Dunia Anomali: Kumpulan Puisi Muhammad Gibrant Aryoseno

Kumpulan puisi ini: Dunia AnomaliBuku dan Radio, dan Aku Bangun Lagi Pagi Ini; Aku Lelah Lagi Hari Ini ditulis oleh Muhammad Gibrant Aryoseno. Seorang penulis yang biasa menulis novel, cerpen, dan puisi.


Dunia Anomali

Ketika Ibu bilang kanan
saya belok kiri
dan digampar kenyataan
sampai mati.

Ketika Ibu bilang kanan
saya belok kanan
tetapi Ibu sudah meninggalkan anaknya yang kehujanan
menangis meminta pertolongan.

Buku dan Radio

Kamu membosankan seperti buku.

Dan kamu cerewet seperti radio.

Ya tidak apa-apa kalau aku cerewet seperti radio
asal kamu masih mau mendengar siaran serakku 
yang mengentaskan dahaga hatimu,
berusaha menjadi saluran terbaik di telinga jiwamu.

Ya tidak apa-apa juga kalau aku membosankan seperti buku
asal kamu masih mau membaca halaman-halaman tubuhku,
mencari setitik makna di dalam sana meski
tak boleh ada titik yang mengakhiri kalimat kita.

Aku Bangun Lagi Pagi Ini; Aku Lelah Lagi Hari Ini

Aku bangun lagi pagi ini
di depan cakrawala, termenung mengharap asa
dari saluran mimpi yang telah tiada.
Ada pertunjukan penuh gegap gempita di dalam kamarku
yang menyatukan petarung paling kuat dari ufuk ranjang hingga almari.
Esok dan lusa berteriak mendukung aku, dan aku
hanya menjadi wasit pertarungan yang selalu lari jika ada pukulan
atau menerima uang suap yang sedap karena menghanyutkan.

Di jalan besar aku melihat parade dengan barisan hitam.
Mayoretnya cantik dan aku mengagumi langkahnya.
Aku yang tuli berjalan pada jalan yang runtuh ketika kakiku baru merapalkan niat,
berusaha menggapai mayoret yang semakin lama semakin buram di mata.
Dia berputar melempar tongkatnya ke atas, dari sana keluar perhiasan juga emas.
Para warga yang menonton bergegas mengambil semua harta karun itu.
Aku termenung, melihat mayoret yang berbalik padaku dengan anggun
sambil meletakkan jari telunjuk pada bibirnya, ia tersenyum licik dan berkata, 
“Semua pasti akan baik-baik saja!”

Seorang kondektur dengan topi tinggi menghampiri aku
dan memasukkan gerbong kereta tanpa permisi ke dalam tasku.
Aku dipesankan olehnya untuk terus berjalan di jalan kesedihan ini
dan belok saja nanti ke kiri untuk bertemu dengan peron 
di mana kereta tujuan terakhir berhenti bercanda.
Tidak ada petunjuk detail yang dia berikan soal bagaimana
caraku memberi makan semut di bawah tiang lampu, atau
caraku memuaskan nafsu udara yang menggerayangi dadaku, atau
caraku mengenyahkan dingin yang hinggap membeku di jiwaku.
Aku berjalan tanpa buku panduan di jalan kesedihan dan
membiarkan setiap kesalahan dan kegagalan menjadi teman seperjuangan.

Tubuhku yang ringkih dan uzur dinaungi sekelebat kata yang mengharapkan aku
menjadi pengembara juara, tapi aku tak bisa sebab rapal mantra
kakiku yang lindu ini hanya tertahan di dalam lidahku; tempiasnya ringan,
membuat basah pipiku. Tak pernah kutahu kapan ku ‘kan menang;
sebab menang adalah tenang, dan (mungkin) ia ‘kan datang
tatkala sang surya tenggelam—kereta tujuan terakhir berangkat.

Jingga langit turun dan aku disambut gerbang dari barisan orang-orang.
Mereka bertepuk tangan tapi tangannya tak saling bertemu.
Aku benar-benar membenci mereka yang semu.
Akhirnya aku putuskan untuk terus berjalan meski penuh dengan ragu.

Tidak ada masyarakat kota yang percaya ketika aku bilang
bahwa di dalam tasku ada pasukan gajah yang sedang memikirkan cara
untuk mematahkan tanah suci di atas badanku.
Mereka hanya menerka pertunjukan di rumahku dan berkata kepadaku
kalau sebenarnya gajah-gajah itu adalah pegas indah
yang akan mendorongku menuju tangga teratas klasemen
melewati halang rintang cincin-cincin api.

Padahal aku begitu malu dengan gajah-gajah di dalam tasku,
dan aku merasa sangat kesulitan merawat mereka. 
Takut aku meminta tolong
kepada dokter-dokter hewan yang sering menjajakan diri mereka.
Sebab gajah-gajah itu sering sekali lepas dan mengacaukan gelapnya rumahku—
sepinya telingaku—ketika mereka keluar-masuk kamarku
dan membiarkan sekujur tubuhku menyala—berwarna—panas oleh gelisah.

Aku menggaruk-garuk kepalaku karena gatal;
aku menyayat-nyayat tubuhku agar menang.
Dan ketika pagi datang lagi,
aku lelah lagi hari ini.


Penyelaras aksara: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Tufail Rosyad Abdi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts