Di tengah kembali dibukanya bioskop, film The Science of Fictions yang disutradarai oleh Yosep Anggi Noen ini sayang untuk dilewatkan. Setelah sukses dengan Istirahatlah Kata-kata film tentang aktivis Wiji Thukul yang dibungkam Rezim Soeharto, kini The Science of Fictions atau dalam versi Indonesia menjadi Hiruk-Pikuk si-Alkisah akhirnya resmi dirilis di Indonesia. Lagi-lagi film ini tidak “sehiruk-pikuk” itu.
Bercerita tentang karakter Siman yang melihat proses syuting pendaratan manusia di bulan oleh orang-orang asing di sebuah gumuk pasir. Layaknya konspirasi pendaratan Apollo 11, lidah Siman dipotong agar tidak menyebarkan rahasia kebohongan tersebut. Latar tahun di film ini diceritakan pada tahun 60-an, mendekati klaim pendaratan manusia pertama di bulan pada tahun 1969. Entah unsur ini merupakan bagian dari kejadian yang ingin diceritakan atau hanya unsur simbolis dari kejadian sebenarnya.
Siman yang sudah tidak bisa berbicara menyampaikan kepada masyarakat melalui gerakannya yang seolah-olah adalah seorang astronot. Itu untuk menunjukan kebenaran kejadian yang ia lihat. Tentu tingkah Siman hanya dipandang sebelah mata dan menjadi bahan tertawaan karena dianggap gila. Tingkah Siman kerap hanya menjadi bahan hiburan.
Siman berhasil diperankan secara ciamik oleh Gunawan Maryanto. Ia berhasil menjadi karakter yang saya percayai adalah Siman, bukan Gunawan Maryanto atau Wiji Thukul yang ia perankan sebelumnya. Pantaslah ia dihadiahi Piala Citra Festival Film Indonesia (FFI) 2020 sebagai Aktor Terbaik dengan akting tanpa dialognya. Ia berhasil menyentil tentang kebohongan dengan kebohongan itu sendiri.
Film ini diawali dengan warnanya yang hitam putih sehingga saya pikir adalah kejadian masa lalu, tetapi setelah melihat keseluruhan film, saya tidak yakin itu kejadian lampau. Tempo dan kejadian-kejadian yang terjadi ketika film secara harafiah memang berwarna dan hitam putih, sepertinya memiliki garis waktu yang sama.
Penceritaan dalam film ini disajikan secara tidak linear alias mboh maksudnya apa. Dari suatu kejadian ke kejadian lainya, tidak ada rentetan kejadian yang jelas. Hanya simbol-simbol yang harus kita terka maksudnya.
The Science of Fictions dapat disaksikan di bioskop beberapa kota di Indonesia mulai tanggal 10 Desember 2020 kemarin dan semoga akan terus bertambah layarnya. Sebelum diputar secara resmi di Indonesia, film ini tayang perdana di Locarno Film Festival 2019. Beberapa perhargaan juga didapat seperti Special Mention, Locarno Film Festival 2019; Asian Cinema Observer Recommendation Award, Taipei Golden Horse Film Festival 2019; Silver Hanoman Award, Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2019; Sutradara Pilihan Tempo (Yosep Anggi Noen) dan Aktor Pilihan Tempo (Gunawan Maryanto), Film Pilihan Tempo 2019 dan yang terbaru Aktor Terbaik (Gunawan Maryanto), Festival Film Indonesia 2020.
Film ini sukses membuat saya kembali ke bioskop dan mengerutkan dahi. Apa yang sebenarnya ingin disampaikan Yosep Anggi Noen lewat film ini? Soekarno, PKI, tahun 60-an dan unsur kedaerahan lainnnya yang diselipkan, membuat saya merasa harus membaca literasi fakta sejarah lebih banyak lagi. Apakah banyak sejarah di negeri ini yang dibisukan sehingga ketika terdengar hanya seperti science fiction?
Editor: Agustinus Rangga Respati