Benang-benang Agnes Christina: The Art of Being Minority

Mendengar cerita dibalik karya-karya Agnes Christina yang ditampilkan dalam pagelaran Biennale Jogja XVI Equator #6 2021.


“What do you want to be when you grow up?”
“I want to be the majority.”

Demikian dialog antara ibu dan anaknya yang sedang ia susui. Dialog tersebut terajut melalui warna-warni benang pada sebidang kain putih. Seniman di balik karya itu ialah Agnes Christina—seorang seniman multidisipliner yang begitu tertarik pada percakapan mengenai identitas dan kampung halaman, sejarah, tubuh, serta feminisme.

Gerak dinamis Agnes dari karya pertunjukan, sastra, dan seni rupa membawanya ke rangkaian perhelatan akbar Biennale Jogja XVI Equator #6 2021. Menanggapi tema Hacking Domesticity, karya Agnes Christina dipamerkan di dua tempat berbeda antara lain Indie Art House dan Museum dan Tanah Liat (MdTL).

“Karya, kalau cuma based on research nggak ada personal soul-nya, kayak empty gitu gak sih?” Sebuah tanya sekaligus pernyataan dari Agnes ketika diwawancara Sudut Kantin Project di MdTL, Senin, (25/10). Sore itu di kedai kopi depan MdTL, Agnes pun menceritakan perjalananannya.

Sebagai seorang yang lahir dari keluarga Tionghoa, Agnes senang betul hidup bertetangga dengan segala tradisi yang ada. Seperti saat Agnes kecil, ketika  Imlek dan lebaran menjadi ajang barter masakan antara keluarga Agnes dan keluarga-keluarga di sekitarnya. Dengan antusias, ia dan kakak-kakaknya mengantarkan masakan ibunya ke rumah kawan di samping rumah. Setelah kenyang melahap ketupat atau siu mie, Agnes dan kawannya bermain bulu tangkis tanpa menghiraukan peringatan “Habis makan, awas muntah!”.

“Staycation” karya Agnes Christina (dok. Biennale Jogja)

Hingga suatu waktu di tahun 1998 yang ‘merah’ mulai menghitamkan keceriaan tersebut.

Agnes yang masih duduk di bangku kelas 5 SD teringat betul hari-hari ketika Hotel Borobudur, Jakarta menjadi tempat perlindungan dirinya dan sekeluarga. Di luar hotel, kerusuhan mengharu-biru Jakarta. Rumah-rumah peranakan Tionghoa dijarah, ratusan perempuan diperkosa, keluarga cerai-berai.

Pasca kerusuhan, Agnes dan tetangganya di Jakarta Barat, masih kerap bertukar makanan ketika hari raya. Akan tetapi, para tetangga mulai segan melangkah masuk ke rumah Agnes. Begitupun keluarganya juga segan membukakan pintu rumah bagi mereka. Sebab rentetan perasaan cemas membayangi kehidupan bertetangga, juga Agnes, secara mendadak dan berkelanjutan membekas di benak masing-masing.

Beberapa tahun terlewati. Perlahan Agnes tumbuh dalam bayang-bayang orang tua, yang ‘atas nama cinta’, berupaya menutupi matanya dari peristiwa traumatik tahun berdarah ‘98. Uang simpanan menjadi security blanket yang mengamankan Agnes dari dunia sekitarnya yang merah-amarah.

Meski begitu, keresahan selalu menemukan jalan untuk keluar.

Kali peristiwa di lampu merah, sesosok badut mampang menyembul di depan mata Agnes. Ia tetiba berada di antara perasaan jengah dan iba. Agnes lantas menyelipkan selembar uang ke tangan badut yang tengah berjoget itu. Badut Mampang pun berlalu. Lucunya, Agnes tak dapat memalingkan matanya. Setiap anggukan kepala kuning dan kedipan mata sipit si Badut Mampang merekahkan kepingan ingatan kecil di benak Agnes. “Inilah gambaran peranakan Tionghoa di Indonesia. Orang-orang memandang jijik, terpesona, sekaligus penasaran,” aku Agnes.

“I Want to be the Majority” karya Agnes Christina (dok. Biennale Jogja)

Peristiwa itu menciptakan karakter yang kemudian terajut pada sebidang kain. Karakter badut Mampang itu berusaha menyuarakan keresahan Agnes atas stereotip peranakan Tionghoa di Indonesia.

Karya berjudul “Staycation” tersebut banyak bicara tentang objektifikasi yang membuat resah peranakan Tionghoa di Indonesia dan menyebabkan mereka menutup diri terhadap lingkungan sekitarnya.

Gaung boneka mampang Agnes terdengar sampai ke Alia Swastika, kurator pameran di Indie Art House dan MdTL. Melalui pertemuan para kurator, Alia melihat urgensi untuk mempertemukan karya Agnes dengan karya para seniman dari Thailand, Korea Selatan, dan Kamboja agar dapat saling belajar dari sejarah dan pengalaman perempuan dalam konteks kebudayaan yang berbeda.

Tujuh seniman yang menemani karya Agnes berasal dari Indonesia, Kamboja, Thailand, dan Korea Selatan mempresentasikan bagaimana mereka melihat konteks sejarah dari masing-masing ruang di mana mereka hidup dan tumbuh serta melihat ulang wacana antroposen dalam konteks pandemi dan gagasan kebertahanan.

Dengan meretas ruang domestik, mereka membangun strategi melawan yang mapan dan dominan dalam status quo. Ruang domestik tersebut tak hanya mengarah pada yang personal, tetapi juga dalam konteks batasan wilayah, kota, negara, atau imajinasi geopolitik.

Ketika ditanya apakah benang-benangnya yang kini terpajang di Museum dan Tanah Liat (MdTL) dan Indie Art House dapat merajut toleransi antara peranakan Tionghoa-Indonesia dengan masyarakat di sekitarnya, Agnes menjawab, “Aduh, aku ngomong nanti di-apa-apain gak ya?”

Sontak, kami pun tertawa.

 

Editor: Andreas Yuda Pramono
Foto: Biennale Jogja

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts