Kumpulan puisi ini: Cinta yang [Dilarang] Marah, Sebentar Lagi, Namamu Jadi Tabu, dan Menu Santap Malam Penghabisan. Ditulis oleh Ayup Armaddi, seorang yang menulis untuk menyelundupkan ingatan masa muda sebelum tua dan pelupa.
Cinta yang [Dilarang] Marah
Ibu mencintai program PKK
seperti mencintai anak bungsunya
yang sering pulang kemalaman.
Bapak mencintai otoritas
seperti mencintai kumisnya
yang dipangkas rapi tiap pagi.
Sedang aku, masih seperti yang kau tahu.
Klise, menye-menye, dan picisan:
mencintaimu diam-diam,
seperti tanpa seperti.
Sebab jika aku
mencintaimu kepalang keras
bisa memicu sirine berbunyi.
Mencintaimu terang-terangan
bisa membuatku diarak
ke lapangan upacara.
Mencintaimu kepalang riuh
bisa membuat malamku gaduh
dengan kepalan tangan datang
todongiku dengan pertanyaan
yang lebih keren disebut ultimatum:
“Bisa ikut kami sebentar?”
dengan suara datar,
dan terlatih,
dan dingin,
dan lain
sebagainya.
Barangkali,
di malam-malam semacam itu,
mencintai diam-diam
ialah kemenangan kecil
yang masih sempat kita ungsikan.
Sebentar lagi, Namamu Jadi Tabu
: Kepada Tarra yang masih boleh membaca,
Terhitung malam ini, alih-alih mengumbar umpat, kuanjurkan kau banyak berdoa. Sebab sumpah serapah kan digelandang subuh-subuh menuju Daftar Entri yang Dilarang dalam Percakapan Sehari-hari.
Besok pagi, segala tindak tutur kita ialah kepatuhan absolut, dan tinggal menunggu waktu sebelum revolusi jatuh ke daftar itu. Maaf, kau harus putar akal—tentang caramu baca lantang surat ini nanti—jaga-jaga jika revolusi akhirnya diturunkan diam-diam dari poster, grafiti, dan spanduk di gerbang ruko, di sepanjang jalan pulang, atau di sudut-sudut kampus.
Kan kucari juga jalan memutar tuk temuimu di bawah tiang lampu itu—jaga-jaga jika sewaktu-waktu aku kepergok keceplosan. Sebab revolusi ialah caraku tiap kali menyebut marah dan sayang sekaligus.
Dalam sangsi, aku sudi husnuzan: merdeka takkan hilang dari Kamus Besar. Paling-paling, cuma dianggap tak relevan—tuk kita berdua. Merdeka takkan dihapus, sebab jika iya, lagu kebangsaan mana lagi yang kan dilantangkan anak-anak SD di Senin mereka yang murah meriah? Bagaimana guru-guru honorer jelaskan proklamasi tanpa diksi yang selama ini bikin tawamu masuk akal?
Dan yang kan lebih mengusikku—meski mau tak mau, aku bakal dipaksa setuju:
jika namamu beserta padanan baiknya juga dibredel dari malam-malamku.
Tak bisa lagi kusapa kau sehabis dua salam dan sapu jagad.
Tak bisa lagi kusebut kau dalam percakapan yang tak ada lehermu di sana.
Dan kau, tak punya alasan lagi untuk menoleh ke belakang—menolehku.
Di antara konsep-konsep yang belum mereka coret dengan tinta merah,
kuselundupkan lebih dulu namamu di saku celanaku.
Kan kuedarkan diam-diam dalam kasak-kusuk, nanti,
ketika malam-malam tak berwarna strobo,
di mana sunyi tak berbunyi sirine,
dan suaraku tak dihambat merambat.
Salam Hangat
Keparat, dengan ransum doa yang sekarat
Di bibir teritori aparat
Menu Santap Malam Penghabisan
Di jamuan akhir, beberapa jam setelah jari-jari yang menghafal lekuk leher, lidah yang mengucap janji melebihi doa, dan dada yang jadi tanah air paling merdeka, dipagari karung dan kawat duri. kita bersulang bibir sebagai stampel sepakat
bahwa esok pagi, kita resmi dikenang sebagai pembangkang.
Sebelum mulut berhenti bertanya. sebelum lidah kehilangan lebih banyak kosa kata. Sebelum segala upaya untuk mengenang hari-hari baik kita dianggap pengingkaran sejarah, dan saling usap punggung tanpa sertakan motif yang sah di mata hukum dianggap pelanggaran berat, tubuh kita membaca tanda lebih dini.
Maka di malam terakhir itu,
sebelum kata “cinta” yang murah
resmi dilarang,
kita serukan itu berulang-kali
sebanyak
selama
sepuas
mungkin.
Dan jadilah kita,
bercinta dalam tergesa-gesa,
mencintai ketergesaan,
sebab esok pagi, serdadu
mengepung kota,
susupi kotak suara,
bangun pos provost di bawah kolong kasur,
untuk pastikan bahwa kita
tak lagi pertanyakan cinta negara kepada kita
sesering kita pertanyakan cinta kita berdua, setiap malam.
“Kita tak punya banyak waktu,” katamu.
“Kau tak pernah punya banyak kesabaran
untuk menunggu,” batinku.
Lalu kita teguk ceruk tubuh
satu sama lain,
lebih dalam
dari cawan anggur,
sebelum matahari dikawal serdadu
mampir gedor-gedor pintu,
dan kita bertatap muka
dengan dakwaan lain
yang bukan dosa siapa pun,
yang harus kita akui,
tanpa saksi, tanpa barang bukti.
(Maret 2025)
Penyelaras aksara: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Akwila Chris Santya Elisandri
