Pengalaman Hidup Midah Simanis Bergigi Emas | Ulasan Novel karya Pramoedya Ananta Toer

Novel dengan cerita yang mudah dipahami dari karya novelis ternama Pramoedya Ananta Toer adalah Midah Simanis Bergigi Emas. Sebuah novel yang dapat mengajak pembaca utuk berkontemplasi pada realita kehidupannya dari keluarga sampai menemukan makna dalam hidup atas pilihan yang diambil. 

Buku ini diterbitkan oleh Lentera Dipantara pada tahun 2003. Pada tahun 2015, buku ini sudah sampai pada cetakan ke-9. Buku ini tipis. Ketipisannya itu hanya berisi 138 halaman. Berbeda dengan karya Pram yang pada umumnya. Buku Midah Simanis Bergigi Emas ini masih dapat pembaca temuka di toko buku pada umumnya, namun jumlah eksemplar sudah menipis.

Buku ini menceritakan seorang bernama Midah. Ia adalah anak tunggal perempuan keturunan seorang haji. Hadji Abdul itulah namanya. Hadji Abdul adalah seorang yang sangat fanatik terhadap agama Islam dan hal-hal yang berbau ketimurtengahan. Dalam naungan kasih orang tuanya itu, Midah merasakan kenyamanan dan keharmonisan yang sangat terasa langsung pada dirinya. Ia menjadi anak yang sangat manja. Ia selalu dipangku-pangku. 

Keadaan keluarganya berubah saat kehadiran adik-adiknya di tengah keluarga yang sudah harmonis. Hadji Abdul ingin sekali memiliki anak laki-laki. Ia sampai bernasar bahwa akan mengorbankan segala hal yang ada hanya demi mendapatkan anak laki-laki. Namun, keinginan itu tidak diindahkan oleh Yang Kuasa. Hadji Abdul mendapat keturunan peremupuan terus-menerus hingga pada keturuan yang ketiga, ia medapatkan anak laki-laki, kembar pula. Setahun kemudian ia medapatkan anak perempuan lagi dan begitulah terus-menerus siklusnya.

Kehadiran adik-adiknya sangat mengubah kondisi keluarganya. Midah mulai tidak mendapat perhatian seperti sebelum ada adik-adiknya. Hingga jatuh pada waktunya, Midah sakit. Ia tidak banyak mendapat perhatian dari kedua orang tuanya karena mereka sangat asyik dengan keempat adik Midah. Akibatnya, ia harus mendengarkan gramophone sendirian.

Kehidupanya berubah saat ia bertemu dengan kelompok keroncong yang selalu berputar di desa Duri. Ia ikuti pengamen itu kemanapun pengamen ini bernyanyi. Namun, dampak pergaulannya dengan para pengamen itu membuat Hadji Abdul marah-marah saat Midah memutar lagu kerocong itu di rumah. Lagu itu dianggap haram. 

Kaburnya Midah dari rumah bukan hanya karena lagu haram itu, namun ia dipaksa Hadji Abdul untuk menikah dengan Hadji Terbus dari Cibatok. Naas, pernikahan paksa itu telah memberikan kehidupan dalam rahim Midah.

Namun, ia kabur ke rumah mantan pembantunya bernama Riah yang ada di Jakarta secara diam-diam dalam keadaan mengandung. Di sana, ia tidak menjadi anak yang manja, namun ia seolah-olah menjadi penumpang tempat tinggal. Ia juga membantu Riah beberes rumah yang ia tumpangi. Midah menyimpan rasa sakit hati terhadap bapaknya karena piringan hitam yang sudah tak bisa dijadikan satu lagi.

Ia tidak tinggal menetap di rumah Riah. Dalam kondisi perutnya yang bunting, ia bertekad untuk menemukan kembali rombongan kerocong atau paguyuban yang sejiwa dengannya. Hingga akhirnya, ia menemukan rombongan keroncong itu di Senen. Bersama rombongan itu berkembanglah kehidupan dalam rahim Midah. Semakin hari semakin besar hingga kehidupan dalam rahim itu harus dicarikan bapak yang cocok untuk kandungannya dan ibunya.

Maka, dipilihlah Min sebagai bapak. Namun, semakin berkembangnya kandungan, ia semakin naik daun. Ia menjadi penyanyi di radio. Kehidupannya di pergumulan bebas itu membawanya pada kejatuhan diri. Kejatuhan dirinya juga berdampak pada orang tuanya. Orang tua Midah mencari keberadaan anak perempuan itu di jejak-jejak langkah perjalanannya. 

Seiring berjalannya waktu, Midah bertemu Ahmad di sebuah depot. Ahmad adalah seorang polisi lalu lintas. Dialah yang membawa Midah naik daun dan bisa masuk di siaran radio. Namun, Ahmad lelaki yang baik. Ia tidak hanya memperdayakan Midah begitu saja, namun Ahmad juga mengambil hak asuh Djali, anak Midah dengan Hadji Terbus. Kehidupan mereka pecah karena Djali hilang dari rumahnya dan karena ancaman nyonya rumah itu.

Karena Djali, ia harus kembali ke rumahnya untuk memastikan kondisi buah hatinya. Kekuatan dalam rumah itu memberikan sebuah perubahan pola pikir baru dalam diri Midah. Ia titipkan Djali  diasuh neneknya dan ia kembali kepada Ahmad. Kembalinya kepada Ahmad membuat Midah “Simanis Bergigi Emas” menjadi lebih terkenal dan mendunia di kalangan hartawan bangsa-bangsa. 

Midah adalah tokoh yang Pram jadikan sebagai tokoh utama dalam novel ini. Midah diceritakan sebagai seorang perempuan cantik yang hidup dalam kehidupan keluarga yang fanatik. 

“Keyakinan pada Tuhanlah yang menyediakan jalan-jalan tegas dan menuju ke arah yang pasti bagi Hadji Abdul.” hal. 11

Midah adalah perempuan cantik yang memiliki prinsip atas hidupnya dan ia adalah orang yang berani. Berani melawan keyataan dengan kabur dari rumahnya dan berani bertanggug jawab atas disposisi yang ia ambil. Karena pilihan atas disposisi itu, ia mendapatkan berbagai pengalaman yang semakin memperkaya hidupnya sehingga semakin menjadi berprinsip dan berani mengambil keputusan yang bulat.

“Waktu ia tak sanggup lagi menanggung segalanya, dengan diam-diam ia kembali ke Jakarta.” hal 21

“Dan untuk engkau katanya kepada makhluk yang bersanggar di bawah jantungnya, segala-galanya tersedia untuk memilih sendiri yang kaukehendaki.” hal. 26

“Yang tersuarakan oleh hatinya kini adalah lagu yang bernafaskan kebebasan dan keberuntungan.” hal. 77

“Mempunyai pendirian sendiri adalah berhadapan dengan pendapat umum. Bertambah kuat pendirian seorang, bertambah banyak ia memanggil penentang.” hal. 121

Novel Midah Simanis Bergigi Emas karya Pramoedya Ananta Toer ini memberi padangan kepada kita soal prinsip hidup. Bahwa prinsip hidup itu dibentuk dari berbagai pengalaman yang pernah terjadi dalam kehidupan seseorang. Rumahlah yang pertama kali membentuknya. Saat mulai meninggalkan rumah, rumah tak akan melepas segala kenangan yang ada hingga saat kepulangan itu hadir prinsip hidupmu akan kembali bertenaga untuk menghidupi kehidupan saat kembali harus keluar dari rumah lagi.

 

Editor: Arlingga Hari Nugroho

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Kita Butuh Yang Namanya Teman

Next Article

The Science of Fictions: Siman Si “Saksi Bisu” Sejarah