Tokyo yang Sepi tak Berarti Diam

Cerita Kadek Nova Ariasa dari kota Tokyo, Jepang, tentang ketenangan kota dan bagaimana masyarakat tetap bertahan di tengah wabah pandemi Covid-19.


Ini adalah cerita tentang Negeri Sakura di tengah pandemi Covid-19. Jepang mengalami perubahan mencengangkan secara tiba-tiba. Pasalnya, belakangan ini kasus Covid-19 mulai merangkak menaiki tangga yang ketiga setelah tangga pertama dan kedua berakhir. 

Asal tahu saja, Tokyo sebagai ibu kota Jepang adalah kota tersibuk nomor lima sedunia setelah New York, Seoul, Mekkah, dan London. Itu sebabnya, Tokyo jarang terlelap. Daya pikatnya membuat banyak orang dari kota lain di Jepang merantau ke Tokyo. Mereka mencari lapangan pekerjaan, mengais rejeki, dan tidak sedikit juga yang tenggelam dalam luapan euforianya.

Namun, itu adalah cerita beberapa waktu lalu. Semenjak diumumkannya keadaan darurat Covid-19 pada 7 Januari lalu, Tokyo perlahan mulai sepi dan lindap. Jalanan mulai lengang, bar dan restoran tutup lebih awal. Masyarakat pun mulai resah, termasuk saya.

Ingar-bingar Tokyo tidak terasa lagi. Saya merindukan bagaimana Jepang, terutama Tokyo yang gemerlapan. Suasana hiruk-pikuknya jalanan di malam yang panjang dan ramainya lalu lintas tidak terdengar lagi. Belum lagi riuhnya suara pejalan kaki di mana-mana, bak lautan manusia yang tak pernah surut.

Selama ini, Jepang dikenal kental akan adat dan budayanya. Namun demikian, Covid-19 membuat banyak perayaan tertunda. Banyak festival tahunan yang biasanya meriah seakan redup. Padahal festival ini yang biasanya menjadi magnet bagi wisatawan mancanegara untuk datang ke Jepang. Lampu-lampu yang meriah batal dinyalakan. 

Bahkan, Olimpiade Tokyo dan Paralimpik Tokyo yang harusnya diselenggarakan tahun 2020 juga gagal dihelat. Belakangan ditegaskan, Olimpiade ini akan dilaksanakan tahun ini pada musim panas bulan Juli sampai September 2021. 

Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga menegaskan, Olimpiade Tokyo dan Paralimpik Tokyo akan dilaksanakan tahun ini sebagai penyemangat dunia melawan pandemi. Meskipun demikian, ada kemungkinan bahwa gelaran kali ini tidak akan dihadiri penonton untuk mencegah penyebaran virus.

Di sisi lain, keadaan ekonomi juga mulai merunduk. Sebagai salah satu dari kota pusat keuangan dunia, sektor ini juga kena imbasnya. Sektor lain tentu saja tak luput dari terpaan pandemi ini.  Hal ini menyebabkan kesibukan tak lagi kalang kabut seperti sebelumnya.

Meski begitu, semangat warga Tokyo di tengah pandemi tak pernah surut. Perdana Menteri berjanji akan mengendalikan penyebaran Covid-19 agar tidak menjadi lebih parah. Proses vaksinasi di Jepang sendiri dijadwalkan akan dilaksanakan akhir Februari ini.

Kini kota Tokyo bagaikan kehilangan mentari yang tak bersinar lagi. Jepang yang juga kerap kali dijuluki Negeri Matahari Terbit jadi sedikit sepi dan redup. Walau begitu, sepi bukan berarti diam. 

Dalam hening, aktivitas tetap berjalan. Mereka tetap bekerja, sekolah, dan menjalankan bisnis. Yang jadi pembeda, sekarang semuanya menerapkan protokol kesehatan disertai dengan toleransi yang tinggi. Nyatanya, kondisi macam ini tak menyurutkan ambisi masyarakat. 

Sekali lagi, sepi bukan berarti diam. Semoga semua orang bisa sesegera mungkin menghela nafas panjang, menikmati musim semi disertai bunga sakura yang bermekaran bulan depan.


Ditulis oleh Kadek Nova Ariasa, seorang seniman asal Penarungan, Bali. Aktif terlibat dalam ekosistem seni tradisional dan kontemporer sejak umur 5 tahun. Pernah menjadi guru seni budaya. Saat ini sedang berada di Higashiyukigaya, Ōta, Tokyo, Jepang.

Editor: Agustinus Rangga Respati

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Psikologi (Bukan) Tukang Ramal

Next Article

Hari-hari Tanpa Hari; Kumpulan Puisi Putra Arya