang lalu, aku bertanya kepada ibu mengapa aku memiliki nama yang artinya “kuning”. Ibuku menjelaskan bahwa ketika aku masih di dalam kandungan, mendekati saat aku lahir, ibuku tiba-tiba menyukai benda-benda yang berwarna kuning. Bahkan pakaian-pakaian yang ibu gunakan selalu mengandung unsur kuning. Kalau sampai kehabisan pakaian yang mengandung corak berwarna kuning, maka ibu bisa saja sewot selama seharian penuh. Itulah kenapa ketika aku terlahir, ibuku menyisipkan nama Djenar dalam deretan namaku.

Agni, nama ini disematkan oleh bapakku. Agni menurut bapak berarti api.  Rupanya bapak maupun ibu menyumbang satu nama untukku. Kalau ibu menghadiahkan nama Djenar, bapakku menyematkan nama Agni.  Menurut bapak, nama seorang anak laki-laki harus gagah dan berwibawa. Nama seorang laki-laki tidak boleh lembek karena kepribadian si anak dipengaruhi oleh namanya. Bapakku memberi nama yang berarti api untukku dengan harapan aku selalu penuh semangat, berjiwa yang selalu  berkobar-kobar, dan tidak pernah tersesat dalam menjalani hidup karena aku memiliki penerang dalam namaku. Bapakku selalu mendidik aku dengan keras. Menjadi laki-laki harus kuat menurut beliau. Apabila tidak cukup tangkas, lebih baik aku tidak menjadi laki-laki.

Bagi aku sendiri, namaku hanyalah sebuah nama. Entah aku diberi nama yang berarti kuning, merah, hijau, ataupun biru dan nama yang berarti api, air, tanah, dan atau angin, aku sama sekali tidak memandang hal ini sebagai sesuatu yang layak untuk aku pikirkan. Hal yang sebenarnya cukup layak untuk diperhatikan bukan terletak pada nama itu, melainkan pada harapan-harapan yang menyertai setiap nama.

Bapakku adalah seorang polisi. Beliau cukup keras dalam mendidikku. Seperti yang aku ungkapkan sebelumnya, baginya seorang laki-laki yang tidak kuat dan tangkas lebih baik tidak menjadi laki-laki. Komandan Iswahyudi, begitu biasanya para tetangga memanggil bapakku. Ibuku adalah seorang ibu rumah tangga yang baik. Ia juga seorang penjahit. Jahitan ibuku dikenal cukup baik, tak heran kalau banyak yang menjadi pelanggannya.

***

“Kenapa bibirmu bonyok macam itu, Nar?” tanya Jati, teman sekelasku, ketika aku tiba di sekolah pagi itu. Aku hanya diam. Pertanyaan dari Jati hanya aku jawab dengan senyum kecil yang sedikit aku paksakan. “Nar, kalau ada masalah kamu bisa cerita ke aku. Kita berkawan sudah lama, sejak kita sama-sama masih kanak-kanak sampai kita kelas dua SMA begini. Apa kau masih belum bisa percaya sama aku?” Jati kembali bertanya.

Karena aku merasa memang tidak bisa lari lagi dari pertanyaan-pertanyaan Jati, akhirnya aku memutuskan untuk menjawabnya. “Kamu tahu perempatan di ujung kampung itu kan? Kemarin sore, ketika aku pulang dari rumahmu itu, aku di cegat preman. Mereka bermaksud memalak uangku, tapi karena uangku cuma tinggal sepuluh ribu, mereka menghajar aku seperti ini.” Jelasku pada Jati.

Untuk sejenak Jati terdiam, aku mengira nampaknya jawabanku akan bisa ia terima. Namun, ternyata aku salah. Jati masih kurang percaya dengan jawabanku.

“Ish, ada preman berani malak anak komandan Iswahyudi yang kondang itu? Aku kok kurang ngandhel.” Ujar Jati.

Aku hanya menjawab bahwa apapun yang ia kira. Mau percaya atau tidak, tapi memang itulah faktanya. Akhirnya mau tidak mau, Jati menerima jawabanku. Atau mungkin sebenarnya bel mulai pelajaran yang menyelamatkanku. Andai bel itu belum berbunyi, mungkin sebenarnya Jati masih akan bertanya macam-macam hal kepadaku. Untung bel itu segera berbunyi sehingga kami bergegas masuk ke kelas.

Mengingat keraguan dari Jati, sebenarnya keraguan itu tidak sepenuhnya salah. Aku memang dihajar preman. Namun, preman itu bukan preman di perempatan ujung kampungku. Preman itu menghajar aku di ruang tamu rumahku. Preman bertubuh kekar, berseragam polisi dengan pangkat komandan. Ya, preman itu adalah bapakku sendiri, komandan Iswahyudi yang sangat terpandang di kampungku.

Bagi warga kampungku, komandan Iswahyudi adalah seorang polisi yang luar biasa dan lain daripada yang lain. Mereka semua memandang sosok komandan Iswahyudi sebagai pengayom dan pelayan masyarakat yang sangat baik. Memang tidak jarang bapakku membantu tetanggaku dalam urusan-urusan hukum, seperti membuat SIM dan lain-lain. Bapak juga tidak pernah lalai ikut ronda, asalkan dia tidak sedang berdinas. Ketika ada hajatan, bapak selalu hadir dan membantu yang punya hajatan. Luar biasa memang peranan bapakku di masyarakat kampungku. Wajar bila warga kampungku memandang sosok bapak sebagai komandan polisi yang baik, tegas, dan santun.

Sayangnya, itu hanya terjadi ketika di luar rumah kami. Begitu bapak memasuki pintu rumah kami, dia bukan lagi seorang komandan polisi yang baik dan santun. Ia tak ubahnya seorang monster yang siap menelan apapun yang ia jumpai. Jangankan menjadi pengayom, justru ketentraman di rumahku berantakan ketika ia ada di rumah ini. Bibir bonyokku ini menjadi salah satu buktinya. Pandangan warga kampungku terhadap bapak tak lebih dari sekedar tai kucing. Mereka memuja-muja kebaikan bapak yang menurutku artifisial, sangat dibuat-buat. Mereka bisa menganggap bapak baik dan santun. Jelas mereka bisa mengira seperti itu karena mereka belum pernah mencicipi kerasnya sol sepatu dinas bapak.

***

“Agni Djenar, berapa tahun kau belajar membuat kopi, heh?” Bentak bapak pagi itu. Sebelumnya, bapak memang memintaku untuk menyeduhkan kopi baginya. Aku yang baru beranjak dari tilam pun segera membuatkan kopi yang menjadi penyebab bentakan pagi itu muncul.

“Djenar, sini kamu! Dasar kunyuk…” teriak bapakku dari ruang tamu. Dengan enggan aku datangi dia. Aku tau setidaknya aku akan sarapan dengan makian dan tempelengan dari monster berseragam itu. Namun, kalau aku tidak datang, seisi rumah bisa jadi korban amukkannya.

“Cepat, jalannya, kambing! Jalan dari dapur ke ruang tamu saja lambat sekali kau! Sini, cepat!” Teriaknya lagi, aku mempercepat langkahku. Begitu aku sampai di dekatnya, ia segera menarik lenganku dan kemudian memiting kepalaku. Ia jejalkan gelas kopinya, “Nih, cicipi kopi buatanmu! Ini kopi atau seduhan gula, heh?” Perlakuan kasar seperti ini bukan yang pertama bagiku. Ini sudah menjadi semacam makanan sehari-hari buatku. Kalau sudah seperti ini, aku cuma bisa diam, mengumpat dalam hati.

Kejadian pagi itu yang membuat bibirku akhirnya harus memar dan membuat aku menjadi seorang pembohong di hadapan Jati. Aku tahu berbohong itu tidak baik, tapi kalaupun aku ceritakan yang sebenarnya, Jati juga tidak akan percaya. Dia akan lebih tidak mempercayai kejujuranku daripada kebohonganku kepadanya pagi itu. Aku cuma tidak mau cerita panjang lebar, dan ujung-ujungnya aku tidak dipercayai juga. Lebih baik berbohong sedikit, tapi bisa segera menghentikan serangan pertanyaan dari orang-orang seperti Jati ini.

***

Ibu sudah pergi ke pasar ketika aku bangun tidur pagi itu. Praktis di rumah hanya ada aku dan bapak. Agak enggan sebenarnya aku keluar dari kamar, namun berdiam lama-lama di kamar hanya akan menjadi bahan bagi munculnya kemarahan bapak. Ia akan mencap aku sebagai pemalas dan lelaki yang lembek. Mau tidak mau aku keluar dari kamarku. Bapak sedang duduk di salah satu kursi di ruang makan. Ia menikmati sarapannya.

Aku terus berjalan menuju kamar mandi. Tak ada kata, tak ada sapa dari bapak untuk aku, begitu juga dari aku untuk bapak. Agak aneh sebenarnya karena pagi ini ia nampak kalem. Aku tidak tahu harus bersyukur atau curiga terhadap situasi langka seperti ini.

“Nar, bapak berangkat kantor dulu. Jangan lupa beres-beres rumah, jangan main melulu mentang-mentang hari minggu.” Pamit bapak. Aku hanya menjawab singkat, “Ya”. Ajaib, pikirku. Tidak ada bentakkan dari bapak mengawali hari ini.

Selesai mandi, ketika hendak mengambil sarapan, mataku menangkap sesuatu yang janggal. Di meja makan tergeletak sesuatu yang tak asing. Benda hitam berbungkus itu biasanya tergantung di pinggang bapak. Biasanya benda itu tidak pernah lepas dari pingganggnya. Bagaimana bisa hari ini, bedil mungil ini tergeletak di meja makan, ditinggalkan oleh empunya? Aku letakkan kembali piringku. Aku urungkan niat mengambil nasi. Tanganku lebih tergoda untuk merengkuh bedil bapak ini. Aku amati bedil itu, aku nikmati moment itu. Ternyata nyaman sekali ketika tanganmu menggenggam sebuah bedil.

Aku bawa bedil itu ke kamarku. Aku selipkan di bawah kasurku. Aku hanya meletakaannya begitu saja. Aku bahkan tak tau mau aku apakan bedil ini. Mengembalikan kepada bapak? Rasanya sayang sekali melepaskan kemegahan yang sudah dalam genggaman, bukan? Jadi mengembalikan kepada bapak menjadi sebuah hal yang akan aku pikirkan paling terakhir setelah aku benar-benar puas dan tak tahu mau aku apakan lagi bedil ini.

“Nar, kamu sudah sarapan, Le?” Tanya ibu ketika pulang dari pasar.

“Belum…” jawabku dari dalam kamar.

“Ini sarapan dulu. Ibu belikan mie kuning kesukaanmu.” Panggil ibu.

Aku beranjak dari kamarku. Belum sempat aku mengambil piring, terdengar suara pintu dibuka dengan kasar. Bapak masuk dengan muka merah, nampak sangat emosional. Ia segera menuju meja makan. Aku langsung tahu tujuannya, ia pasti mencari bedilnya.

“Nar, kau lihat bedil bapak?” Tanya bapak dengan kasar.

“Tidak, pak.” Jawabku singkat.

“Heh, jangan bohong kamu! Tadi bapak taruh meja makan. Cuma ada kamu dan bapak tadi yang di rumah!” Sahutnya sambil membentak dan menamparku. Mendengar suara ribut dan suara bapak membentak, ibu keluar dari dapur.

“Ada apa, pak?” tanya ibu lembut tapi tak bisa menyembunyikan rasa paniknya.

“Ini, anakmu ini sudah belajar menipu! Gara-gara kau selalu memanjakannya, ia jadi anak yang tidak jujur.” Tukas bapak.

“Tidak jujur bagaimana toh, pak? Tidak mungin Djenar menjadi pembohong, pak. Senakal-nakalnya Djenar, ia anak yang jujur” tanya ibu kaget.

“Kamu berani membela anak setan itu?” bentak bapak.

Hatiku sakit mendengar bentakkan itu. Boleh bapak membentak, menampar, memukuli aku tapi jangan pada ibu. Satu bentakkan terhadap ibu, seperti seribu peluru bedil bapak menghujam telinga dan hatiku. Aku beringsut menuju kamar. Aku menangis di dalam kamarku. Sementara di ruang makan, bapak masih memaki-maki ibu.

“Ampun, pak… Ampun.. Iya, pak. Aku ngaku salah. Ampuuuuun…” ratapan ibu semakin menusuk hatiku.

“Pak, bedilmu ada di sini” kataku yang sudah tepat di belakang punggung bapak dengan bedil yang juga sudah terarah tepat ke dadanya.

“Naar, jangan… Ingat, le dia itu bapakmu… Jangan nekat, Le!” Kata ibu sambil terus menangis. Tapi terlambat, “Dooor..” sebuah peluru telah termuntahkan. Bapak mengerang sambil terjatuh. Ibu tergopoh-gopoh mendatangi bapak. Ia terus menangis sambil memanggil-manggil bapak. Beberapa detik kemudian, “ Door… Door…” terdengar kembali suara bedil bapak berdentum dua kali.

Yogyakarta, Maret 2015

Editor: Endy Langobelen

2 comments
  1. Nomen est omen. Nama adalah tanda. Cerpen ini menguak soal itu. Ulah anak scra “magis” disebabkan oleh pemberian nama dri ayah dan ibu. Nama yg diberi ibu membuat si anak suka mie kuning. Nama dari ayah membuat dia brani menembk ayahnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts