Dahulu ketika aku kecil, aku memiliki ketergantungan terhadap buah-buahan. Setiap hari aku harus mengkonsumsi buah minimal satu, buah apa pun. Apabila aku tidak mengkonsumsi buah, bisa dipastikan aku akan sakit setelahnya. Karena ketergantunganku itu, aku sering dipanggil codot oleh teman-teman dan tetanggaku.
Memiliki ketergantungan terhadap buah-buahan, membuat aku merasa bersyukur karena terlahir di desa sehingga untuk mendapat buah tidaklah harus membeli. Di depan rumahku sendiri terdapat sebatang pohon belimbing. Pohon itu sudah ada sejak aku belum hadir di dunia ini, begitu menurut cerita nenekku. Pohon belimbing itu sangat produktif dan tidak kenal musim. Istilahnya kalau Anda bertandang ke rumah saya, kapan pun itu, dan Anda menghendaki untuk menikmati belimbing ini maka Anda tinggal memetik.
Di pohon itu dulu aku pernah menyusun beberapa papan kayu sehingga aku memiliki tempat untuk duduk dan tiduran di atas pohon yang cukup rindang itu. Biasanya aku akan duduk-duduk di situ sambil membaca novel saat sore hari selepas pulang sekolah. Pernah suatu kali, aku asyik membaca sebuah novel sambil tiduran di atas pohon itu. Tanpa sadar, aku tertidur dan ketika bangun aku sudah ada di ujung tempat nongkrong itu sedangkan novelku sudah ada di atas tanah. Jantungku seketika berdegup kencang, untung bukuku yang berpindah ke atas tanah dan bukan aku. Semenjak itu aku menjadi jarang untuk duduk dan menikmati segarnya membaca novel di antara daun-daun belimbing sambil mengunyah buah-buah belimbing yang setengah matang.
***
“Nenek mulai sakit-sakitan, Mas!” kata adikku melalui telepon. “Kalau bisa kamu segera pulang. Nenek ingin melihat cucu-cucunya. Siapa tahu dengan kita semua berkumpul, nenek bisa kembali semangat dan cepat sembuh” lanjutnya. “Baik, Sabtu nanti aku pulang. Sementara ini aku bereskan dulu urusan di kantorku” jawabku. “Ya sudah, segera ya Mas. Aku mengkhawatirkan nenek. Kalau begitu sampai bertemu besok Sabtu. Salam dan doa baik, Mas” sahut adikku sambil menutup telepon.
Aku merasa canggung. Nenekku yang tinggal satu-satunya, kini terbaring sakit. Aku merasa bersalah karena sangat jarang bertandang ke rumah. Aku lebih asyik dengan urusan kantor. Berangkat pagi dan pulang ke kos ketika hampir larut malam. Sebagai pegawai kelas menengah di sebuah perusahaan swasta, aku memang berusaha untuk memberikan yang terbaik untuk kerjaku. Dengan harapan aku akan segera dipromosikan untuk kembali naik jabatan. Oleh karena aku terlalu asyik bekerja aku bahkan seolah-olah lupa kalau aku mempunyai seorang nenek yang sejak aku kecil merawatku dengan sangat baik dan aku tinggalkan di rumah. Aku lupa dengan pamitanku ketika aku akan berangkat ke kota dan tinggal di sebuah kamar kos. Padahal ketika berpamitan dulu, aku berjanji akan sering-sering pulang untuk mengunjungi nenek di rumah.
“Pohon belimbing ini ditanam oleh almarhum kakek buyutmu. Pohon ini bahkan lebih tua dari kamu. Lihat, buahnya banyak sekali dan pohon ini tidak kenal musim. Ia selalu berbuah setiap hari. Selain itu, perhatikanlah, pohon ini memberi bantuan kepada burung-burung yang lelah terbang untuk berteduh. Pohon ini menjadi satu-satunnya kenangan hidup yang diwariskan oleh kakek buyutmu kepada kita semua. Itulah kenapa nenek selalu merawat pohon ini sebaik mungkin. Kelak kalau nenek sudah tidak ada, kamu yang harus merawat pohon ini dengan baik. Jadikan pohon ini kenangan untuk nenek dan eyang buyutmu, walau kamu belum pernah bertemu dan mengenal almarhum eyang buyutmu.” Cerita nenek ketika aku kecil ini kembali berputar di kepalaku. Aku baru menyadari kalau sesungguhnya aku sangat merindukan rumahku. Dari ingatan tentang cerita nenek, aku mulai mengenang semua yang aku alami di rumahku. Susah senang yang aku alami. Masa ketika aku masih kanak-kanak dan senang bermain dengan kawan-kawanku yang kini bahkan sudah ada yang berkeluarga. Aku merindukan masa-masa itu.
Tanpa aku sadari aku meneteskan air mata. Aku beranjak ke pintu kamar, aku kunci pintunya. Aku tidak mau ada yang mengganggu nostalgiaku akan masa-masa indahku. “Nenek ini semakin tua, begitu juga dengan orang tuamu. Kamu menjadi generasi yang memanjangkan nama besar kakek buyutmu, Le. Harapan nenek, kamu menjadi orang baik dan bisa mengharumkan nama kakek buyutmu. Kamu hidup bukan untuk dirimu sendiri. Ketika kamu melakukan sesuatu, ingatlah nama baik keluargamu dan orang-orang yang menyayangimu. Nenek mungkin tidak akan berusia panjang lagi. Tapi setidaknya, melihat kamu dan adikmu tumbuh besar dan menjadi orang yang baik sudah membuat nenek bangga. Kapan pun nenek dipanggil Tuhan, nenek siap.” Kalimat nenek itu terucap pada malam terakhir aku di rumah, setahun yang lalu, sebelum aku berangkat ke kota Jakarta ini.
***
Sewaktu aku masih kecil, nenek sering duduk memangku aku sambil berdongeng. Terkadang nenek juga menembangkan tembang-tembang Jawa yang syahdu. Aku saat kecil sangat senang mendengarkan nenek bercerita atau menembangkan tembang-tembang Jawa. Biasanya aku akan duduk anteng di pangkuan beliau selama beliau bercerita sambil mengunyah buah belimbing yang setengah matang. Sejak dahulu aku memang menyukai buah belimbing yang setengah matang. Rasanya renyah, manis, agak sepat dan agak masam, segar sekali.
Rasa belimbing setengah matang yang bercampur aduk itu mengingatkanku pada hidup ini. Belimbing setengah matang yang mengandung berbagai rasa itu yang membuat aku menggemarinya. Begitu juga hidup ini menjadi layak untuk dihidupi karena menyimpan berbagai rasa dari setiap momen yang terjadi. Kalau tidak ada momen-momen pahit, atau masam, dan sepat, maka apa gunanya rasa manis? Manis hanya akan menjadi satu-satunya rasa, dan itu pasti menjemukan.
Saat ini aku mungkin sedang berhadapan dengan momen yang menyimpan rasa masam. Aku harus menerima kenyatan bahwa nenek yang mengasuh aku sejak kecil, membesarkan aku di pangkuan hangatnya, mengisi hari-hariku dengan ajaran tentang budaya dan kearifan-kearifan lokal, selalu menjadi yang pertama berlari ketika mendengar jerit tangisku, kini sedang terbaring tak berdaya di tilamnya. Aku ingin segera pulang bertemu dengan nenek. Kalau pun ini menjadi hari-hari terakhir buat beliau, aku harap aku akan sempat mengucapkan permohonan maaf dan terima kasihku untuk beliau. Tapi harapan tinggal harapan ketika bosku menyerahkan setumpuk berkas keuangan yang harus aku audit. “Berkas-berkas ini adalah laporan keuangan bulan ini. Sepertinya barang keluar cukup banyak dan bisnis kita semakin well. Coba ini kamu audit, besok lusa, selambat-lambatnya jam 10.00 WIB, kamu sudah serahkan kembali pada saya. Bisa?” tantang beliau. Sebagai auditor paling baru, aku tak mungkin melepas kepercayaan bosku. Aku cuma bisa menganggukkan kepalaku. Sejenak kemudian, aku hanya bisa garuk-garuk kepala karena menyadari bahwa karena tugas ini berarti kepulanganku akan tertunda dua hari, minimal.
Bagaimana aku kalang kabut menyelesaikan audit keuangan yang sangat rumit dan banyak tak perlu aku ceritakan. Intinya, pagi itu dengan mata yang mirip panda, aku memasuki ruangan bos. Senyumnya melebar, “Nah, ini yang aku tunggu. Pegawai dengan kerja cepat. Mana laporan hasil audit? Sudah beres toh?” Sergap bosku. Aku mengangguk sambil tersenyum. “Bos, saya mau minta izin. Hari ini saya mau pulang. Nenek saya sakit. Boleh Bos?” tanyaku setelah menyerahkan laporan kepada bosku. Bosku membenarkan letak kacamatanya lalu bertanya “Berapa hari? Cuma buat hari ini?” Aku terdiam sejenak. “Seminggu, Bos.” Jawabku. Sejak bekerja di kantor ini, inilah kali pertama aku meminta izin untuk mangkir dari perkerjaanku, mungkin inilah penyebab kenapa permintaan izinku segera dipenuhi oleh bosku. Aku sangat lega, kini yang tersisa adalah hati yang penuh harapan untuk aku bisa bertemu nenek dalam keadaan beliau masih hidup. Aku sadar bahwa mungkin waktu nenek tidak lama lagi. Aku bergegas pulang dan berkemas.
Malamnya, aku sudah duduk di peron kereta. Aku ambil kereta bisnis yang tidak terlalu mahal tetapi cepat sampai. Di sampingku duduk seorang bapak tua. Entah kenapa ia suka sekali memandangi aku berlama-lama. Aku mencoba berpikir positif, mungkin wajahku mirip anaknya yang entah di mana dan dia rindukan. Lagi pula, tenagaku jelas lebih besar dari tenaga bapak tua itu dan kereta ini cukup ramai, jadi orang tua ini tidak akan berani macam-macam. “Ngger, kamu harus memilih.” Kata orang tua itu setelah cukup lama membuat aku salah tingkah gara-gara ia pandangi terus. “Maksud kakek?” jawabku berusaha tetap sopan. “Tumbangkan kenangan yang tersimpan untuk menghidupkan sumber kenangan, Le.” Jawab beliau dengan (menurutku) berbelit-belit.
“Saya kok kurang paham, Kek? Maksudnya apa ya?” Aku masih mencoba sopan, bahkan sebenarnya aku sendiri heran, dengan kondisi seperti ini kok aku masih bisa besopan-sopan. Aku bisa saja menggampar bapak-bapak yang sejak tadi merusak kenyamananku dan kini malah membuatku bingung. Tapi entah kenapa aku selalu berusaha tetap sopan. “Pohon itu, Le-Cah bagus. Pohon belimbingmu.” Jawab kakek itu yang akhirnya berkata lugas. Aku hendak bertanya kembali tentang hubungan antara pohon belimbing dengan kenangan dan pemberi kenangan, tetapi aku merasa pudakku diguncang-guncang seseorang. Aku buka mata, aku kucek-kucek sebentar dan aku lihat gerbong sepi. Tempat duduk di sampingku kosong, dan memang kosong sejak tadi. Aku tertidur dan bermimpi rupanya. Beberapa orang yang ada sudah terlelap. Aku melihat samping, ternyata kondektur kereta sudah berdiri di sampingku. “Tiket!” mintanya singkat. Aku ulurkan tiketku. Sebentar kemudian tiket itu sudah berlubang dan kembali ke kantongku. Aku menerawang ke jendelea kereta. Hamparan sawah menjadi hitam karena gelap malam.
Aku terus memikirkan pesan kakek-kakek dalam mimpikku. Aku ingat-ingat pesan beliau. Mendadak aku menjadi penuh harapan. Aku mengira, pohon itu adalah kenangan yang tersimpan seperti yang di maksud kakek, aku harus menumbangkan pohon itu agar nenek “si pemberi kenangan” bisa sembuh dan meneruskan hidupnya. Kantukku mendadak hilang. Berganti dengan harapan yang menggebu-gebu. Sesampainya di rumah, akan aku tebang pohon itu.
***
Hari keduaku di dusun. Aku duduk di batang pohon belimbing yang sudah aku tebang. Hatiku berdebar-debar karena harapan yang sedemikian besar akan adanya damapak baik setelah aku tebang pohon belimbing kesayanganku ketika kecil itu. Aku seka peluhku. Aku pandangi batang tua pohon belimbing itu. Aku mendadak terlempar kembali ke masa ketika aku masih kanak-kanak. Ternyata masa kanak-kanakku bukan hanya terisi oleh aku dan nenek tetapi ada aku, nenek, dan pohon ini. Setiap pagi aku dan nenek menyapu daun pohon belimbing yang berserakan, setelah itu aku bersekolah. Sorenya, nenek memanjakan aku dengan dongeng-dongeng dan tembang-tembang di bawah naungan pohon itu. Aku juga ingat ketika aku membuat sebuah tempat yang nyaman di atas pohon belimbing itu. Aku juga ingat setiap kali aku duduk, tiduran, membaca buku di tempat nongkrongku di pohon itu. Bahkan aku kembali teringat ketika aku membaca buku dan tertidur sampai hampir terjatuh dari pohon itu, kejadian yang membuat aku kapok berada di tempat nyaman itu lagi. Tak tersa, kenangan kenangan itu membuat aku merasa bersalah telah menebangnya. Kejam sekali aku, tuduhku terhadap diriku sendiri.
Aku mencoba menenangkan diri. Ini untuk nenek. Ini demi kesembuhan nenek. Semalam nenek di bawa ke rumah sakit. Aku dan adikku yang menghantarkan bersama seorang tetanggaku yang memiliki mobil untuk membawa nenek. Pagi-pagi tadi aku memang sengaja meninggalkan nenek dan adikku untuk pulang dan menebang pohon belimbing di rumah. Sesuai dengan mimpiku di kereta. Kini aku berharap nenek bisa segera sembuh.
“Hallo, ada apa, Nduk?” kataku menjawab telepon dari adikku. Tidak ada jawaban darinya atas pertanyaanku. Aku hanya mendengar suara isakan. Mendadak perasaanku yang tadi penuh harap berubah menjadi kacau balau. Aku takut sekaligus panik. “Dik? Hallo, Dik? Dik?” panggilku dan tetap tidak ada jawaban. “Mas, nenek Mas. Nenek sudah pulang…” Jawab adikku setelah aku panggil berkali-kali. Aku lemas, menyadari bahwa nenek sudah tiada. Aku memandangi pohon yang baru saja aku tebang. Kenapa hasilnya tidak seperti yang dikatakan kakek di mimpiku? Apakah aku salah tafsir?
Sampi dengan nenek dikebumikan, aku tidak bisa mengerti kenapa yang terjadi tidak sesuai tafsiran atas mimpiku, tetapi aku telah mengikhlaskan nenek. Aku terima bahwa mimpiku saat itu ternyata hanya bunga tidur. Ini adalah hari ke tujuh setelah nenek meninggal. Aku memang memperpanjang izin kerjaku, dan bosku kembali mengizinkan sambil beliau menyampaikan rasa belasungkawanya ketika beliau melayat. Aku duduk di amben bambu di depan rumah. Semalam, aku kembali bermimpi bahwa nenek mendatangi aku bersama kakek yang waktu itu ada di mimpiku ketika di kereta. “Le, ini kakek buyutmu, dan ini kamu rawatlah ini. Jaga dia seperti dulu nenek merawat yang diberikan kakek buyutmu ini” pesan nenek di mimpiku itu. Karena itu hanya mimpi, jelas aku hanya menganggapnya bunga tidur. Ketika asyik mengenang nenek yang hadir di mimpiku semalam, tiba-tiba mataku melihat sesuatu yang ganjil. Di dekat bekas pohon belimbingku, terdapat sebuah pohon kecil yang kalau aku perhatikan daunnya, tak mungkin tidak itu adalah pohon belimbing. Kemarin pohon kecil itu tidak ada. Apa artinya ini? Adakah kaitannya dengan mimpiku? Akh, masih terlalu cepat untuk menyimpulkan.
Editor: Agustinus Rangga Respati