“Waktu memang jahanam, kota kelewat kejam, dan pekerjaan menyita harapan, hari-hari berulang, diriku kian hilang, himpitan utang, tagihan awal bulan.”
Terkutuklah bagi siapa saja yang memutar lagu itu di riuhnya jalan, di tengah pegangan bus kota yang padat, dan kekacauan tenggat waktu di akhir hari. Merutuki nasib sendiri sambil melihat tatapan kosong orang-orang di sekitar adalah bahan bakar kesedihan yang terbarukan, sustainable.
Seribu kali, dan masih dalam hitungan maju, pertanyaan selalu terlontar dengan struktur kalimat yang sama. “Mengapa aku di sini, menjalani kehidupan yang ini?”
Seribu kali, dan semoga hitungannya terus berkurang, jawaban atas pertanyaan itu tidak pernah ketemu.
Toh merantau barangkali jadi impian banyak orang. Beberapa di antara orang-orang ini mungkin telah menghabiskan seluruh kemampuannya untuk dapat sampai di sini, menjalani kehidupan yang ini.
Mungkin jarang sekali disadari, apapun yang terengkuh hari ini merupakan kumpulan dari keputusan-keputusan di masa lalu. Apapun itu, termasuk di dalamnya segala kesuksesan dan kegagalan adalah energi yang berkubang jadi kehidupan yang sekarang dijalani.
Bayangkan saja misalnya, selama kehidupan ini, semua usaha yang dijalani selalu berbuah keberhasilan. Mungkin, bukan kehidupan ini yang akan aku jalani. Atau, hari ini kamu tidak akan bertemu dengan orang itu, di tempat itu.
Lagipula selalu sukses setiap hari adalah satu-satunya kenahasan nasib. Untuk beberapa orang, nasib seperti itu hanya akan memunculkan kewaspadaan yang tinggi. Barangkali, bencana besar akan datang. Atau, keberhasilan terus-menerus itu justru adalah kemalangan seumur hidup.
Segendang sepenarian, nasib sial yang datang tiada hentinya jelas bukan jalan hidup yang ingin dialami siapapun. Berapa kali juga mengalami kegagalan dan kesialan, kesedihannya tetap akan membuat seseorang merembih.
Bukankah mengkombinasikan semua kegagalan dan kesuksesan dalam pola yang tidak teratur itu justru membuat perziarahan di bumi ini jadi lebih hidup?
“Oh, demi Tuhan, atau demi setan, sumpah aku ingin, rumah untuk pulang.”
Bisa jadi, itu yang ada di dalam kepala semua perantau. Lagipula, bagaimana cara menjelaskan kebiasaan-kebiasaan dalam hidup ini. Seseorang dibesarkan dalam keluarga untuk nantinya diminta pergi sejauh-jauhnya dari tempat ia dibesarkan. Harapannya, mereka dapat merengkuh kesuksesan di tempat yang mungkin belum pernah mereka lihat seumur hidupnya.
Mereka akan membangun keluarga di tempat nun jauh di sana dan melahirkan anak yang dalam beberapa tahun ke depan dipersiapkan untuk pergi ke tempat yang lebih jauh lagi.
“Tujuh tahun yang lalu (hanya bermodal baju dan seratus ribu), impian membawaku (nasib kini…), ke Surabaya, berharap jadi kaya.”
Bukankah Ahasveros itu dikutuk?
Seorang Chairil Anwar pun mengambil dan menjejalkan nama Ahasveros dalam salah satu puisi ia yang berjudul “Tak Sepadan”.
Aku kira // Beginilah nanti jadinya // Kau kawin, beranak dan berbahagia // Sedang aku mengembara serupa Ahasveros //
Jadi, apakah memang banyak orang mengutuk dirinya sendiri untuk pergi meninggalkan tempat ia berasal?
“Tujuh tahun berlalu (kota menghisapku habis) Impianku tersapu (duitku makin tipis), di Surabaya, gagal jadi kaya (dompetku kembang-kempis)”
Kaum gipsi tentu lebih berpengalaman perihal merantau dan hidup nomaden. Gipsi galip yang dapat ditemui, hidup berpindah-pindah dalam karavan.
Keturunan bangsa ini tersebar di seluruh dunia, mulai dari Eropa, Amerika, hingga Timur Tengah. Meskipun demikian, kaum Gipsi tak jarang dapat diskriminasi dari penduduk daerah yang mereka sambangi.
Dilansir dari Kompas.com, suku bangsa Gipsi berasal dari India Utara yang bermigrasi pada abad ke-11 menuju Persia (Iran). Dari sana, beberapa dari mereka masih terus melanjutkan perjalanan.
Pada awal abad ke-14, bangsa Romani sampai di Eropa Tenggara. Sementara pada awal abad ke-15, mereka sampai di Eropa Barat. Pada paruh kedua abad ke-20, mereka telah tersebar di seluruh benua yang berpenghuni.
Suku bangsa Romani tiba di Britania Raya pada, sekitar 1515. Di sana, beberapa dari mereka menikah dengan bangsa nomaden lain, sebut saja Skotlandia dan Irlandia.
Yang menarik, orang Romani berpindah dalam sebuah rombongan karavan. Hal ini bertujuan agar mereka tidak kehilangan budaya dan status etnis mereka.
Pun, kebiasaan mereka berpindah-pindah juga mengatasi percampuran budaya yang mengikis budaya asli, karena minim kontak dengan bangsa-bangsa lain.
Persebaran bangsa Gipsi meluas di seluruh penjuru dunia.
Mungkin telah diketahui, banyak keturunan mereka yang menjadi orang sukses dan terkenal, seperti musisi Elvis Presley, seniman Spanyol Pablo Picasso, dan komedian Charlie Chaplin.
Untuk nama yang terakhir, kemungkinan besar penonton serial krosboi Peaky Blinders paham kenapa Thomas Shelby dapat dengan mudah mengajak Grace Burgess menemui Charlie Chaplin.
“Rindu menciptakan, kampung halaman, tanpa alasan, hm-hm-hm…”
Toh merantau atau tidak, pergumulan akan nasib dan kehidupan akan terjadi di mana saja. Air mata tetap akan membuat bantal basah di mana-mana.
Yang jelas, setiap perantauan pasti dibarengi dengan rasian-rasian yang ingin dicapai. Di sela-sela itu jangan sampai lupa setiap perjuangan di mana pun patut dirayakan.
Seperti kata Paulo Coelho, ketika seseorang benar-benar menginginkan sesuatu, alam semesta berkonspirasi untuk membantu orang tersebut mewujudkan mimpinya.
“Burung pulang ke sarang, ketam diam di liang, dan di lautan, ikan-ikan berenang.”
Bus kota mengerem mendadak, pegangan tangan terhuyun bersama orang-orang yang berusaha menyeimbangkan tubuhnya. Ada mobil di depan yang tiba-tiba menyerobot lajur jalan. Semua tersontak sebentar dan kembali pada lamunannya masing-masing.
Adegan macam ini bukan satu-dua kali dirasakan dalam sekali perjalanan pulang. Besok, adegan ini akan berulang kembali; dan lagi di tengah pegangan bus kota yang padat dan kekacauan tenggat waktu di akhir hari.
“Uang bawa tualang, sesak di jalan, menjauhi pulang. Uang bawa tualang, sesak di jalan, menjauhi pulang.”
Note:
Seluruh kalimat dalam tanda kutip dua merupakan penggalan lirik Lagu Rantau – Silampukau
Editor: Tim Editor Sudutkantin