Sepak Bola, Fanatisme, dan Realitas yang Lain

Fanatisme suporter

Kericuhan yang dilakukan suporter tentu tidak asing lagi bagi dunia sepak bola Indonesia. Namun, beberapa tahun belakangan yang menarik adalah bagaimana perpecahan tidak hanya terjadi pada suporter tim sepak bola dalam negeri. Penggemar sepak bola klub luar negeri juga mengalami hal serupa. Yang menarik, bukan perpecahan suporter rival di daerah yang bersangkutan, tetapi perpecahan malah terjadi ribuan kilometer dari homebase tim sepak bola kebanggaan. 

Sebagai contoh, kericuhan terjadi tahun 2015 di Gelanggang Olahraga (GOR) Otista, Jatinegara, Jakarta Timur saat acara nonton bareng antara Juventus dengan Real Madrid. Kedua kubu suporter terlibat kericuhan setelah pertandingan selesai. Beberapa orang terluka. Bukan hanya sekali, tahun 2017 kejadian juga berulang ketika pendukung Liverpool terlibat kelahi massal dengan pendukung Manchester United di daerah Tangerang. 

Bagaimana bisa kedua kelompok tersebut memiliki keterkaitan secara emosional yang begitu kuat sehingga rela melakukan kericuhan? Jean Baudrillard, seorang postmodernis juga sosiolog sudah menjelaskan fenomena yang berkaitan dengan pertikaian suporter di atas. Baudillard menyebutnya dengan simulakra dan hiperrealitas, sebuah kondisi di mana batas antara realitas dan tiruan menjadi kabur.

BACA JUGA: Membicarakan Soal Ganja dan Pemanfaatannya

Contoh kericuhan tersebut juga bermula ketika ‘penggemar layar kaca’ membentuk suatu komunitas berdasarkan regional daerah. Komunitas tersebut memiliki kegiatan nonton bareng (nobar) di sebuah cafe dan membuat atmosfer yang sama seperti di tribun stadion dengan menyalakan suar, menyanyikan lagu dukungan, dan membawa spanduk-spanduk bertuliskan kalimat dukungan kepada tim idola. 

Zen RS dalam bukunya yang berjudul Simulakra Sepak Bola menuliskan hal tersebut sebagai kemampuan teknologi audio visual dalam melakukan representasi. Hal ini mampu membuat atmosfer dalam stadion dapat juga dirasakan di rumah. Bahkan bentuk ekstremnya, kemampuan teknologi audio visual dalam menciptakan impresi dan kedekatan emosional dengan pemain sepak bola pun melebihi impresi ataupun kedekatan emosional yang dialami penonton di tribun stadion.

Hubungan sepak bola dengan teknologi audio visual yang dalam hal ini berarti televisi, tak lagi dapat dipisahkan. Fungsi sponsor dalam bisnis sepak bola dan televisi juga menjadi faktor penting mengapa sepak bola tidak pernah lepas dari televisi maupun media massa lain. Sponsor tidak hanya datang begitu saja. Ia datang karena fanatisme ‘penonton layar kaca’ dalam mendukung tim idola lewat televisi. Bahkan sudah bukan barang asing jika nama kompetisi sepak bola nasional memiliki sponsor utama seperti Domino’s Ligue 2, Indonesian Super League, Liga Campina, dan lain-lain.

Kemampuan teknologi audio visual dan kaitannya dengan simulakra dalam sepak bola tidak hanya berarti ada kesempatan bisnis antara keduanya, tetapi juga tentang bagaiamana fanatisme terbentuk. Ruang terjadinya hiperrealitas itu disebut simulakra. Ruang simulasi yang menghadirkan representasi yang serupa dengan realitas.

BACA JUGA: Novel Silence: Sebuah Memoar Ke-mendua-an (Ambiguitas) Agama

Kembali pada contoh di awal tentang pendukung klub sepak bola Eropa di Indonesia. Tindakan yang dilakukan para pendukung dalam membela klub sepakbola idola mereka pada dasarnya terjadi karena suporter dalam situasi hiperrealitas. Hal itu menyebabkan batas antara situasi real dan buatan menjadi kabur. 

Perkembangan media digital yang kian masif lewat berbagai peranti telekomunikasi mutakhir seakan melipat jarak antara klub dan pendukungnya. Melalui media digital, berita tentang klub idola, kehidupan pemain, dan kabar bursa transfer dapat diakses 24 jam tanpa henti. Berbagai portal berita juga menyediakan informasi tentang perkembangan sepak bola Eropa, dari yang sifatnya analitik seperti  Pandit Football sampai berita cepat dan singkat ala Goal.com pun sudah siap melayani permintaan informasi dari penggemar. 

Penggemar tidak hanya dibanjiri informasi lewat media massa cetak maupum digital, tetapi juga lewat media sosial. Kehidupan pemain dan perkembangan klub sudah masuk ke dalam kehidupan penggemar. Penggemar dapat mengikuti kehidupan pemain seakan melakukan interaksi dengan para pemain lewat update informasi yang dilakukan pemain ataupun klub lewat kanal mereka. Penonton juga seringkali merasa melakukan interaksi dengan para pemain ataupun klub ketika pertandingan berlangsung, bahkan difasilitasi oleh akun media sosial klub agar para penggemar dapat mengucapkan kata semangat, komentar, atau melakukan debat.

Bahkan di beberapa saluran televisi yang menyiarkan pertandingan sepak bola juga menyediakan kolom komentar yang ditampilkan di sisi bawah tampilan televisi saat pertandingan sedang berlangsung. Penggemar cukup mengirimkan pesan singkat lewat operator lalu ditampilkan oleh saluran televisi. Yang menarik, tidak seperti di media sosial, di televisi komentar-komentar dukungan ataupun saran strategi yang dilontarkan oleh penggemar benar-benar ditayangkan saat pertandingan berlangsung. Penggemar benar-benar dibuat percaya bahwa mereka sedang melakukan interaksi dengan pemain ataupun jajaran klub saat pertandingan berlangsung.

Hiperrealitas dan simulakra dalam sepakbola tidak terbatas 90 menit pertandingan saja. Di luar itu media massa digital maupun media sosial menghadirkan realitas-realitas baru yang diharapkan mendapat perhatian penggemar lewat hadirnya momen dramatik, ketegangan, kesedihan, dan kebahagiaan dalam atau luar lapangan. Dalam televisi biasanya momen-momen tersebut dikemas dalam sebuah acara highlight ataupun kilas balik sepak bola seminggu ke belakang, sebagai contoh di Trans7  ada acara One Stop Football dan Galeri Sepak Bola Indonesia yang merangkum kegiatan klub dan pemain secara mingguan.

BACA JUGA: Pedoman Sederhana Menikmati Surabaya ala Silampukau

Tidak hanya momen yang berkaitan dengan sepak bola, acara televisi seperti contoh di atas juga menghadirkan trivia tentang pemain maupun kehidupan pribadi pemain yang jelas tidak ada hubungan dengan performa pemain di lapangan. Hal-hal seperti ini membentuk kedekatan emosional palsu yang dialami penggemar dengan para pemain. 

Realitas palsu yang dihadirkan media ini memperkuat kondisi simulakra maupun hiperrealitas di antara para penggemar. Kaburnya jarak antara realitas dan hiperrealitas disebut simulakra. Simulakra kembali diperkuat dengan pembangunan ruang simulasi pertandingan di stadion dan disimulasi ulang serupa atmosfer di cafe lewat perantara televisi. 


DAFTAR PUSTAKA

Franklin Foer, Memahami Dunia Lewat Sepak Bola, Kajian Tak Lazim Tentang Sosial-Politik Globalisasi. Tangerang:Marjin Kiri, 2014.

H. Richard, “A Pageant Of Sound and Vision: Football’s Relationship with Television, 1936-1960,” Int. J.. Hist. Sport, vol. 15, no. 1.

Ikhwan Mahfud, Dari Kekalahan Ke Kematian: Keluhan, Makian, Ratapan, Alih-alih Catatan, Seorang Pencinta Sepakbola Indonesia Yang Putus Asa, Yogyakarta: EA Books, 2018.

R.S Zen, Simulakra Sepak Bola, Yogyakarta: Indie Book Corner, 2016.

Sutton Anthony, Sepakbola The Indonesian Way Of Life, Jakarta:Kawos Publishing, 2017

 

Editor: Agustinus Rangga Respati
Foto: Andika Wahyu

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article
Senyawa

Pengalaman Menonton Senyawa: Kadang Tenang, Lebih Sering Mencekam

Next Article
Uang dari podcast

Tambo Podcast, Cuan yang Bisa Kita Rengkuh

Related Posts