Gelas Pasir Telah Habis: Niskala Bawakan Album ‘Hourglass’ Terakhir Kali

Malam itu di Cherrypop 2024, pasir ‘Hourglass’ Niskala telah berpindah semua dari tabung bagian atas ke tabung bagian bawah, periode waktu telah selesai.
Niskala 'Hourglass' - Cherrypop 2024

Suatu waktu ada seorang kakek tua bernama Santiago, dia adalah seorang nelayan di sebuah kampung nelayan di Kuba. Sudah hari ke-84 dia melaut sendirian terombang-ambing di tengah lautan  dan tidak membawa pulang satupun ikan, sehingga tetangganya menganggap pak tua tersebut terserang kutukan orang paling sial. Tapi dia tidak menyerah.

Di hari ke-85 akhirnya pak tua mendapatkan ikan marlin besar, sialnya di tengah perjalanan pulang, marlin hasil tangkapanya tersebut direbut oleh ikan hiu sehingga dia hanya membawa kerangka marlin sampai ke darat, dia merasa kalah dan sia-sia. Namun ketika ada anak muda bernama Manolin melihat kerangka besar dari marlin yang dibawa Santiago dan kemudian memuji perjuangannya, Santiago akhirnya mendapatkan rasa percaya diri dan rasa hormat dari tetangganya kembali. 

Itu adalah rangkuman awal dan sangat pendek dari kisah The Old Man and the Sea (1952) karya Ernest Hemingway. Pengantar cerita di atas seakan tidak ada hubungannya dengan judul tulisan ini, tapi sebentar dulu, saya akan memberi sebuah kutipan, Why do old men wake so early? Is it to have one longer day?.

Kalimat di atas menjadi salah satu citra latar belakang visual panggung pertunjukan Niskala malam itu, kalimat tersebut sebenarnya semacam renungan dari saripati cerita The Old Man and the Sea. Jika mau memaknai sebagai denotasi memang pak tua bangun pagi agar bisa menikmati hari lebih lama, tetapi kita perlu melihat dari sisi konotasi bahwa pak tua sebenarnya bukan hanya bangun pagi agar bisa menjalani hari lebih lama. Namun itu wujud dedikasinya kepada profesi dan konsistensi sebagai nelayan yang sudah menjadwalkan dirinya untuk melaut tiap pagi, meskipun dalam waktu-waktu yang sial hasilnya selalu nihil bahkan sampai di hari ke-84.

Ketika ada harapan keberhasilan datang, hambatan datang kembali, tapi keteguhannya yang membuat pak tua itu hidup sebagai manusia yang memiliki martabat. Kedisiplinan, optimisme, dan konsistensi pak tua itu merupakan contoh jika sesuatu dikerjakan dengan sungguh-sungguh tiada yang sia-sia. Hasilnya belum tentu sesuai ekspektasi.

Saya menganggap orang-orang yang membuat musik dan masuk ke dalam kubangan band post-rock adalah manusia seperti kakek tua di cerita karangan Hemingway di atas. Hanya dedikasi, kecintaan, dan konsistensi terhadap apa yang dikerjakan yang akan membawa hal tersebut sampai pada sesuatu yang diinginkan, jikalau tidak pun itu tetap menjadi perjalanan yang patut diceritakan. 

Niskala sepertinya bisa menjadi salah satu contoh dari hasil yang dinamakan dedikasi, kecintaan dan konsistensi tersebut walaupun sering kali berjalan dalam kesunyian, karena genre post-rock tentu saja bukan hal yang populer, apalagi di Indonesia.

Skena post-rock ini tidak besar, bahkan di skala internasional genre ini pun tidak menjadi besar sekali, mungkin pernah agak besar di penghujung dekade 90-an atau awal dekade 2000-an. Bahkan untuk di Indonesia saja musik ini seperti mati segan hidup setengah-setengah. Namun jika kita menilik lebih jeli post-rock tidak pernah mati di Indonesia, kecil tapi tangguh dan bertahan diterpa banyak hantaman tren musik arus utama. Niskala dan band-band lain di skena post-rock Indonesia mungkin tidak banyak manggung, karena membesarkan band post-rock itu sama saja memilih jalan sunyi, merawat dalam sepi, jauh dari ingar bingar, dan album Hourglass (2018) merupakan anak dari kerja-kerja sunyi tersebut.

Malam Itu Pasir Hourglass Telah Habis

Hari itu Niskala manggung di festival Cherrypop 2024, berjejal dengan berbagai penampil dan beberapa gimik penampilan merayakan ulang tahun album atau band itu sendiri, seperti FSTVLST membawakan full set album Hits Kitsch (2014) untuk merayakan satu dekade, Morfem merayakan 15 tahun terbentuk, The Upstairs membawakan perayaan dua dekade album Matraman (2004), dan masih banyak lagi.

Niskala dijadwalkan tampil di hari pertama festival. Saya mengira Niskala akan ditempatkan pada waktu tampil sore menjelang malam, karena saya membayangkan musik post-rock yang dibawakan Niskala sangat cocok didengarkan di waktu sore sembari menyaksikan lembayung di ufuk barat. Hal yang pernah terjadi ketika Niskala manggung di Dlingo Bantul, karena kita negara tropis, lupakan sejenak menyaksikan post-rock diantara dingin salju.

Ternyata saya salah, waktu tampil Niskala dijadwalkan pukul 20.20 WIC (Waktu Indonesia bagian Cherrypop) berbarengan dengan The Jansen dan Morfem yang bisa dibilang raja skena untuk saat ini. Oleh karenanya sehari sebelum pertunjukan, akun X Niskala mengunggah meme gambar matahari terbit diantara dua gunung, matahari terbit itulah Niskala dan dua gunung yang seakan menghimpit itulah The Jansen dan Morfem.

Waktu menunjukkan pukul 20.27 WIC, panggung tengah dari tiga panggung yang hidup di festival tersebut sudah sesak penonton. Musik ambience mulai mengalun –yang belakangan saya tahu itu adalah materi album baru– dengan bersamaan visual latar belakang menampakkan wajahnya yang ternyata hanya tulisan satu kalimat, “listen to Niskala, especially when nothing time will just pass on, leaving nothing to mend, else seems to help“. Kemudian satu persatu personil Niskala naik ke panggung dan memegang alat musik masing-masing. 

Aksi panggung Niskala di Laidback Cherry Gigs Stage (dok. Asyam Ashari)

Setelah mereka siap semua. Jreeengggg! “Seeing The Unseen” dimainkan, pembukaan Hourglass dimulai.

Seperti judulnya kita diajak melihat sesuatu yang tidak tampak, bukankah itu pula arti sesungguhnya Niskala, dunia yang tidak tampak. Dalam kepercayaan Hindu, Niskala selalu disandingkan dengan Sekala, itu semacam kepercayaan bahwa ada dunia tampak yang seperti kita pijaki serta hidupi sekarang, pun ada dunia yang tidak tampak. Niskala seakan memberi sinyal pesan bahwa kita para pendengar adalah Sekala itu sendiri.

Malam itu kebangkitan suasana Sekala-Niskala ditiupkan dengan membuka permainan ciamik mereka dengan “Seeing The Unseen”. Pertunjukan dilanjutkan dengan memainkan “Kneel and Pray”, musik yang diawali dengan gebukan snare drum dan kemudian dilanjutkan dengan komposisi petikan gitar yang rumit dan berulang hampir disepanjang 25 detik pertama. Jka di 25 detik pertama itu kalian baru pertama kali mendengarkan Niskala dan kebetulan yang kalian dengar adalah “Kneel and Pray” besar kemungkinan kalian meyakini Niskala adalah band math-rock atau midwest-emo.

Lagu ini dibawakan begitu khusyuk seperti kita diajak untuk bertekuk lutut dan memanjatkan doa di sepanjang lagu dimainkan, mendengarkan lagu itu seperti merasakan pelukan hangat dan mendapatkan semangat kembali ketika sedang jatuh. Usai “Kneel and Pray” dibawakan kemudian melantun “Vow” yang dimulai dengan intro petikan gitar yang lambat dan menyeret kemudian sampai pada riff gitar serupa dengan lagu sebelumnya. Dua lagu ini memang punya nuansa yang sama mulai dari riff sampai puncak eargasm atau klimaksnya. 

Usai lagu tersebut dimainkan, lampu panggung meredup termasuk latar belakang visual. Tak lama berselang terdengar musik ambience putus-putus yang kemudian personil Niskala kembali memainkan alat musiknya dan mulai terdengar lagu “Almost Before We Knew It, We Had Left The Ground”. Lagu ini adalah single teranyar Niskala –di luar album Hourglass– yang dirilis akhir tahun 2021 silam.

Lagu ini merupakan salah satu lagu Niskala yang punya pace sangat lambat atau bisa dibilang drummernya bisa sambil ngopi jika sedang memainkan lagu tersebut. Namun karena kelambatan temponya lagu tersebut sangat subtil menyentuh perasaan, menjalar secara perlahan di kesadaran hingga saatnya sampai klimaks tak terasa air mata saya keluar dengan sendirinya.

Belum usai mengelap luh, terdengar alunan keyboard yang berarti “Alana” sedang mengalun, lagu tersebut juga punya pace yang mirip dengan “Almost Before We Knew It, We Had Left The Ground” di hampir setengah lagu sangat lambat, monoton, dan membosankan jika didengarkan dalam keadaan terburu-buru. Namun lagu-lagu Niskala yang punya pace seperti itu selalu punya kejutan pada klimaksnya, itu artinya saya bersiap-siap untuk membasuh luh kembali.

Di sepertiga terakhir “Alana” dimainkan, air mata saya bercucuran bersamaan tubuh saya yang bergidik tak henti-hentinya, ditambah latar belakang visual yang menampilkan kalimat: Di dalam lajur-lajur kehidupan, ada suatu yang diberi ruang redam, pun juga layak dirayakan. KEHILANGAN, misalnya.

Ungkapan Niskala lewat visual panggung (dok. Asyam Ashari)

Kejadian tersebut adalah momentum puncak saya menikmati Niskala di malam yang dingin itu. “Alana” adalah track paling favorit saya di album Hourglass dan lagu tersebut adalah tipikal musik post-rock yang cocok untuk meluapkan emosi. Suasananya dibangun pelan-pelan, di tengah lagu diberi ruang agak kosong untuk mengumpulkan emosi, hingga akhirnya membuncah di puncak klimaks. Selepas outro yang merupakan melodi dari komposisi klasik Prancis dari abad ke-18 “Ah! vous dirai-je, maman”, kemudian disambut dengan intro dengan komposisi yang sama. “Crimson Autumn” mulai dimainkan.

Lagu ini punya sisi nuansa luar angkasa paling kental di antara lagu-lagu lain di album Hourglass, pun lagu tersebut sangat cocok didengarkan di musim kemarau seperti sekarang ketika Bimasakti sedang menampakan diri di langit Indonesia tiap malam, sembari melihat bintang di langit dari tempat yang minim polusi cahaya. Saya selalu mengingat album Jelajah milik Soleluna ketika mendengar lagu itu, pun sebaliknya.

Latar belakang visual kembali menghitam, tandanya babak berikutnya akan segera dilangsungkan, kemudian “Legacy of The Moon” mulai terdengar, itu berarti sudah memasuki ujung pertunjukan. Lagu tersebut merupakan lagu paling favorit di banyak pendengar Niskala, puncak penonton berjamaah headbang dan menangis ada di lagu tersebut. Lagu dibuka dengan nuansa ceria bahkan sampai akhir lagu pun begitu, hanya saja di lagu tersebut memang mengandung nuansa haru kemenangan atas segala hal yang sudah diusahakan.

Itu kenapa menangis di “Legacy of The Moon” akan berbeda dengan menangis di “Alana”. Setelah pick of orgasm di pertunjukan malam itu, Niskala membawakan lagu “Captured Trails” sebagai jalan wrap-up pertunjukan. Dari 9 lagu di album Hourglass, malam itu Niskala meninggalkan “Phantasma” dan “Commemorate”. Pertunjukan selesai diiringi penonton berhamburan. Malam itu pasir Hourglass telah berpindah semua dari tabung bagian atas ke tabung bagian bawah, selanjutnya periode waktu Hourglass telah selesai.

Terima kasih Hourglass

Penampilan Niskala di Cherrypop 2024 merupakan usaha membawakan set Hourglass untuk terakhir kali. Anak pertama Niskala tersebut tahun ini sudah berumur 6 tahun. Itu tandanya kami para pendengar ingin segera menikmati album dari Niskala yang baru.

Namun merayakan Hourglass untuk terakhir kali lumayan menyedihkan bagi saya. Kemunculan album di tahun 2018 silam adalah masa-masa saya kembali mendegarkan post-rock setelah hampir 3 tahun menjauhinya. Ternyata berkat album tersebut saya baru menyadari di situlah zona paling nyaman saya mendengarkan musik. Bagi saya post-rock bukan sekadar racikan musik instrumental (kebanyakan) atau musik ambience yang bikin melayang-layang, tapi juga sebuah perjalanan spiritual, tiap mendengarkan album-album musik post-rock saya merasa perlu menyiapkan semacam mental untuk memulai ritus dan khusyuk menikmati album tersebut. 

Suasana penampilan Niskala bersama para penikmat musik (dok. Asyam Ashari)

Mendengarkan post-rock memang tidak bisa dalam keadaan tergesa-gesa karena suasana musiknya perlu dibangun pelan-pelan. Mendengarkan post-rock tidak akan nikmat di keadaan emosi yang tidak stabil karena hanya akan memperburuk keadaan. Mendengarkan post-rock tidak akan khusyuk dengan kondisi suasana yang carut-marut, mendengarkan post-rock paling baik menurut saya adalah di keadaan tenang, jika dalam keadaan banyak masalah, minimal kita tanggalkan terlebih dahulu kemudian hanya membawa diri kita sendiri.

Bagi saya post-rock adalah jalan atau thoriq menuju sesuatu yang tidak mampu diucapkan dengan kata-kata, saya menemukan makna “menikmati musik” di komposisi musik-musik post-rock. Karena Niskala menelurkan Hourglass di tahun 2018 yang sebetulnya saya juga berjumpa secara tidak sengaja di suatu postingan Instagram, saya merasa menemukan kembali jalan itu.

Terima kasih Hourglass, selamat beristirahat sejenak, semoga segera bertemu saudara lain yang ikut meramaikan panggung Niskala di masa-masa yang akan datang. We love you! Tapi, emang beneran kemarin set Hourglass terakhir? Gak mau bikin showcase spesial perpisahan, gitu? Heuheu!


Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Asyam Ashari

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts