Pedangang bendera mulai mewarnai jalan Bekasi Barat Raya. Semua berjejer hendak menjajakan dagangannya bendera merah putih dari yang kecil sampai yang besar, umbul-umbul yang naik dan melintang, dan bendera kecil untuk hiasan kaca mobil tertata rapi. Jalanan yang rami tak menghiraukan mereka – para penjual bendera itu. Semua bergerak ke tujuan yang sudah ada diinginkan sebelumnya. Panas matahari menyengat mereka yang berteduh di bawah naungan Sang Saka Merah Putih. Ada sedikit ruang teduh dari tatanan bendera yang besar dan umbul-umbul yang ditata melintang. Nasib mereka di jalanan dilidungi dari terik dan panas siang itu.
Debu jalanan tak memberikan hasil. Hari menjelang sore. Tidak ada satupun bendera yang laku. Yusuf, salah satu pedagang tampak menyerah untuk memperjuangkan hidupnya lewat Sang Saka Merah Putih. Tidak ada yang laku satu pun. Bahkan, bendera yang paling kecil saja tidak terjual.
“Budi mau makan ayam tepung, pak,” kata anak kecilnya.
“Kamu tidak tahu? Dari tadi, belum ada satu pun dagangan bapak yang dibeli. Boro-boro beli ayam tepung, beli beras untuk makan saja sudah sulit.” Yusuf tak dapat membendung amarahnya.
“Pokoknya, aku mau makan ayam tepung hari ini!”
“Dasar anak tak tahu diri! Sudah diberi makan setiap hari, bukannya bersyukur malah minta lebih!” Pergilah Budi. Entah kemana arahnya. Yang jelas, ia menjauh dari bapaknya. Budi berlari.
“Hwaaa… Hwaaaa… sakitt… sakitt…”
Yusuf bisa mengerti suara tangisan itu. Ia segera berlari ke arah suara itu berada. Tak jauh dari tempatnya beradu nasib dengan menjual bendera merah putih, Budi terserempet motor. Mulutnya berdarah.
“Mulutku sakit, pak.”
“Tidak apa-apa. Ini ada luka kecil di dagu. Nanti, bapak ambilkan daun pinisilin di dekat
pagar dagangan.”
Yusuf menggendong Budi yang kakinya juga lecet. Kakinya memar dan lukanya masih merah segar. Dengan segera, Yusuf memetik daun pinisilin yang ada di pagar. Ia melumatkan getah bening itu ke luka-luka yang memerah di kaki dan dagu Budi.
“Kuat untuk jalan?”
“Kuat, pak.”
“Sana, belilah es di mpok Sugi. Setelah beli, kamu harus pulang.”
Yusuf menyerahkan uang untuk menghibur Budi itu. Tidak banyak karena es yang dimaksud itu hanyalah es potong gabus yang harganya juga tidak mahal. Budi pulang. Yusuf Kembali ke peraduan nasibnya. Senja hampi masuk dalam pemenuhan. Lingsir kulon diwangkara sudah menyambut dengan lampu jalan yang menyala. Hari ini ternyata nasib tidak berpihak pada siapapun.
Suara adzan sudang berkumandang. Yusuf mulai membereskan dagangannya. Pelan-pelan ia lipat Sang Saka Merah Putih dengan penuh hormat – tanpa menyentuh tanah. Padahal, ukurannya bisa lebih besar dari badannya. Tinggi badannya hanya sepertiga dari panjangnya umbul-umbul itu. Pelan-pelan dan penuh khidmat, Yusuf melipat bendera yang cukup banyak itu.
Sebuah motor berhenti tepat di depan lapak Yusuf. Orangnya tertutup. Jaket dan celana serba hitam. Mereka berboncengan. Motor itu suaranya besar. yusuf tidak menghiraukan keberadaan mereka.
“Berapa semua bendera dan umbul-umbul ini?”
Yusuf terbelalak.
“Anda siapa? Mengapa anda bertanya seperti itu? Seperti mau membeli semuanya saja.”
“Saya utusan dari petinggi saya. Kami butuh pembaharuan bendera dan umbul-umbul yang ada di kantor kami. Kalau tidak mau dibeli, saya beli di sebelahnya.”
Yusuf kaget. Ia panik untuk memberhentikan kedua orang yang serba menggunakan pakaian hitam itu. Ia sadar apa yang ia katakan tidak berkenan di hati mereka.
“Sabar, pak. Maaf-maaf. Saya kurang sopan. Silakan ditunggu. Saya hitungkan semua.”
Kedua orang itu tetap di motornya sambil menunggu Yusuf menghitung. Yusuf sendiri yang tidak lulus SD itu mencoba untuk mencari cara untuk menghitung agar tidak rugi. Ia menggunakan kalkulator.
Bendera yang dijual Yusuf tidak banyak sebetulnya. Ia hanya memajang sedikit. Maka, ia hanya melepaskan yang ia pasang saja.
“Totalnya jadi satu setengah juta, pak.”
“Satu juta saja ya?”
“Jangan, pak. Tidak dapat untung nanti.”
“Mau berapa untungnya?”
“Kalau satu bendera saya bisa untung jigo, pak”
“Banyak sekali kau ambil untung. Saya beri untung gopek buat semuanya, dah. Kalau mau bungkus. Kalau tidak, saya acari tempat lain.”
Yusuf berpikir-pikir. Sebetulnya, sebodoh-bodohnya dia dalam berhitung, ia masih tahu keuntungan dan kerugiannya. Rugi sebetulnya karena Yusuf masih memikirkan biaya dalam membuat dan membeli barang. Tapi, semakin ia perhitungan, semakin kehilangan pelanggan.
“Ya sudah, pak. Boleh-boleh. Saya lipatkan dulu bendera yang lain.”
Kedua orang itu menunggu sambil melihat-lihat bendera yang masih dipajang. Dirasa-rasakannya bahan bendera itu. Lalu, salah satu dari mereka menatap ke temannya dan mengacungkan jempol. Entah tanda apa itu. Mungkin, tanda bahan yang digunakan itu baik. Setelah agak lama, Yusuf selesai melipat semua bendera itu dan menatanya dalam plastik besar.
“Bisa bawanya kan, pak?”
“Bisa. Sini, taruh di tengah saja.”
“Ini uangnya. Dihitung dulu. Sudah pas atau kelebihan?”
Yusuf menghitung lembar demi lembar uang itu. “Pas, pak. Terima kasih banyak.”
Yusuf langsung memasukkan uang itu di celananya. Ia menyelipkan uang itu di kolor celananya. Setelah itu, ia berjalan pulang dan sambil menuntun sepeda tuanya.
Di tengah jalan, ia teringat Budi, anak satu-satunya yang meminta ayam tepung. Dengan uang yang ada, ia masih harus membeli bahan bendera lagi. Tapi, Budi meminta ayam tepung yang sulit dicari di daerah sini.
Ia memutuskan untuk ke pusat untuk membeli ayam tepung di salah satu kedai besar. Cukup jauh, ia harus mengayuh sepeda itu dari Bekasi Barat Raya ke Matraman. Dengan pakaian yang seadanya, ia masuk kedai itu. Sepedanya hanya diletakkan di pagar depan. Dekat dengan pedagang kopi keliling itu.
Ia terbelalak melihat harga ayam tepung itu. Tapi, semua itu tak penting. Yang terpenting adalah anaknya, Budi. Yusuf membeli dua paket ayam tepung itu. Lalu, ia membawa pulang secara perlahan ke daerah Rawa Bunga. Sepeda ia kayuh tanpa rasa lelah. Ia ingin segera makan bersama dengan hasil penjualan hari itu.
Hari telah gelap. Yusuf lelah. Tapi, dalam hatinya ia masih menyimpan rasa untuk segera makan bersama dengan Budi. Makan ayam tepung bersama. Jalanan ramai dan tak terkira para pengguna kendaraan bermotor. Yusuf merasa tak fokus. Matanya kabur-kabur. Ia belum sempat makan satu hari ini. tapi, dengan sekuat tenaga, ia tetap mengayuh sepeda tuanya itu. Tangan kanan memegang stang sepeda dan tangan kirinya memegang plastik ayam tepung. Ia masih teguh mengayuh sepedanya untuk sampai rumah.
Motor dari belakang menyenggol sepeda Yusuf. Yusuf kehilangan keseimbangan. Ia jatuh ke kanan, tapi ia tetap mempertahakan ayam tepung keinginan dari Budi. Alhasil, nasi dan ayam tepung itu masih utuh di dalam kotaknya. Namun, Yusuf sudah tak sadar. Kepalanya terantuk aspal jalanan yang keras.
Budi yang melihat bapaknya tidak bergerak lagi hanya mengambil plastik nasi dan ayam tepung yang ia sukai. Budi dan ibunya datang setelah salah satu tetangganya memberi kabar bahwa Yusuf mengalami kecelakaan di jalan Matraman dan sampai sekarang masih ditempat.
Nasib berkata lain. Ketika dibawa ke rumah sakit terdekat, Yusuf berpulang ke keabadian. Luka trauma di kepala itu membuatnya tidak bisa sadar lagi. Ada keretakan di bagian kepala belakang dan pendarahan yang cukup besar. kemungkinan, pengendara itu melaju sangat cepat dan kehilangan keseimbangan.
“Ibu, ayam tepungnya enak. Satunya untuk ibu dan bapak.”
Ibunya menangis dan memeluk Budi dengan erat. Ia masih terlalu kecil untuk mengetahui kenyataan ini. Di depan suaminya yang sudah kaku, ibunya berkata, “Terima kasih, pak. Perjuanganmu sungguh mulia.” Masih dalam pelukannya, ibu berkata kepada Budi, “Hari ini, kita makan ayam tepung, nak.”
Editor : Tim Editor Sudutkantin
terima kasih artikelnya