“Kesenian adalah jiwa ketok.” Demikianlah pandangan seni menurut Sudjojono. Seni adalah ekspreksi paling murni jiwa sang seniman, dan karenanya: memuat kebebasan dan hak asasi yang sangat subtil, kuat, sekaligus representatif dari sang seniman itu sendiri.
Ada daya ledak-dekonstruktif, daya kreatif-konstruktif, daya kritis-progresif, hingga (bahkan) daya imajinatif-pesimistis yang muncul (baca: dimunculkan) oleh seniman lewat kerja kekaryaannya—sebagai ekspresi paling murni dari jiwa sang seniman. Maka, sebagaimana ditulis Anastasia Jessica dalam Konsep-konsep Seni S. Sudjojono, “kesenian bagi Sudjojono ialah jiwa seniman yang terlihat. Karya seni merupakan gambaran jiwa seniman sekalipun materi yang direproduksi ialah tiruan dari kenyataan.”
Dengan demikian, sudah sepatutnya dalam praktik kerja keseniannya, seniman harus mendapatkan ruang kebebasan dan hak asasinya—bahkan jika kuda-kuda berkeseniannya sengaja diposisikan sebagai: media kritik. Negara, melalui pemerintahnya, mestinya “bangga” bahwa masih ada kesadaran sosial dan politik yang lahir dari kerja kesenian, utamanya, yang mengakomodir “suara hati rakyat”. Sehingga dengan itu, pemerintah dapat terbantu guna mengevaluasi pilihan kebijakan dan arah orientasi politiknya yang notabene wajib memihak rakyat, bukan kepentingan lainnya.
Sayangnya, tidak demikianlah yang dikehendaki pemerintah hari ini melalui rezim-rezimnya. Warisan politik Orba—betapapun kobaran semangat reformasi ‘98 berhasil menghentikannya—masih menjadi pemandangan jamak yang kadang kala semakin menjemukan, bikin muak. Aroma dan orkestrasi setting kerja pemerintahan Orba masih terus dilanggengkan—yang tampak menggejala dalam wajah pemerintahan kita saat ini.
Pemerintahan menjadi anti-kritik. Kaum oposisi (akan) dipaksa hilang. Terjadilah praktik-praktik “represi” terhadap kelompok-kelompok yang kritis terhadap kerja pemerintahan negeri—tak terkecuali yang dialami oleh seniman, seperti yang terjadi beberapa waktu belakangan ini. Maka dari itu, warisan Orba justru menjadi sangat krusial untuk dipahami kembali dalam arah masa depan estetika (kerja kesenian) hari ini. Mari kita simak uraian Martin Suryajaya dalam tulisannya Estetika Orde Baru—yang saya pikir sangat penting direnungi ihwal kerja seni hari ini dan kaitannya dengan ekses-ekses politik Orba dalam pemerintahan baru Indonesia—demikian:
“Orde Baru berakhir dengan pengunduran-diri Suharto, bukan penggulingan Suharto. Fakta ini sangat krusial bagi perkembangan politik sampai hari ini. […] Pengorganisasian-diri rakyat belum sampai pada tahap konfrontasi terbuka terhadap seluruh warisan Orde Baru. [..] Akibatnya, sebagian dari logika kultural Orde Baru masih bisa terselamatkan. Kultur oligarki masih bertahan hingga kini. Cara pandang moralis yang menempatkan gerakan mahasiswa sebagai agen pembaharu, terpisah dari rakyat biasa, masih terus berpengaruh. Struktur ekonomi-politik yang menopang Orde Baru sejak mula belum terjamah sama sekali. Dalam suasana ketaktuntasan konfrontasi atas kebudayaan Orde Baru inilah seni rupa kontemporer Indonesia melangkah hingga hari ini.”
Dengan kata lain, saya ingin sampaikan, jika warisan Orba yang demikian itu menggejala kembali dalam praktik pemerintahan baru kita, sudah cukup bisa dipastikan bahwa gelagat kritis dalam kerja kesenian akan sangat tidak disukai oleh rezim. Bau kritis kerja seni yang coba dikreasi seniman akan segera diendus untuk cepat-cepat direpresi, dibredel—dan, senimannya diintimidasi. Sebab yang disukai oleh rezim adalah seni yang mengekspresikan jiwa ketok dalam pengertian seni abstrak atau seni Romantik. Sebuah “sikap estetik” yang berangkat dari sublimasi perenungan-individual: melepaskan diri dari nasib hidup rakyat—bukan “sikap estetik” sebagaimana dimaksudkan Sudjojono yang tak bisa terpisahkan dari “sikap politik”.
Rezim akan lebih menyukai “estetika seni” yang nihil nada kritik. Bahkan akan gemar dan siap menjadi kolektor tetap karya seni rupa yang penuh nuansa merenung dengan proyeksi “estetika moralis”; sibuk berceramah; mengafirmasi keabadian hidup; terpisah dari nasib hidup rakyat. Dalam terang gejala (politik) semacam itulah kerja kesenian hari ini akan “bergelut”.
***
Mari kita simak ihwal seni musik, di mana Sukatani menjadi contoh mutakhir yang mengingatkan dan menunjukkan kembali bagaimana rezim sangat panas telinganya ketika diperdengarkan dengan seni yang memuat nada kritik—ada banyak contoh-contoh serupa di masa lalu ihwal yang menimpa Sukatani, sebut saja Iwan Fals, Grup Kiai Kanjeng, dst. Rezim sangat berkepentingan untuk membungkam nada-nada kritik, sebab khawatir rakyat akan terbangun kesadarannya, lalu marah.
Tak ayal bilamana ada kecenderungan yang membikin sedih ketika “seni musik” menjadi sangat eksklusif dan dangkal—bermusik dengan muram, galau, melankolis, lupa nasib rakyat yang perlu disuarakan di hadapan rezim kuasa. Kemunculan Sukatani sesungguhnya adalah kegembiraan “suara rakyat” di tengah-tengah kesedihan panjang musik galau-picisan khas anak-anak muda, tapi ternyata geliat kritisnya langsung “disikat” oleh perwakilan rezim yang anti-kritik. Semakin sedihlah kita, baik sebagai penggiat seni maupun rakyat biasa.
Seperti pernah ditulis Cak Nun dalam esainya Musik dan Jagat Politik Republik 2009. Sedih sekali rasanya tatkala menyaksikan dari zaman ke zaman di mana kaum pemusik justru gemar sekali “menjual murah” dunia musik. Banyak anak-anak remaja dipersempit jagat musiknya. Mereka diajari “kosmologi musik” hanya pada bagian pragmatisnya.
“Notasi, nada, irama, aransemen, aliran, album, pasar, dengan rumbai-rumbai entertainment sampai kadar yang menjijikan, mengisi rubrik-rubrik tayang yang memanjakan mereka seolah-olah lebih penting dibanding para Nabi dan pemimpin-pemimpin revolusioner dunia,” tulis Cak Nun.
Pekerjaan musik lantas menjadi pekerjaan yang eksklusif dan sempit. Namun, lucunya, justru meminta derajat dan social positioning amat tinggi dalam domain kebudayaan melalui ongkos sensasi, mempromosikan joget-joget, dan lonjak-lonjak eksentrik. Sebagai akibatnya, seperti ditulis Cak Nun, banyak “para pemusik tidak terlalu memperhatikan dan mensyukuri bahwa musik hadir dalam peta sejarah yang lebih luas, sehingga sesungguhnya mereka bisa hadir lebih dari sekadar menjadi ‘abdi dalem oceh-ocehan’ atau ‘klangenan’ yang hanya menumpang fasilitas zaman—tanpa pernah mengambil posisi untuk menciptakan paradigma zaman”.
Sampailah kemudian kita pada tantangan berkesenian di hadapan rezim yang agaknya perlahan-lahan meniru gaya Orba. Lantas, akankah terulang Estetika Orde Baru jilid II di dalam tata konstelasi politik baru khas kabinet merah-putih? Marilah kita simak, cermati, dan kawal bersama-sama.
Tentu saja, kita tidak boleh lupa pandangan Sudjojono bahwa “kesenian adalah jiwa ketok”. Jiwa (seni) yang mencerminkan dan memperlihatkan kebenaran hidup rakyat. Seperti yang pernah diwacanakan oleh GSRB (Gerakan Seni Rupa Baru), betapapun simpang siur, setidaknya kita bisa mengambil petuah. Mengutip tulisan Martin, “karena setiap orang adalah seniman, maka setiap kenyataan sosial adalah karya seni”. Itulah jiwa ketok rakyat Indonesia—yang mesti menjadi titik berangkat kekaryaan seni berkreasi; bebas mengekspresikan fakta kehidupan masyarakat Indonesia.
Jiwa ketok seni tidak boleh dibatasi, alih-alih direpresi, apalagi diintimidasi. Jika itu dilakukan, maka kita mesti membuat perhitungan lebih dari yang pernah kita lakukan terhadap Orba—melalui aneka jenis peralatan senjata kesenian.
Editor: Zhafran Naufal Hilmy
Foto sampul: dok. Pameran Poster Propaganda Visual: Habis Gelap Terbitlah Gelap
