Infact adalah band hardcore asal Kota Balikpapan di provinsi Kalimantan Timur. Awalnya saya mengenal band ini karena seorang teman mengirimkan CD album Infact pada saya yang berjudul Peradaban Baru. Saya tidak memiliki ekspektasi apapun ketika mencoba mendengar isi CD tersebut dikarenakan hardcore bukanlah tipe musik yang biasa saya dengar. Tapi saya akhirnya menyukai musik mereka dikarenakan isi lirik yang menyuarakan perjuangan melawan penindasan dan ketidakadilan.
Album ini juga berdurasi pendek, hanya sekitar 21 menit saja. Sesungguhnya dengan durasi pendek ini Peradaban Baru bisa dikategorikan sebagai extended play atau album-mini dalam Bahasa Indonesia, akan tetapi di halaman Spotify album ini dikategorikan sebagai full-length album.
Lagu pertama berjudul “Petarung”. Sebagai lagu pertama, lagu ini berhasil memberikan contoh pada para pendengar mengenai bagaimana gaya musik mereka dan tema lirik yang ada di album ini. Chorus lagu yang menyuarakan “Keep fight / Keep fight / Keep fight / Will never give up” adalah tema dan konsep yang menyelubungi keseluruhan album, yaitu petarung yang terus melawan dan tidak akan pernah menyerah.
Di suatu bagian di lagu ini terdapat monolog yang berbunyi “Relakan jiwamu untuk melawan / Lalu sebarkan rasa gembira kepada malam / Belenggu terbuka ikatan terlepas / Untuk petarung yang tak akan pernah menyerah”. Monolog ini pun disusul dengan permainan solo gitar sehingga terasa apik dan membekas di telinga pendengar lagu.
Lagu kedua berjudul “Tangis & Bara”. Lagu ini penuh dengan kesan sengsara. Liriknya sangat mengerikan, mengisahkan suatu malapetaka dengan lirik yang berbunyi “Jerit tangis dan marah / Membakar mengusik jiwa / Hancur lebur merata / Inilah malapetaka”. Saya pun berpikir apa maksud malapetaka yang disebut di dalam lirik lagu ini, yang bisa jadi merupakan bencana yang diakibatkan oleh manusia seperti peperangan. Saya mengambil kesimpulan ini dikarenakan adanya kata ‘marah’ di larik pertama yang merupakan bentuk protes naluriah manusia jika dihadapkan pada ketidakadilan.
Chorus lagu “Tangis & Bara” berbunyi “Hancurkan / Leburkan / Musnahkan / Jiwa-jiwa melayang” dengan musik yang menghentak. Lirik yang terpadat pada chorus lagu ini semakin memperkuat tema peperangan yang ada di lagu ini, dengan ujaran-ujaran yang bersifat destruktif entah itu dari sudut pandang pihak yang mana.
Lagu ini pun diakhiri dengan satu kalimat yang juga sangat mengerikan, yaitu “Semua menjadi korban”. Kalimat tersebut memiliki makna yang sangat bagus mengenai peperangan dan mengapa kita seharusnya menghindari konflik, dikarenakan dalam peperangan ataupun konflik dalam jumlah besar hanya akan merugikan semua pihak yang terlibat.
Lagu ketiga berjudul “Berontak Jiwa”. Saya sangat menyukai permainan gitar yang menggunakan teknik bending sebagai bagian dari intro lagu. Notasi nada yang di-bending juga terus sama dan terus diulang di beberapa bagian lagu sehingga mengesankan repetisi yang garang. Selain repetisi nada dengan teknik bending, lagu ini juga menghadirkan teknik palm mute yang dilakukan dengan tempo cepat untuk menambah kesan garang yang ada.
Kalimat pertama yang ada di lagu ini adalah “Terlalu banyak masalah di bumi”. Lagu ini memang tidak memberitahu secara spesifik apa ‘masalah’ tersebut, tapi kemungkinan besarnya adalah konflik antar manusia yang berupa ketidakadilan seperti penjajahan entah itu yang bersifat personal ataupun komunal. Hal ini dikarenakan lirik yang berbunyi “Menginjak citra merebut kebebasan” yang segera disusul dengan chorus lagu yang berbunyi “Jangan biarkan / Rebut segera / Segera robohkan / Berontak jiwa”.
Lagu keempat berjudul “Peradaban Baru” yang merupakan judul album. Lagu ini diawali dengan intro berupa pengulangan riff gitar yang sangat garang. Dengan lirik awal yang berbunyi “Waktu terus dipacu tak ada kompromi / Yang lemah terinjak bergerak cepat / Roda terus melaju berputar maju / Tak mengenal nama tak kenal norma”, sepertinya lagu ini bersifat multi tafsir dengan imaji berupa ‘waktu terus dipacu’, ‘roda terus melaju’, mengesankan peradaban manusia yang terus bergerak dengan cepat.
Akan tetapi, outro lagu ini menambah sedikit ruwet makna dengan liriknya yang berupa “Kami lelah mengikutimu / Kau merusak generasi baru / Biarkan kami jalan sendiri / Tentukan hidup yang kami yakini”. Hal ini seolah mengesankan adanya perubahan kehidupan manusia dengan perkembangan peradaban yang ada. Entah itu bersifat interaksi sosial ataupun kepercayaan dan keyakinan yang dimiliki setiap individu, semuanya bergerak dan berubah. Lagu ini pun ditutup dengan sang vokalis yang berujar “Tuhan bersama orang-orang yang berani”.
Lagu kelima berjudul “Maju Tak Gentar”. Lagu ini lumayan singkat dan strukturnya sangat sederhana. Pada dasarnya lagu ini terus mengulang kalimat “Maju Tak Gentar” yang disusul dengan berbagai ujaran mengenai keberanian untuk berada di barisan depan. Lagu ini kemudian sampai pada chorus yang sangat singkat, memaparkan makna lagu dengan lirik yang bersifat eksplisit berupa “Ini aku tentukan hidupku / Ini aku lakukan hidupku”. Uniknya, chorus lagu ini tidak diulang untuk kedua kali setelah bait kedua sehingga chorus tersebut hanya jembatan antar dua bait yang isinya juga sama persis.
Lagu keenam berjudul “Hyena”. Dengan intro lagu yang menggunakan efek fade-in pada riff gitar pembuka lagu, rasanya sangat megah ketika didengar. Adanya solo gitar sebagai intro lagu juga menambah kesan apik yang ada. Lagu “Hyena” sesungguhnya adalah lagu kemarahan dengan liriknya yang berbunyi “Abaikan dosa, kejar dunia / Tak acuh demi dirinya / Bagai raja perampas bahtera / Rakus, licik, seperti Hyena”.
Lagu ini pun memiliki chorus yang sangat asik didengar, karena sebagaimana musik rock yang penuh dengan repetisi hentakan, lirik di bagian chorus juga bersifat pendek-pendek karena disesuaikan dengan hentakan nada yang ada. Sang vokalis dengan nada kemarahan berujar “Pecundang / Penjilat / Serakah / Munafik” dan terus diulang bersama dengan hentakan repetisi nada. Lagu ini pun ditutup dengan ujaran “Semoga kau binasa” yang merupakan puncak kemarahan lagu ini.
Lagu ketujuh yang merupakan lagu terakhir berjudul “Harga Diri Harga Mati”. Lagu ini terasa spesial karena merupakan satu-satunya lagu yang memiliki video musik resmi di YouTube. Lagu ini juga terasa cocok ditempatkan sebagai lagu penutup album karena meninggalkan kesan keberanian seorang petarung yang merupakan tema dan konsep album.
Keberanian yang dimaksud dalam lagu “Harga Diri Harga Mati” adalah turun ke jalan dan menyuarakan suara-suara yang tertindas sebagaimana liriknya yang berbunyi “Bersiaplah hari ini / Kita turun ke jalan lagi / Memperjuangkan harga diri / Yang hampir terinjak mati”. Lagu ini kemudian penuh dengan protes dari kalangan marginal yang dipojokkan sebagaimana liriknya yang kemudian berbunyi “Semua sudah kau miliki / Tak ada sisa untuk kami / Kau rampas yang kami miliki / Kau telan keringat kami”.
Chorus lagu ini pun mengujarkan keberanian yang sangat tinggi, dengan lirik berupa “Tapi tidak untuk harga diri / Kami pertahankan sampai mati”. Mempertahankan harga diri sampai mati terasa seperti majas hiperbolik, akan tetapi sejarah dan dunia psikolog telah membuktikan bahwa dalam kondisi tertentu manusia akan melakukan hal-hal yang sangat berbahaya dan penuh keberanian jika disudutkan dan dipojokkan secara fisik dan psikis.
Album Peradaban Baru adalah campuran di antara kemarahan dan pemberontakan dengan latar kesenjangan sosial yang penuh ketidakadilan. Album ini adalah contoh musik yang diciptakan oleh kondisi sosial dan politik yang penuh konflik, dan kita berbondong-bondong berusaha bertahan hidup di realita yang sulit di mana segelintir orang yang berkuasa bisa seenaknya mempermainkan populasi dalam jumlah besar.
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Infact