Psikologi (Bukan) Tukang Ramal

Psikologi dan astrologi memang terlihat berbagi masalah yang dibahas. Keduanya sama-sama membahas bagaimana manusia-manusia berperilaku dan berpikir. Tapi dasar penjelasannya jelas sangat berbeda.


Masa katastrofe pandemi virus korona yang tidak jelas ujungnya ini membuat saya memiliki waktu lebih lama untuk scrolling segala macam media sosial. Kegiatan yang awalnya diniatkan untuk cari-cari hiburan ini, malah berujung pada temuan katastrofe yang baru. Ternyata banyak teman kuliah saya dulu yang sekarang turut mereproduksi atau bahkan memproduksi konten tentang astrologi.

Sebagaimana kita biasa lihat di Instagram, apalagi Twitter, konten astrologi banyak bertebaran di sana. Biasanya membicarakan soal zodiak tertentu dengan sikap dan perilaku bawaannya atau ramalan horoskop mingguan. Konten seperti ini sering muncul di drama percintaan juga. “Maaf aku nggak bisa lanjut sama kamu karena aku Taurus”, padahal maksudnya ra urus. Satu dua tweet begituan pasti pernah mampir di timeline kan?

Sebenarnya ini tidak masalah juga kalau saya kuliah di jurusan ekonomi atau sastra gitu, misalnya. Masalahnya saya dan teman-teman yang saya sebut tadi kuliah psikologi!

Tentu ini masalah yang pelik. Psikologi dan astrologi memang terlihat berbagi masalah yang dibahas. Keduanya sama-sama membahas bagaimana manusia-manusia berperilaku dan berpikir. Tapi dasar penjelasannya jelas sangat berbeda.

Astrologi, menurut riset yang saya lakukan ala kadarnya, memiliki tesis dasar bahwa kejadian di dunia ini dipengaruhi oleh hubungan perbintangan. Bintang-bintang yang membentuk pola diyakini memberi pengaruh pada peristiwa alam macam gempa bumi dan gunung meletus, hingga kepribadian dan nasib manusia.

Astrologi ini tidaklah sama dengan astronomi meskipun sama-sama bahas perbintangan. Astronomi mengamati planet, satelit, komet, hingga galaksi nun jauh di mata tapi kemudian dianalisis dengan berbagai pendekatan matematika, fisika, dan kimia.

Coba deh, cek Wikipedia. Kalimat pertama di halaman mengenai astronomi adalah bahwa “artikel ini bukan mengenai astrologi”. Malah di versi Bahasa Inggris dari astronomi, astrologi disebut sebagai pseudoscience.

Perbintangan astrologi, paling tidak dalam astrologi yang paling populer, membagi manusia ke dalam 12 zodiak. Dasarnya adalah rasi bintang yang sedang terjadi ketika manusia lahir. Singkatnya, astrologi menjelaskan “kamu adalah kapan kamu lahir”. Sederhana bukan?

Reduksi habis-habisan inilah yang jadi masalah kalau astrologi bersanding sama psikologi. Walau sebenarnya psikologi sering juga terjebak jadi reduksionisme.

Tapi begini. Coba, wahai teman-teman yang kuliah psikologi tapi percaya-percaya aja sama astrologi, ingat kembali Wilhlem Wundt. Ingat lagi bagaimana seorang bapak-bapak “melahirkan” psikologi di laboratoriumnya di Leipzig pada abad ke-19. Wundt waktu itu menjadikan psikologi berdiri sebagai satu cabang ilmu pengetahuan independen berdasar eksperimennya yang terukur dan empiris.

Terukur dan empiris ini lho. Apa astrologi punya data terukur buat menjelaskan, misalnya, berapa persen orang dengan Sagitarius yang suka mendengarkan Eny Sagita? Atau data apakah mayoritas warga di negara liberal memiliki zodiak Libra?

Pun jika yang diklaim astrologi itu terjadi alias empiris – ya paling nggak buat orang-orang yang percaya, apa iya itu terjadi hanya karena kepemilikan zodiaknya, bukan karena sebab musabab yang lain? Bagaimana jika ternyata klaim itu jadi jebakan rasa aman efek Barnum? Atau jangan-jangan ini jadi cara merasa punya kontrol buat hidup yang sebenarnya tidak pernah bisa digenggam manusia?

Setelah Wundt secara resmi menjadikan psikologi disiplin ilmu yang mandiri, teori psikologi kemudian berkembang dan bercabang ke segala arah. Contohnya, yang terkenal, macam psikoanalisanya Sigmund Freud yang menjelaskan manusia berdasar ketidaksadaran dari pengalaman masa lalu. Juga, sebagai kontras, eksistensialismenya Viktor Frankl dengan pendekatan pada pencarian makna hidup alias orientasi masa depan. Dan berbagai mazhab dan paradigma psikologi lainnya yang sekarang sudah banyak banget.

Inilah yang bikin persandingan psikologi dan astrologi jadi katastrofe. Saking rumitnya manusia, psikologi sampai punya berbagai macam dasar penjelasan buat pikiran dan perilaku manusia.

Contoh kasusnya begini. Ada seorang presiden yang bersyukur karena merasa berhasil menangani pandemi walau faktanya kasus korona tembus satu juta dan negara pimpinannya memiliki kasus aktif terbesar di benua. Apakah pernyataan problematis itu hanya karena presiden tersebut lahir di hari terakhir zodiak Gemini? Bagimana jika kita menganalisa ketidaksadarannya dengan pendekatan psikoanalisis Freud; kebutuhannya dengan hierarkinya Maslow; makna hidupnya dengan pendekatan eksistensialisme Frankl; atau sekalian kita tanyakan sistem, struktur kekuasaan, latar belakang sosio-politik, dan sejarahnya dengan psikoanalis-marxis ala psikologi kritis?

Walau sebenarnya, kalau iya astrologi itu bukan pseudoscience dan bisa jalan bersama psikologi, betapa mudahnya hidup manusia. Kita cuma akan ditanya tanggal lahir setiap wawancara kerja sama HRD. Kerja psikolog juga bakal ringan karena cuma butuh data tanggal lahir kliennya. Hingga ujungnya fakultas psikologi di berbagai perguruan tinggi dibubarkan.

Nggak ding. Hehehe. Baiknya sih, teman-teman yang masih atau sudah lulus kuliah psikologi, tidak lupa pada kredo masa awal kuliah,

“Psikologi bukan tukang ramal”.

 

Editor & Ilustrator: Arlingga Hari Nugroho

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts