Mabuk Laut: Kumpulan Puisi Arif Billah

Kumpulan puisi ini: Di Antara Kabut, Sedekah Laut, dan Mabuk Laut. Ditulis oleh Arif Billah, seorang yang telah menyelesaikan studi Ilmu Komunikasi di UMY.


Di Antara Kabut

kita menjejakkan harum kepahitan
pada tanah tinggi yang ditanam batu.
meninggalkan satu botol penuh kebebasan
yang kataku harus kita tenggak dulu.

angin yang berhembus kering
menyusutkan bentang belukar
dalam dada kita, api menyala,
hamparan ruang kata terbakar
sebabkan robohnya sebuah menara.

cangkir ingatan kita tak mampu
memanggil hujan, karena
kau tak mau meminum anggur
yang sama pada cawanku
dari botol yang dasarnya diberati batu
   sepahit empedu.

kita berjalan lebih jauh,
bergumul dengan ayat retoris
tentang kemustahilan-kemustahilan:
seperti kawin silang antar binatang dalam kapal nuh.
dan setelah kita lelah kau menyanyikan lagu semerdu beludru,
alprazolam perpisahan dengan harum kembang aster.

harum yang semerbaknya juga membakar dada
kita. menenggelamkan matahari dalam kobar api.
menguarkan asap mendingin yang pekatnya menjelma kabut.
sebabkan labirin dalam kepala kita makin berantakan untuk diterka.

kita bagai berada dalam sapi yang sama.
yang tuhan ciptakan beserta seluruh nama
dan berkeliaran tanpa gembala di padang rumput
segar berembun dalam kabut. namun di dalam sapi itu
aku adalah darah yang mengalir haram
dan kau aliran susu yang menggemukkan.

pada ujung paling jauh kita berjalan,

kau menatapku sendu.
angin, mengantarkan parau
lembut awan pegunungan
dan rintikan embun pun berguguran
di atas rambutmu, menumbuhkan taman bunga.

kugenggam erat aster
yang kupetik dari dari rambutmu.
kelopaknya perlahan terbang
dari tangkai keyakinan beku.

biru di jari-jari tanganku
terasa kelu. lalu, pada hari itu
kau menghilang begitu saja di antara kabut.
setelah tumbuh taman buga di rambutmu
dan belukar terbakar di antara dada kita.

7/4/2023

Sedekah Laut

Setelah seseorang mencuri senja
kita menyajikan sepiring kepala
di atas laut.

   bintang menyerbu seperti lalat,
malam menelannya bulat-bulat.

dicerna menjadi obor yang berujung gigil
dan berpendar mengusir hantu masa lampau.

menenggelamkan batu dalam dada manusia
yang ikut dilarung bersama hati dan kepala sapi
yang dibungkus mori bermotif tragedi.

sesajian telah lenyap ke hilir paling gelap.
dikandung oleh rahim paling cemas
setelah doa tumpah dari langit
yang berceceran hingga membuahi lautan.

tapi apa yang akan dilahirkan laut dari yang telah kita sajikan?

ombak bergelegak, langit malam pun kenyang.
sedekah sudah tersampaikan,
kita menolak balak dari lautan yang ketakutan.
   namun pernahkah maaf kita kirimkan?

23/06/2023

Mabuk Laut

Bermuarakan keterombang-ambingan
Perahu-perahu mabuk beringsutan
Menuju dangkal laut selatan
Yang penuh akan karang
Dan reruntuhan bangunan
Bekas mercusuar paling hingar bingar.

Kanvas-kanvas layar kapal
Kalap menyelimuti lautan.
Serupa mega putih paling rapat
Akan rapal kental dari mualim paling alim.

Lahirlah gelap sempurna di kelamnya suasana.
Bahkan bulan tak mampu menembuskan
Sebersit cahaya keperakan.

Pada pangkal ruang tak terjamah
Dan debur ombak tak lagi terdengar,
Camar berkoak: tangan-tangan Tuhan sudah koyak!

Tuhan berjatuhan dari angan
Yang ditiupi angin kemarin.
Angin yang membawa perahu-perahu
Dari hulu batas makhluk tak dapat lewat
Menjelma hujan yang membadaikan tujuh lautan.

Menara garam paling purba pun roboh.
Di mana perahu menuju kesana
Dan kapal menganggapnya mercusuar mereka.

Tak ada riuh riak berlabuh.
Tak ada ramai desir pantai.
   Perahu telah bertubrukan dan
Kapal tumbang di tengah kematian
Angin yang membawa koyak tangan Tuhan.

16/04/2023


Penyelaras aksara: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Akwila Chris Santya Elisandri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts