Mata Gelap Ali Moesa

Kisahku ini telah menyebar luas di seantero Hindia Belanda melalui surat kabar, hal ini bisa kuketahui ketika persidangan, dimana banyak orang penasaran dan melihatku di hadapan pengadilan. Hukumanku sangat berat, karena aku membunuh keluarga yang begitu terpandang dan melukai satu orang polisi yang belakangan ini baru terungkap bahwa ia adalah seorang komandan. 

Apakah aku menyesal? Aku hanya menyesal karena harusnya di pagi petaka itu, aku tidak usah gemetar agar pelor dari senapan itu bisa tembus ke kepala. Menurutku, kemalangan ini akan terus berlanjut hingga nyawaku diambil sendiri oleh Allah dan aku sendiri tidak siap untuk bunuh diri lalu meninggalkan keluargaku di desa.

Saat aku baru saja masuk ke penjara, ada dua orang guru sekaligus psikiater dari Geneeskundig Hoogeschool yang ingin mengetahui diriku dan kejadian malang yang menimpaku. Salah satu dari mereka adalah orang Belanda dan yang satunya lagi adalah seorang pribumi. Tampaknya, orang Belanda tersebut kurang mengerti bahasa Melayu sehingga ketika kami bercakap-cakap, guru pribumi tersebutlah yang menerjemahkan percakapan kami.

Aku pun bersedia untuk menceritakan kehidupanku sekaligus duduk perkara yang aku alami itu, setidaknya hanya mereka yang ingin mendengar dan mencatat kisahku sebagai bukti bahwa aku adalah seorang pribumi dan layaknya manusia biasa yang tidak akan pernah bisa menyembunyikan emosi dalam hati kita. Bagi orang Belanda, sifat semacam itu merupakan sifat kekanak-kanakan yang harus diatasi oleh orang-orang Belanda yang berpendidikan, modern, dan maju seperti orang dewasa.

***

Aku adalah Ali Moesa. Seorang laki-laki yang berumur sekitar 25 tahun ketika petaka itu tiba. Aku sendiri aslinya dari Pandeglang, namun harus merantau ke kota Batavia, karena di sini tampaknya terdapat banyak pekerjaan yang lebih menjanjikan.  Aku pergi ke pusat Hindia Belanda ini di saat pemerintah Hindia Belanda dibuat cemas dengan adanya pergerakan bangsa pribumi yang kian masif dan mengusik ketentraman masyarakat Eropa yang kaya-kaya – aku benar-benar tidak paham soal umurku ketika aku pergi ke Batavia karena di keluargaku tidak ada yang pernah mengingatnya. 

Ketika berada di Batavia, aku diajak bekerja menjadi seorang pekerja bersama ibuku di sebuah rumah yang letaknya di jalan Prinsenlaan no. 91, Batavia. Rumah tersebut milik seorang cina singkeh kaya yang memiliki jaringan dagang di Singapura bernama Lauw Soen Bak. Jika tak salah dengar dari cerita ibuku, Lauw Soen Bak atau kerap disapa Tuan Bak adalah orang yang sangat terpandang dan mulia, sehingga semua orang jelas mengenal Tuan Bak beserta keluarganya. Ia adalah seorang dermawan. Salah satu kedermawanannya terlihat misalnya ketika Batavia terkena banjir besar pada tahun 1918, ia adalah salah seorang yang menyumbangkan tiga peti ikan asin kepada warga yang terdampak.

Layaknya rumah orang kaya yang tersebar di jalan ini, rumah Tuan Bak sangatlah rapi, sejuk, dan luas. Lantainya terbuat dari tegel dengan ornamen yang indah. Rumahnya menghadap jalan yang rindang dan boleh dibilang rumah ini sangat cocok untuk keluarga yang sudah memiliki banyak uang dan tinggal menikmati kehidupan mereka di masa tua.

Tuan Bak hidup bersama istri dan kedua anaknya. Seluruh urusan rumah tangga diserahkan kepada pekerja di rumahnya yang hanya berjumlah sekitar tiga orang, yaitu tukang masak yang juga merupakan ibuku, aku sebagai jongos, dan seorang tukang kebun. Hidup mereka nyaman-nyaman saja jika aku perhatikan, tidak ada gangguan yang berarti – tidak seperti kami tentunya.

Memang, ketika aku lihat, Tuan Bak yang umurnya sudah cukup tua jarang sekali terlihat marah besar, palingan ia hanya cerewet ketika para pelayannya tidak disiplin, sebagaimana orang Cina biasanya yang suka dengan kerapihan dan kedisiplinan.

“Jangan pernah terlambat datang ketika Tuan Bak membutuhkan kamu atau sekedar hanya ingin melihat kehadiranmu, nak,” ucap ibuku yang bernada seperti petuah ketika memperkenalkan kehidupan baruku sebagai seorang pekerja baru di rumah Tuan Bak.

“Tugasmu di sini tidak terlalu berat, nak. Kamu harus membersihkan sepatu keluarga ini, lalu ketika Tuan Bak berpergian, kamu harus mengantarkan dan membawa barang-barangnya. Mungkin juga ada tugas-tugas tambahan yang kurang ibu tahu, jadi yang penting kamu harus mematuhi satu-satunya peraturan para pekerja di sini, yaitu selalu siap jika dipanggil tuanmu.” 

Bagiku, pekerjaan menjadi jongos yang disiplin adalah pekerjaan yang mudah, meskipun tampak asing bagiku yang berasal dari pedesaan. Setidaknya bila pekerjaan ini tidak dihalangi oleh hari yang buruk dan sesuatu yang berada di luar jangkauanku. 

Namun sayangnya, kota bukanlah barang yang gampang ditaklukkan.

Lambat laun, kehidupanku berjalan dengan semestinya, meskipun beberapa kali harus mendapatkan cemoohan dari keluarga ini yang kemudian aku tanggapi dengan ekspresi biasa saja – tersenyum seperti orang gila. Namun, dalam jiwaku yang lain, sebagai seorang pemuda, aku cenderung dilanda kebosanan, tidak fokus pada pekerjaan dan bahkan ada niatan untuk menenggelamkan diri ke kehidupan kota yang begitu membebaskan bagiku.

Burung yang berkicau dan suara gemerisik pepohonan bukanlah hal yang menyentuhku, karena di tempat asalku, hal semacam itu adalah makanan sehari-hariku. Bagiku, orang-orang yang berlalu-lalang di Prinsenlaan adalah sesuatu yang menarik. Bukan karena cara mereka berjalan maupun pakaian yang mereka kenakan, akan tetapi aku penasaran mengenai tujuan mereka pergi ke kota ini.

Aku benar-benar sangat bosan menghadapi tugas yang sama setiap harinya. Meskipun beberapa kali aku diajak Tuan Bak atau anggota keluarga lain keluar, itupun tidak membuatku merasa bebas layaknya burung yang kesana-kemari tanpa ada kekangan. Begitu banyak tanggung jawab yang diberikan kepadaku, seolah-olah aku adalah mesin yang tidak kenal kata lelah.

Di lain hal, bagiku, hiburan yang kumiliki hanya satu yaitu ketika ibu mengajakku pergi ke pasar setiap hari Minggu untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Kami berdua biasanya berangkat ke pasar dengan berjalan kaki ketika matahari baru saja muncul di ufuk Timur, karena pasar cukup dekat dengan rumah tuan kami. Tampaknya kegiatan ini sangat sederhana, namun sangat berarti bagiku. Setidaknya aku bisa bergerak sebebas mungkin bersama ibuku.

Ketika sampai di pasar, aku selalu melihat banyak sekali orang yang berbeda-beda baik itu secara kebangsaan maupun ras. Dalam kondisi ini–yang sangat berbanding terbalik dengan daerah asalku yaitu Pandeglang, membuat diriku begitu terpana ketika aku diajak ke pasar oleh ibuku untuk pertama kalinya.

Di suatu hari, ketika berjalan pulang dari pasar, aku ingin menyampaikan isi hatiku selama bekerja di rumah Tuan Bak. Ibuku adalah sosok yang tepat untuk mendengarkan keluhanku. Jika beruntung, ibuku dapat menyampaikan keluhanku ke keluarga tuan kami secara lebih halus ataupun setidaknya dapat menyimpan keluhan ini layaknya sebuah rahasia.

Aku pun menyampaikan bahwa nyatanya hidup di kota besar tidak seenak yang kubayangkan selama diriku berada di desa. Sebagai seorang pribumi, aku tidak bisa berbuat lebih, bahkan untuk memperkaya diriku sendiri, toh, aku juga belum mempunyai tanggungan anak dan istri. Namun, gaji yang kudapat tiap bulannya hanya dapat kusimpan sedikit, dan lainnya kukirimkan ke desa. Dalam batinku, aku hanya bisa mengeluh bahwa aku dilahirkan sebagai seorang pribumi yang hanya bisa membaca dan menulis, itupun karena adanya Sekolah Rakyat–sedangkan hidup di kota besar semacam Batavia, membutuhkan lebih dari itu.

“Beginilah nak, hidup kita hingga mati memang ditujukan untuk bekerja dan menerima cemoohan orang yang hidupnya di atas kita. Lebih baik kita hidup semacam ini ketimbang membiarkan keluarga kecil kita di desa mati kelaparan.”

Sebelum aku bisa menyela obrolan ibuku, beliau juga menyampaikan, “Tetaplah kuat di sini, nak. Hanya orang-orang kuat yang bisa bertahan. Ibu pun sebenarnya tidak kuat untuk menghadapi keluarga Tuan Bak, namun mau bagaimana lagi? Uang untuk kembali ke desa pun tidak cukup.”

Aku pun hanya bisa terdiam pasrah dan tak menjawab apa yang telah disampaikan oleh ibuku. Jantungku hanya bisa berdetak lebih cepat daripada biasanya, seolah-olah ingin meledak saat itu juga. Namun, aku ingin menyembunyikan itu dari ibuku yang selalu kukasihi.

Tahun 1930, menjadi tahun penuh petaka bagi keluargaku maupun keluarga Tuan Bak. Krisis benar-benar menjadi di Hindia Belanda. Tuan Bak yang juga merupakan pengusaha dengan jaringan internasional pun harus dibuat takut. Saking takutnya dengan makhluk yang disebut Malaise itu, Tuan Bak menjadi lebih sering marah. Setiap hari aku mendengarnya memarahi para pekerjanya yang melakukan kesalahan sepele. Hal yang ingin membuatku tertawa di dalam hati adalah ketika Tuan Bak marah, maka ia akan mengeluarkan bahasa campuran, kadang Melayu, kadang pula Mandarin.

Tahun ini benar-benar membuat semua orang kebingungan dan sedih. Banyak toko-toko yang kulihat bangkrut dan diambil alih oleh pengusaha lain – kebanyakan dari mereka kemungkinan orang Jepang. Banyak pabrik-pabrik tidak beroperasi kembali, menurut kabar dari orang-orang yang membaca surat kabar. Krisis ini tidak hanya soal ekonomi, namun juga menyoal kehidupan privat. Banyak orang menjadi gila tanpa sebab dan tanpa memandang ras – namun tetap saja yang terbanyak adalah pribumi. 

Bagiku, tahun ini juga malapetaka, karena dengan tiba-tiba ibuku dipecat dengan alasan yang tidak masuk akal–Tuan Bak beralasan bahwa ibuku sudah tidak cocok bekerja menjadi tukang masak karena sudah tua dan tidak bisa menghemat uang yang telah dipercayakan Tuan Bak untuk belanja. Hatiku pun dibuat terkoyak-koyak mendengar kabar tersebut, seolah Tuan Bak membawa kapak dengan mata yang tajam lalu menghujami dadaku. Apalah daya bagiku yang tidak memiliki apa-apa, begitu pula dengan ibuku, kami hanya bisa terdiam merenung terpelanting oleh keadaan. Hati dan pikiranku hanya bisa merasionalkan tindakan Tuan Bak terhadap ibuku, meskipun hati ini seperti sudah menjadi puing-puing. Menurut pemikiranku, pemecatan ibuku adalah upaya keluarga Tuan Bak untuk mengurangi pengeluaran rumah tangga, meskipun ibuku sangat setia dengan keluarga tersebut, dan jelasnya, beliau telah mencoba untuk menyediakan makanan dengan harga yang sudah sangat ditekan di tengah mahalnya bahan pangan.

Ketika aku mengantar ibuku ke Stasiun Tanah Abang, aku merasa bahwa ini adalah momen perpisahan sekaligus pemindahan tanggung jawab untuk menafkahi keluarga yang ada di desa. Di saat itu pula, ibuku berpesan bahwa aku harus tetap kuat dan bertahan di kota yang besar ini, sebagaimana pesannya yang pernah disampaikan dulu.

“Ingat nak, kamu harus tetap kuat. Mungkin diriku tidak bisa mendampingimu, akan tetapi doa-doaku akan terus menyertaimu. Aku pasrahkan kepada Allah untuk semuanya. Hanya Allah yang bisa menjagamu dengan baik, sebab benar apa yang dikatakan Tuan Bak kepada ibu, bahwa ibumu ini sudah cukup tua untuk melakukan pekerjaan yang begitu berat,” ucap ibuku sembari mendekapku erat-erat, dan kelopak mataku sudah dipenuhi dengan air mata.

“Jika tak salah, ketika ibu pergi ke warung sore-sore untuk membeli keperluan makanan, ada sebuah lapangan kecil yang dipenuhi orang-orang bermain sepak bola. Jika hatimu sedih, mungkin bisa ikut bermain di sana,” tambah ibuku setelah mengusap air mata dan melepaskan pelukannya.

Pada akhirnya, ibuku menaiki kereta, dan peluit pun dibunyikan dengan suara yang sangat melengking. Di situlah aku melambaikan tanganku hingga kereta ibuku sudah tak tampak lagi di mataku.

Bagiku, meskipun ibuku hanya beberapa kali mendapat perlakuan yang kasar dari Tuan Bak–terutama soal kedisiplinan dan etika dalam menyajikan makanan, tetap saja itu salah dan membuatku penuh dengan amarah di dalam hatiku. Rasa murka dan dendam tidak hanya dipupuk melalui kejadian pemecatan ibuku, namun juga berkurangnya gaji bulananku, karena menurut keluarga Tuan Bak, pekerjaanku tidak terlalu berat. Hal itu membuatku menjadi semakin pendiam karena pikiranku dipenuhi dengan banyak urusan.

Ketika aku mendapati bahwa aku tidak memiliki tugas–biasanya di saat matahari akan terbenam, dan saat itu pula aku sedang merasa sedih, aku pun mampir ke lapangan yang disebutkan oleh ibuku untuk melihat-lihat pertandingan sepak bola yang sedang berlangsung. Jarak antara rumah Tuan Bak dengan lapangan itu mungkin cuma sekitar satu kilometer. Setidaknya, dengan adanya kegiatan semacam ini, aku menjadi tidak terlalu sedih, karena ketika ibuku masih bekerja bersamaku, waktu-waktu senggangku kubuat untuk berbicara dengan ibuku dan kadang dengan tukang kebun juga di belakang rumah Tuan Bak.

Untuk menjalani kesenangan baruku itu aku selalu menyuruh tukang kebunku mengabari jika misalnya keluarga Tuan Bak mencariku. Memang, resiko yang kuambil sangatlah besar, namun tampaknya keluarga Tuan Bak – maksudku hanya Nyonya Bak saja – terkadang cukup mengerti posisi diriku lebih baik ketimbang Tuan Bak sendiri terutama semenjak ibuku dipecat olehnya.

Seiring berjalannya waktu, aku tidak hanya menonton pertandingan sepak bola dari kejauhan, namun juga ikut bermain. Aku mendengar kabar, bahwasanya olahraga sepak bola saat ini tidak hanya dimiliki oleh orang Eropa namun juga orang-orang pribumi, bahkan juga tokoh-tokoh pergerakan pribumi tersohor. Aku menyukai olahraga ini, karena aku merasakan kebebasan sementara dan setidaknya dengan sepak bola, aku bisa mengeluarkan emosiku secara perlahan. Di lapangan ini juga aku biasanya mendengar kabar soal kondisi Hindia Belanda maupun dunia dari beberapa orang yang sering membaca surat kabar.

Salah satu kabar yang pernah kudengar di lapangan adalah adanya perang besar yang akan terjadi lagi di Eropa. Gejala-gejala perang besar tersebut kelihatannya sudah dipantik, dan salah satunya adalah desas-desus mengenai bersitegangnya hubungan antara China dengan Jepang. Bagiku, kabar ini sangat tidak penting dan aku pun bersikap acuh dengan terus bermain bola, meskipun ada salah seorang pembaca surat kabar yang memprediksi bahwa perang besar ini nantinya juga akan mengakhiri kekuasaan Belanda di Indonesia.

Sayangnya, rasa kasian yang terpancar dari Nyonya Bak tidak berlangsung lama, dan di saat itu pula, rasa dendamku tak bisa diredam lagi. Kala itu matahari akan padam di ufuk Barat, tiba-tiba tukang kebun memanggilku cukup keras di lapangan, dengan wajah yang cukup khawatir, ia memberitahuku.

“Moesa!! Ayo cepat pulang, Tuan Bak menunggumu dengan wajah yang garang! Tampaknya dia tidak main-main, karena Nyonya Bak bersama kedua putrinya sedang berada di luar.”

“Tidak biasanya seperti ini…,” ucapku dengan membenarkan pakaianku yang begitu lusuh.

Kami berdua pun lari sekencang mungkin layaknya lomba lari. Dalam diriku, ada semacam firasat bahwa aku akan dipecat tanpa ada pertimbangan yang matang dari anggota keluarga yang lain. Hatiku pun hanya bisa meneguhkan diriku untuk menerima segala hal yang akan terjadi nanti di rumah – setidaknya aku harus teguh bahwa aku tidak akan dipecat oleh Tuan Bak dengan alasan bahwa tanggunganku yang begitu banyak.

Sesampainya di kediaman Tuan Bak, keteguhanku luruh semuanya. Kedatanganku disambut dengan wajah yang masam tak mengenakkan. Kumisnya yang berwarna hitam dan putih tak beraturan menghunus tajam ke bawah bersama bibirnya yang agak pucat seolah menggambarkan suasana hatinya yang dipenuhi amarah. Tatapannya tidak dapat dihindari dan bola matanya terus mengikuti arahku berjalan.

Ketika aku sampai di hadapannya, aku benar-benar tidak siap menghadapi kemarahannya– meskipun bahasanya aneh yang kadang membuatku tertawa.

“Hei! Dirimu dari mana saja?! Bukannya bekerja malah main saja! Jangan kira aku tidak melihatnya ya! Saban sore, lu orang pergi ke lapangan untuk main bola kan?!” ucap Tuan Bak dengan kasar dan dipenuhi amarah.

Aku pun hanya bisa tertunduk, karena setiap pertanyaan yang tertuju padaku sudah terjawab dengan sendirinya. Dalam hati, aku hanya bisa menyumpahi Tuan Bak dan kebodohanku sendiri karena terlalu terlena dengan duniaku sendiri, dunia yang kutemukan di kehidupanku menjadi jongos. Di waktu yang bersamaan, aku berharap bahwa keluarga Tuan Bak yang lain datang sekarang agar tahu perilaku Tuan Bak yang kejam kepadaku, namun tampaknya itu mustahil.

“Tatap mataku!” ucap Tuan Bak sembari mengangkat kepalaku dengan begitu keras. “Kemasi barang-barangmu sekarang! Aku sudah tidak membutuhkanmu lagi, dirimu kupecat sekarang juga!”

Aku hanya bisa terdiam tanpa pandangan, sedangkan Tuan Bak langsung pergi ke kamarnya sambil mengoceh dalam bahasa Mandarin. Kejadian ini tampak tidak masuk akal. Sudah bertahun-tahun aku mengabdi padanya, namun sekarang aku dipecat dengan cepat, bahkan pemecatanku pun tidak lebih dari lima menit. Apakah aku berbuat salah? Atau apakah aku seorang pribumi yang kelewat batas dan tidak mengerti diberi untung?

Aku pun duduk di depan beranda depan rumah tuan Bak. Di situ, aku hanya teringat sosok ibu dan keluargaku yang ada di desa. Betapa kecewanya mereka melihat diriku yang telah menyia-nyiakan kesempatan di kota besar. Begitu malunya aku nantinya, ketika aku kembali ke desa, karena tidak membawa banyak uang. Jika pun aku tetap ingin menaklukkan Batavia, apakah aku bisa mendapat pekerjaan yang lain? Yang setidaknya bisa membuatku pulang ke desa atau setidaknya dapat menghidupi diriku ketika ada di kota yang tidak pernah berhenti bergerak ini. Kepalaku penuh dengan pikiran. Aku kebingungan. “Apa yang harus kulakukan sekarang?”

Ketika malam tiba, aku sudah selesai mengemasi barang-barangku, sedangkan keluarga tuan Bak sedang asyik makan malam. Aku pun menghiraukan mereka, lalu langsung keluar dari rumah itu untuk mencari kesenangan yang terakhir kalinya. Aku pun menyusuri jalan Prinsenlaan, dengan tatapan kosong. Tak lama kemudian, tatapanku terpecah karena suara yang gaduh. Ternyata itu adalah suara para gelandangan yang sedang asyik minum-minum dan bermain judi di pinggiran jalan. Begitu gembiranya mereka, meskipun tidak memiliki uang sepeser pun, dan sudah jelas di mataku bahwa mereka adalah gambaranku nantinya.

Aku pun menghampiri mereka dan bertanya tempat mereka mendapatkan minuman haram itu. Mereka pun memberiku arah dan bahkan salah satu dari mereka mengantarkanku ke tempat penjual arak. Sesampainya aku di sana, aku hanya melihat rumah yang terbuat dari bambu dan hanya disinari cahaya lampu minyak, akan tetapi saat aku masuk ke dalamnya, aku melihat dunia yang begitu lain. Orang-orang minum arak tak menghiraukan siapa yang datang dan pergi – yang mereka takutkan hanyalah polisi, pakaian mereka compang-camping tak karuan, dan hanya tawa yang terdengar di rumah reyot itu. Aku pun membeli beberapa arak saat itu untuk kuminum sendiri dan untuk kuberikan kepada gelandangan yang sudah menunjukkan jalan ke dunia yang lain ini. Gelandangan itu langsung pergi ke kawanannya tadi dan meninggalkanku sendirian.

Di saat aku sudah membeli arak itu, aku menenggak arak tersebut dengan berlebihan. Aku pun mulai tak bisa mengontrol diriku. Tiba-tiba tertawa dengan keras, tiba-tiba terdiam. Ketika aku sudah tidak bisa membedakan mana pikiranku dan mana duniaku sekarang, aku pun terasa sedang dibisiki seseorang. Ia ingin aku menghabisi seluruh keluarga Lauw Soen Bak yang terhormat itu, tak peduli berapa yang harus dibayar nantinya. Di sini, di tempat penjualan arak ini, aku tidak bisa membedakan mana yang baik dan buruk seolah-olah semuanya sama dan hanya mereka yang merenggut kebebasan seseorang, yang patut untuk dibunuh. Aku pun merasa bahwa membunuh keluarga Bak adalah konsekuensi yang logis setelah apa yang mereka perbuat kepada kami. Apakah pikiranku terlalu pendek karena aku sedang meminum arak? Tentu tidak, bagiku tuan haram jadah itu patut menerima itu, karena ia dengan santainya dapat menghancurkan hidup seseorang yang menjadi tumpuan hidup keluarganya di desa di tengah krisis.

Ketika uangku sudah habis untuk membeli arak dan rokok, aku pun bergegas balik ke rumah keluarga Bak. 

Sesampainya di sana, aku pun berjalan secara sembunyi-sembunyi dan langkahku yang sempoyongan membawaku ke belakang rumah. Aku pun juga mengambil sebuah linggis milik tukang kebun, yang nantinya kugunakan untuk membunuh keluarga kejam itu ketika fajar tiba.

Linggis itu kusembunyikan di bawah kasurku. Lalu, aku pun mengambil secarik kertas dan menggambar sebuah gambar yang berbicara bahwa aku akan memotong kemaluanku ketika aku berhasil membunuh si Bak, lalu kemaluanku itu aku kummasukkan ke dalam mulut orang itu agar ia mati dengan begitu menjijikkan. Kemudian, dibalik gambaranku yang alakadarnya itu, aku menulis sebuah catatan kecil yang juga berupa janji yang berbunyi:

“Jika misalnya nanti perang antara Jepang dan China benar-benar terjadi, aku akan mendukung Jepang dengan sepenuh ragaku. Namun sebelum itu terjadi, aku ingin mendahului Jepang dalam urusan membasmi keluarga Cina totok yang pernah menjadi majikanku ini!”

Setelah aku selesai dengan semuanya, kertas itupun kumasukkan di saku, lalu aku pun membaringkan badanku ke kasur yang berada di lantai namun mataku tidak menginginkanku tidur karena hari yang membanggakan itu ingin kunantikan setiap detiknya.

Jam berdentang menunjukkan pukul 5 pagi. Aku pun melancarkan aksiku. Mereka masih tertidur dan tidak mengetahui niatku. Aku pun mendatangi kamar Bak bersama istrinya dengan membawa linggis dan bantal dari kamarku. Setelah sampai di dalam kamar, aku pun mengunci kamar itu, agar sang istri tidak bisa kabur.

Aku melihat mereka mendengkur tipis, sang iblis benar-benar pulas sesudah ia memecatku dari rumah ini, seolah tak ada beban pikiran. Dengan cepat aku pun menutupi wajahnya dengan bantal dan aku menaiki badannya dengan kasar agar ia bisa mati lebih cepat. Tanganku menutup wajahnya dengan kuat agar tidak ada celah udara. Kakinya pun bergerak layaknya bayi yang baru saja dilahirkan. Apakah ini yang dinamakan fase hidup, dilahirkan lalu dimatikan dengan pola yang sama? Merengek-rengek ketika lahir di dunia yang tak pernah ia inginkan, dan merengek-rengek kesakitan ketika dicabut nyawanya, karena ia tidak pernah berbuat baik di dunia yang tak pernah mereka dambakan. Ia pun mati dengan cepat, kakinya tidak bergerak lagi, lunglai, dan perutnya yang berada di pantatku juga tidak kembang-kempis lagi.

Gara-gara ulah si Bak, istrinya pun terbangun ketakutan. Ia pun juga tidak punya daya untuk melakukan sesuatu, selain menatap suaminya yang tak berdaya sama sekali menghadapiku. Ketika Bak mati, ia pun berteriak namaku dan suaminya hingga suaranya menjadi serak. Teriakan itu pun menggangguku, karena dengan teriakan itu akhirnya membuat dua anaknya yang berada di kamar sebelah terbangun seketika dan akhirnya menggedor-gedor pintu kamar orang tuanya. Dengan cepat dan panik, aku mengambil linggisku yang sudah kutaruh di pinggiran kasur. Aku pun menghantamkan mata linggis yang tajam ke kepalanya dengan keras. Darah bercucuran cukup deras, linggisku berlumuran darah. Ia memang tidak mati, akhirnya akupun menghujamkan linggis itu beberapa kali ke kepalanya, hingga ada beberapa bagian kepalanya yang terkelupas dan hidungnya sudah tidak karuan bentuknya.

Setelah puas, aku pun dengan langkah yang pelan, berjalan menuju ke pintu, dan anaknya masih menggedor-gedor pintunya. Aku membuka pintu itu perlahan, lalu mengamuk lagi. Kali ini aku mendaratkan linggisku beberapa kali ke tubuh gadis tertua keluarga bak yang berada di depan pintu pas, hingga sang gadis terkapar di lantai.

Sementara itu, anak gadis yang lain berlari ke depan rumah lalu berteriak minta tolong. Tentu, ini gawat bagiku. Aku pun meninggalkan linggisku di lantai, lalu melihat barang yang ada di rumah itu, yang setidaknya dapat menciderai gadis itu. Dengan tak sadar, aku melihat senapan parabellim laras ganda yang dipajang di lorong utama rumah itu. Aku pun mengambilnya lalu aku juga teringat bahwa laci di bawah senapan yang tergantung itu ada beberapa peluru. Aku pun membuka laci dan meraup peluru sebisaku. Lantas setelah itu berjalan keluar sembari mengisi beberapa peluru ke dalam senapan itu.

Gadis itu hanya bisa berteriak lebih lantang, sembari dilihat banyak orang yang lalu lalang. Mungkin bagi beberapa orang, gadis tersebut hanya dianggap sebagai orang gila yang biasa melewati jalan Prinsenlaan karena memang gadis itu berpakaian tidak karuan. Aku pun sudah berada di depan pintu masuk rumah. Gadis itu hanya melihatiku sambil berteriak bahwa aku sudah gila.

Entah kenapa, aku merasa sangat mumpuni untuk menembak kepalanya, namun nampaknya aku tidak kuat untuk melihatnya mati seketika, akhirnya aku pun membidik kakinya. Aku pun menarik pelatuk senapan, dan alhasil tepat sasaran. Suara tembakan itu membuat orang-orang yang ada di situ berhenti seketika, lalu memandangiku dengan rasa penasaran dan tanpa bertindak apapun. Bagi mereka, senapan adalah sesuatu yang membahayakan hidup mereka.

Suara tembakan bersama erangan sang gadis itu mengundang lebih banyak orang ke depan rumah Lauw Soen Bak. Seorang polisi dengan sepedanya pun bergegas membuang sepedanya lalu mencoba untuk menenangkanku. Ia mendekat ke arahku bersama beberapa warga di belakangnya yang sedari awal masih berada di beranda rumah Bak dan dengan memasang raut muka panik. Ketika sang polisi, sudah berada dalam jangkauanku, aku pun langsung menembak tak beraturan ke arah polisi itu. Sang polisi pun tertembak di bagian perut, dan warga yang berada di belakangnya pun tiarap, karena takut terkena tembakan.

Aku yang sudah panik dan sudah tak kuasa untuk menembak, akhirnya tak bisa berbuat apa-apa ketika warga mendekatiku. Aku pun mengarahkan senapan itu ke bawah kepalaku. Beberapa warga berteriak bahwa bunuh diri tidak akan menyelesaikan apapun, namun bagiku ucapan itu sangat konyol dan menurutku bunuh diri adalah hal yang tepat untuk saat ini. Pada akhirnya, dengan gemetar dan mengarahkan senapan itu ke kepala dengan mantap.

Sayangnya, sebelum menarik pelatuk itu, aku sudah tergeletak pingsan tak berdaya karena panik. Perjalananku terhenti di jam enam pagi tanggal 23 Oktober 1931. Aku telah membunuh dua orang, dan melukai tiga orang. Pencapaian yang biasa bagi drama amok yang sering terjadi di era krisis ini.


Penyelaras aksara: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Tropenmuseum / Museum of World Cultures (Collectie Tillema)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Dua Film 'Dune': Eksplorasi Persoalan Takdir hingga Agama adalah Candu

Next Article

Anti-Tur dan Demiliterisasi: Membongkar Monumen, Melawan Kekerasan Epistemik

Related Posts