Dua Film ‘Dune’: Eksplorasi Persoalan Takdir hingga Agama adalah Candu

Dua film ‘Dune’ bukan hanya persoalan tentang politik, kekuasaan, dan revolusi, tetapi juga refleksi tentang takdir yang ditentukan oleh kekuatan lebih besar.

“Fear is the mindkiller. Fear is the little-death that brings total obliteration. I will face my fear. I will permit it to pass over me and through me. And when it has gone past, I will turn the inner eye to see its path. Where the fear has gone there will be nothing. Only I will remain.”

Kutipan di atas adalah sebuah mantra “The Litany Against Fear” dalam film Dune: Part One. Mantra tersebut menggemakan pandangan tentang manusia yang terjerat dalam siklus kehendak dan ketakutan, tapi tetap memiliki potensi untuk melampaui takdir yang tampak tak terelakkan. Ketakutan dalam konteks ini mewakili batasan-batasan kehendak manusia yang menghambat kebebasan dan pencerahan.

Dune: Part One (2021) dan Dune: Part Two (2024) disutradarai oleh Denis Villeneuve merupakan sebuah film yang diadaptasi dari sebuah novel klasik berjudul Dune karya Frank Herbert. Kedua film ini akan membawa penonton ke dalam dunia yang penuh akan konflik politik dan intrik kekuasaan. Kedua film Dune tak hanya menyuguhkan visual memukau, tetapi juga mengeksplorasi tema-tema mendalam seperti takdir, kekuasaan, agama, dan jati diri.

Dalam Dune: Part One, keluarga Atreides dipimpin oleh Duke Leto Atreides (Oscar Isaac), atas perintah kaisar menggantikan Harkonnen dalam memimpin planet Arrakis. Arrakis adalah satu-satunya sumber dari spice melange, zat yang sangat berharga di mana dapat  memberikan kekuatan besar dalam perjalanan antarbintang.

Pengkhianatan yang direncanakan keluarga Harkonnen menghancurkan keluarga Atreides sesaat setelah kedatangan mereka di Arrakis. Serangan keji tersebut membunuh Duke Leto dan memaksa Paul Atreides (Timothee Chalamet) dan ibunya, Lady Jessica (Rebecca Ferguson), melarikan diri ke gurun yang berbahaya.

Di tengah kondisi karut marut yang sedang terjadi, Paul mulai mendapatkan visi tentang masa depan dan takdirnya sebagai pemimpin besar yang diramalkan akan datang untuk mengubah nasib planet Arrakis. Paul dan ibunya juga bertemu dengan orang-orang Fremen, suku asli Arrakis  yang telah lama beradaptasi dengan kehidupan keras di gurun.

Di samping itu pada Dune: Part Two, setelah bergabung dengan suku Fremen, Paul mulai menerima identitasnya sebagai Muad’Dib, yaitu pemimpin yang diramalkan akan membebaskan orang Fremen dan mengubah Arrakis. Film ini memperlihatkan pergulatan batin Paul, seorang pemuda yang ditakdirkan untuk menjadi pemimpin besar. Tapi, ia merasa terbebani oleh kekuasaan dan diselimuti dilema. Ia harus memilih antara  mengikuti takdirnya atau mengubah jalan sejarah. 

(dok. Warner Bros)

Terjebak dalam Permasalahan Takdir Determinisme 

Kedua film Dune memperlihatkan bagaimana konsep determinisme Baruch Spinoza begitu menonjol dalam sosok Paul Atreide. Menurut Spinoza, determinisme menyatakan bahwa segala sesuatu di dunia ini adalah hasil dari sebab dan akibat yang tidak bisa dihindari. Segala kejadian, perasaan, dan tindakan kita sudah ditentukan oleh kondisi-kondisi sebelumnya dan hukum alam yang mengatur dunia.

Paul Atreides terlihat terjebak dalam takdirnya untuk menjadi pemimpin Arrakis karena ia adalah keturunan keluarga Atreides. Ramalan pemeluk agama Fremen pun menyatakan bahwa Paul memiliki peran besar untuk mengelola Arrakis. Bene Gesserit, organisasi yang mengatur garis keturunan penghuni planet Arrakis, meramalkan Paul sebagai Kwizats Haderach atau seorang mesias yang akan membawa perubahan besar. Meskipun menjadi seorang “terpilih”, Paul merasa terkekang dan tak berdaya atas jalan hidupnya.

Dalam banyak hal, Paul mulai mempertanyakan apakah semua yang terjadi di hidupnya sudah ditentukan sejak awal atau ia dapat mengubahnya. Seperti yang ditegaskan oleh Spinoza, walaupun Paul atau mungkin kita merasa memiliki kebebasan,  nyatanya ada banyak hal yang kita lakukan adalah akibat dari determinasi yang lebih besar, seperti takdir, keluarga, dan budaya.  

Di sisi lain, situasi yang dihadapi Paul Atreides sejalan dengan konsep kehendak Arthur Schopenhauer.  Paul mematuhi kehendak takdir sebagai seorang pemimpin. Alhasil, dia  berusaha menjalankan perannya menjadi Muad’Dib sebaik-baiknya. Tapi, semakin ia menjalankan perannya, ia menyadari penderitaan dan pengorbanan yang menyertainya. Niat Paul membebaskan Fremen justru berujung pada tragedi dan kehancuran yang mengerikan, terutama ketika ia menyadari bahwa revolusi yang dipimpinnya menelan begitu banyak korban jiwa.

Agama Sebagai Candu dalam Dua Film Dune

Dua film Dune membuktikan tesis Karl Marx “agama adalah candu” melalui karakterisasi Bene Gesserit dan Fremen. Dalam pandangan Marx, agama sebagai candu memiliki fungsi untuk menenangkan rakyat dari kondisi sosial yang tidak adil. Pada film ini, agama dimanfaatkan untuk memanipulasi Fremen, terutama melalui keyakinan mereka pada Muad’Dib sebagai pemimpin yang dijanjikan.

Bene Gesserit, sebuah organisasi perempuan super yang memiliki kekuatan politik, memainkan peran besar dalam mengendalikan takdir individu melalui manipulasi genetika dan ramalan. Mereka mengutus Lady Jessica melahirkan Kwisatz Haderach (Paul), seorang pemimpin yang akan memenuhi ramalan. Bene Gesserit seharusnya juga menggunakan agama untuk memengaruhi dan mengendalikan orang-orang, termasuk suku Fremen. Lady Jessica kemudian memanipulasi Fremen dengan menanamkan harapan bahwa Paul adalah pemimpin yang dijanjikan. 

Fremen yang telah lama hidup dalam penderitaan di planet Arrakis yang gersang mendambakan pembebasan dan menganggap Paul sebagai sosok yang dijanjikan oleh agama mereka. Meski awalnya enggan, Paul akhirnya menerima peran sebagai Muad’Dib di mana dia menjadi mesias yang akan membebaskan Arrakis dan Fremen dari penindasan.

(dok. Warner Bros)

Pada dua film ini bisa kita lihat bahwa Fremen di Arrakis terjebak dalam keyakinan agama yang dianggap sebagai jalan keluar penderitaan. Agama mereka menjanjikan seorang pembebas. Namun, seperti banyak agama di dunia nyata, janji ini seringkali hanya omong kosong. 

Harapan pada Paul sebagai penyelamat justru menyeret Fremen ke dalam konflik kekuasaan yang memaksa mereka melakukan kekerasan demi tujuan yang dijanjikan. Agama mereka menjadi candu, menenangkan sekaligus membebani dengan ekspektasi yang mustahil diwujudkan.  

Dengan begitu, Dune bukan hanya sebuah kisah epik tentang politik, kekuasaan, dan revolusi, tetapi juga refleksi mendalam tentang bagaimana kita terjebak dalam takdir yang ditentukan oleh kekuatan lebih besar, seperti nasib, tradisi, dan agama. Film ini mempertanyakan apakah kita benar-benar bebas memilih jalan hidup atau hidup dalam ilusi yang diciptakan oleh sistem yang lebih besar? 

Di dunia yang penuh pengaruh dari luar di mana takdir seolah-olah sudah ditentukan, dan agama yang seringkali memanipulasi, kita harus berani menghadapi ketakutan dan memilih jalan hidup kita. Seperti yang tertera dalam mantra “The Litany Against Fear”:  

“Meskipun ketakutan dan takdir membayangi kita, hanya kita sendiri yang tetap tinggal setelah semua itu berlalu. Itulah yang akhirnya membentuk perjalanan kita menuju kebebasan sejati.”


Editor: Hifzha Aulia Azka
Foto sampul: Warner Bros

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Nyanyian Perlawanan dan Solidaritas Viva City untuk Sukatani

Next Article

Mata Gelap Ali Moesa

Related Posts