“Ada satu syarat lagi supaya ramuan obat ini menjadi mustajab mandraguna.”
“Apa itu? Saya pasti sanggup memenuhi syaratnya.”
“Ambil sehelai rambut orang yang baru meninggal dan campurkan ke ramuan ini.”
“Tapi, di mana saya bisa mendapatkannya?”
“Jangan kebanyakan tapi. Ingat, gali kuburannya dengan tangan kosong!”
Bulan mati di atas kuburan. Ia mengapit senter di lengan kanan. Tidak akan ada orang yang lewat sini. Apalagi setelah perbatasan desa ditutup, orang tidak pernah lewat kuburan karena mereka harus putar jalan. Waktu-waktu seperti ini seharusnya digunakan penjaga untuk aplusan.
Ia tahu, tadi pagi ada seseorang dari desa sebelah dikuburkan di sini. Dia mencari gundukan tanah yang masih basah. Dengan hati-hati, dia cabut kayu nisan dari atas makam. Hatinya bergidik, nyalinya mengkeret. Ia mencoba meyakinkan diri dengan memandangi kedua tangannya. Dengan syarat terakhir ini, wabah penyakit di desanya akan segera musnah. Ia mulai mengeruk sekepal demi sekepal.
“Sial! Jagad Dewa! Tidak ada sehelai pun rambut di kepalanya, tidak juga kumis, apalagi jenggot. Mengapa tidak ada yang bilang kalau dia botak?”
Baca juga: Peluru Bedil Bapak (Cerpen)
Sekuat tenaga dia menahan diri agar serapahnya tidak membabi buta. Pamali hukumnya bagi yang melakukannya di depan jenazah. Dengan perasaan dongkol, ia letakkan lagi mayat itu dan menimbunnya dengan tanah. Lekas ia bergegas meninggalkan tempat itu sambil merutuk bersama suara ret-ret tonggeret yang menunjukkan kemarau segera tiba.
***
Sebuah desa diselimuti desas-desus. Beberapa hari belakangan, suara ular dan bisik-bisik tetangga tidak dapat dibedakan. Keduanya sama-sama mendesis.
Seorang paruh baya terhuyung melewati warung makan menenteng satu strip paracetamol. Wajahnya merah, tatapan matanya kosong, dan tubuhnya menggigil. Siang bolong seperti ini, tiga lapis jaket membungkus tubuhnya.
“Dengar-dengar, dia itu demam tinggi setelah dari kota mengunjungi anaknya ya?”
“Jangan-jangan dia kena penyakit kota.”
“Benar kubilang dulu pada anaknya. Tidak usah merantau ke kota. Sekarang lihat, malah bapaknya yang bawa penyakit dari kota.”
“Ada yang pernah bawa kabar, penyakit kota itu belum ada obatnya.”
“Bahkan gembar-gembornya, penyakit kota itu bisa menular hanya dengan menatap mata penderitanya.”
“Serem amat deh.”
Obrolan semakin seru. Dari tiga orang sebelumnya, bertambah jadi lima. Saat mereka pulang, setiap orang bercerita pada siapa saja yang ditemui di jalan. Begitu seterusnya sampai satu desa tahu. Dibutuhkan waktu yang lebih singkat untuk menyebarkan gosip daripada penyakit.
Desas-desus ini kian santer jadi topik hangat di setiap pembicaraan. Setiap orang mulai berlomba mengutarakan pendapatnya mengenai penyakit kota ini. Tidak pernah lepas nama si Bapak Demam dari setiap kalimat yang mereka lontarkan. Penduduk jadi penasaran dan ingin tahu perkembangan keadaannya. Mendadak, setiap gerak-gerik yang mencurigakan dari Pak Demam jadi buah bibir.
Beberapa warga dengan rasa penasaran yang lebih tinggi menguji adrenalin dengan pura-pura lewat depan rumah Pak Demam. Mereka akan sengaja memperlambat jalannya sambil menjulurkan leher melihat ke dalam rumah. Dengan mata terbelalak, mereka adalah burung hantu yang mengawasi tikus di malam hari.
Diam-diam, warga juga meminta tetangga sebelah rumah Pak Demam untuk memata-matai kegiatan beliau. Dia harus berlagak spionase, mencatat apa saja kegiatan yang dilakukan Pak Demam pada secarik kertas. Jasanya dibayar dengan uang patungan warga. Itu semua dilakukan semata-mata untuk menjaga keselamatan bersama, katanya.
Penyakit kota bukan penyakit main-main. Kabar burung yang beredar, di desa nun jauh di sana satu keluarga merenggang nyawa setelah terinfeksi penyakit ini. Sementara, warga yang lain mulai menunjukkan gejala-gejala sejenis. Kabar angin dari desa seberang sungai mengatakan, setiap lima dari enam orang, demam tinggi setelah menyantap makanan dari kota. Mereka muntah-muntah dan tidak berhenti mengeluarkan liur.
Sekali lagi, bisik-bisik memiliki kecepatan mengagumkan ihwal penyebaran berita. Sudah barang pasti bahwa menurut cerita, penyakit kota adalah penyakit yang letal. Warga semakin panik. Mereka mulai saling menaruh curiga. Barang kali ada di antara mereka yang menunjukkan gejala penyakit kota. Tidak ada seorang pun yang benar-benar bebas dari pengawasan.
Keesokan harinya, delapan laki-laki paruh baya berjalan tunggang hilang berani mati menuju kantor Kepala Desa. Tanpa mukadimah, mereka langsung menyesaki bilik kades yang pengap. Pak Kades tersentak. Rokok di mulutnya belum sempat tersulut sebelum akhirnya jatuh ke lantai.
“Pak, ini tidak dapat dibiarkan. Kami mohon kebijaksanaan Pak Kades dalam menangani penyebaran penyakit kota ini.”
“Sabar saudara sekalian, sabar. Kan belum ada bukti yang kuat kalau penyakit kota ini menyebar ke penjuru desa.”
“Sabar bukan solusi, Pak. Kita perlu langkah pencegahan kongkret. Lihat Pak Demam! Makin hari ia semakin terhengit-hengit.”
“Pencegahan juga perlu dasar-dasar yang kuat. Kalau belum terbukti benar, lalu apanya yang mau dicegah. Kalau kalian khawatir dengan bapak yang demam itu, biar nanti saya kirim surat imbauan supaya dia tidak keluar rumah dulu.”
“Lalu apa langkah Pak Kades selanjutnya? Kita tidak bisa diam saja Pak, keluarga kami dalam ancaman.”
“Nanti saya akan coba lapor dulu ke Pak Camat. Semoga Pak Camat sanggup mendatangkan dokter ahli dari kota untuk melakukan tes, untuk memastikan apakah benar penyakit kota ini menjangkiti warga desa”.
Seorang yang naik pitam membanting pintu ruangan. Kaca berserakan di lantai. Air muka Pak Kades mulai kecut. Kelompok itu keluar dari kantor Kepala Desa dengan bersungut-sungut.
Membiarkan ada orang kota yang masuk ke desa adalah kesalahan besar. Itu akan menambah kemungkinan penyakit kota merebak. Pak Kades, sebagai orang yang dinilai bijaksana di desa itu untuk pertama kalinya tidak mendapatkan hormat warganya. Hari itu juga warga desa mengajukan mosi tidak percaya. Warga akan bertindak sesuai dengan naluri dan kesepakatan.
Baca juga: Sebatang Pohon Belimbing (Cerpen)
Jumlah iuran dinaikkan untuk tiap-tiap rumah. Dana bantuan sosial dari kas warga ditarik atas keputusan musyawarah. Warga bertekad untuk menanggulangi penyakit kota dengan tangannya sendiri, tanpa campur tangan kelurahan. Warga yang abai dan tidak terlibat aktif dalam penanggulangan dianggap bukan warga desa. Nama mereka akan dihapus dari grup WhatsApp.
Saat matahari baru sepenggalah, bambu-bambu sudah bersilangan menutup jalan masuk desa. Setiap satu jalan dijaga tiga orang. Setiap ada warga desa lain yang ingin masuk akan diminta untuk putar haluan.
Hari itu kegiatan di dalam desa mati total. Ternak tidak diperkenankan keluar dari kandang. Selain itu, pinggiran kali tak luput disisir patroli warga. Jembatan gantung satu-satunya terpaksa ditebas agar tidak ada yang lewat. Berbagai macam tanda dibuat agar orang paham, tidak ada yang boleh masuk.
Warga dilarang keras meninggalkan desa dalam kurung waktu yang belum ditentukan. Siapa saja yang ketahuan keluar, apalagi untuk pergi ke kota akan diseret paksa keluar dari permukiman. Anak-anak yang sekolah di luar desa diimbau meliburkan diri dan membantu berjaga-jaga. Tidak ada aktivitas kecuali yang berurusan dengan perut.
Sementara itu, mata-mata melihat adanya gelagat aneh dari Pak Demam. Dia pastikan itu berulang-ulang sampai akhirnya memberanikan diri melaporkannya pada warga yang lain.
“Sungguh itu yang terjadi. Saya sudah lihat tiga hari ini”.
“Dia jadi sering batuk-batuk? Dan setiap malam batuknya semakin menjadi-jadi?”
“Benar saudara-saudara. Tak hanya itu, beberapa kali saya perhatikan dia juga kerap meludah di depan rumahnya.”
“Mungkin penyakit kotanya semakin parah. Kita harus lebih berhati-hati.”
“Apakah saya boleh mengungsi sekarang? Saya takut terjangkit.”
“Jangan dulu, tugasmu belum selesai. Nanti saya ajukan supaya bayaranmu naik dua kali lipat, tapi kamu harus terus memperhatikan kelakuannya.”
Siang itu terdengar maklumat, barang siapa yang batuk-batuk apalagi sering meludah akan langsung diasingkan di Balai Warga. Itu adalah ciri-ciri orang yang terjangkit penyakit kota. Siapa saja yang menolak untuk diasingkan akan berurusan langsung dengan Satuan Tugas Penanganan Pelebaran Penyakit Kota alias Satgas Pleyot.
Malam yang lingsir makin menggigil. Hanya terlihat kemit berjalan di luar melaksanakan tugas. Tidak lagi pernah terlihat orang duduk-duduk di luar rumah. Batuk dan ludah sudah lama tak terdengar. Mereka takut ada yang melapor.
Hari-hari di desa itu kian lama makin tak tenang. Terbetik kabar, orang-orang di kota mulai hilang kendali dan beringas lantaran persediaan bahan pokok menipis di tengah mewabahnya penyakit kota. Ada selentingan, mulai terlihat orang berduyun-duyun meninggalkan griya tawangnya di pusat kota menuju ke desa. Mereka tidak hanya mencari bahan makanan, tetapi juga suaka baru. Kota memang sudah lama tidak aman dan tidak layak ditinggali.
Pak Kades mulai hilang akal. Kebun sayurnya terancam gagal panen. Tidak ada warga yang mau mengerjakannya. Melihat apa yang terjadi pada desanya beberapa minggu ini, ia merasa perlu mengambil tindakan. Setelah berunding dengan beberapa warga, ia mengambil keputusan untuk mengunjungi Pak Demam dengan seorang dokter dari Puskesmas. Syaratnya, Pak Kades dan dokter bersedia mengasingkan diri setelah kunjungan demi mencegah penularan.
Baca juga: Senar Pedhot (Cerpen)
Warga setuju. Beberapa di antaranya bahkan mengantarnya sampai depan pagar rumah Pak Demam, tapi tidak ada yang berniat menjemputnya saat keluar. Tak seberapa lama mereka berdua di sana. Dokter dari Puskesmas melakukan tugasnya. Saat keluar, Pak Kades berdiam sejenak di teras rumah Pak Demam. Dalam sekejap, warga berkumpul sambil tetap waspada tidak terlalu dekat.
“Saudara-saudara sekalian, Pak Demam tidak terjangkir penyakit kota. Sekali lagi, Pak Demam tidak terjangkit penyakit kota. Jelas ya.”
“Lalu kenapa gejalanya seperti terjangkit penyakit kota?”
“Waktu pulang dari menjenguk anaknya di kota, Pak Demam kehujanan di jalan, jadilah dia panas dan mengigil. Soal batuknya ini memang sedang musimnya karena pancaroba seperti ini.”
“Bagaimana kami bisa percaya Pak Kades? Di luar sana, penyakit kota sudah memakan banyak korban.”
“Tentu saja karena penjelasan dokter ini. Saya tidak asal ngomong. Sudah ya, masalah selesai.”
Setengah percaya, warga membubarkan diri dari halaman rumah Pak Demam. Pak Kades berusaha melobi warga supaya membuka perbatasan desa dan kembali ke ladang. Warga masih enggan dan memilih tetap berjaga-jaga.
Saat kemit baru bersiap, sebuah pekik keras membelah malam. Pak Demam ditemukan tewas di depan rumahnya. Mata-mata mengatakan dia terpeleset ludahnya sendiri. Warga lain lebih percaya penyakit kota menggerogoti dirinya. Ontran-ontran pecah juga. Warga gaduh dan desas-desus kian nyaring. Atas kesepakatan bersama, besok pagi-pagi benar Pak Demam akan dimakamkan di luar desa, ya di luar desa.
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto: @ismaadaily