Akhir-akhir ini saya sedang senang tak kepalang lantaran menemukan satu band baru yang lagunya bisa diputar berulang-ulang. Bak mengalami eargasm, lagu-lagu band ini saya putar bergiliran dari satu trek ke trek lain, dari satu video klip ke video lainnya, dan seterusnya demi memuaskan nafsu telinga saya.
Sebagai seseorang yang hampir saban harinya mendengarkan musik, menemukan lagu atau bahkan band baru yang menyenangkan ketika didengar rasanya seperti menemukan oase di tengah padang pasir. Hal ini terjadi pada penemuan saya terhadap band asal Jatiwangi, Majalengka. LAIR namanya!
Di tengah suntuk pekerjaan kantor, saya iseng melipir sebentar ke YouTube, membuka playlist lagu yang entah keberapa kalinya sudah didengarkan. Di akhir rangkaian daftar tersebut YouTube lantas memberikan rekomendasi video berikutnya untuk diputar. Sebuah video dari channel KEXP dengan thumbnail mas-mas gondrong berkacamata.
Ada dua hal yang muncul dipikiran saya seketika. Pertama, bagi saya KEXP punya andil besar dalam menambah khazanah permusikan saya, band seperti The Drums, Squid, dan Los Bitchos pertama kali saya tahu dan dengar dari KEXP. Tak perlu menunggu lama telinga saya jatuh cinta untuk kemudian lagu-lagu tersebut masuk ke dalam daftar favorit saya. Pikiran kedua, mas-mas gondrong berkacamata ini saya pikir orang Amerika Latin yang nampil di KEXP dengan musik-musik experimental.
Tapi, persetan dengan dua pikiran sekelebat saya. Sebab YouTube sudah keburu memutar video dengan thumbnail mas-mas gondrong berkacamata—yang saya baru tahu kalau beliau adalah Tedi gitaris en vokal LAIR. Teruntuk YouTube yang membawa saya kepada LAIR, aku padamu, love sekebon!
Lirik Menarik, Penampilan Eksentrik, dan Pertunjukan yang Apik
Lair and Monica Hapsari- Full Performance (Live on KEXP), lagu pertama yang diputar berjudul Tatalu. Kesan pertama mendengarkannya seperti musik barongsai yang kental dengan gebukan tambur dan cymbal. Awalnya saya belum ngeh kalau ini band asal Indonesia, sampai saya sadar setelah melihat pemain bass band LAIR menggunakan rompi proyek, ditambah dengan nama-nama orang Indonesia yang ada di deskripsi konten YouTube ini.
Gokil!!! Ada band Indonesia main di Amerika pakai rompi oranye proyek. Full 27 menit selanjutnya mata saya mantengin sampai rampung penampilan LAIR di KEXP. Lupa kalau saya sedang kerja—maaf ya Pak, setengah jam doang kok.
LAIR dan sang kolaborator Monica Hapsari tampil di KEXP, Seatle, Washington, membawakan empat lagu dari album terbarunya “Ngelar” yaitu Tatalu, Pesta Rakyat Pabrik Gula, Bangkai Belantara, dan lagu lama Nalar. Saya merasa empat lagu yang dibawakan kental akan musik dan narasi akar rumput dari band tersebut berasal Jatiwangi, Majalengka. Dari info yang saya cari, penampilan mereka di KEXP merupakan rangkaian perjalanannya di Amerika setelah manggung di festival SXSW Austin, Texas.
Memang sudah saatnya dunia tahu kalau Indonesia bukan hanya punya budaya yang kaya, tetapi demikian pula dengan musiknya. Musik-musik khas pantura ‘tarling’ yang dominan di lagu LAIR ini seolah seperti ingin merepresentasikan eksistensi kampung halamannya.
Saya sendiri awalnya bingung mengira-ngira genre apa sebenernya yang dibawakan. Seperti psychedelic, tapi musik psychedelic mana yang pakai tambur? Kalau tidak salah, LAIR sendiri bilangnya ini “Pantura soul”. Suara gitarnya stand out plus tambahan instrumen tiup. Lalu ada pukulan tambur yang siap membuat para pendengar bergoyang sesuai kecepatan temponya.
Dari musik bergeser ke lirik, LAIR juga membawakan cerita-cerita yang khas dari daerahnya. Sedetik didengarkan seperti dongeng mitologi daerah yang ceritanya diceritakan turun temurun. Sedetik kemudian terdengar seperti petuah yang datang dari mulut tetua. Di lagunya yang berjudul Pesta Rakyat Pabrik Gula saya mengira mereka seperti ingin bercerita tentang kondisi riuh ramainya masyarakat menyambut pesta giling tebu.
Sebab, setelah saya cari di internet, kawasan Majalengka dan Cirebon dari semenjak zaman kolonial terkenal akan keberadaan perkebunan tebu dan pabrik gula. Beberapa pabrik gula hingga kini masih beroperasi, dan acara pesta giling tebu ini barangkali yang dimaksud oleh LAIR seperti dalam penggalangan lagunya.
“Pesta rakyat pabrik gula // pesta rakyat pabrik gula // pesta rakyat pabrik gula // pesta rakyat pabrik gula
menyebar ke semua arah, musim yang tiba, semua bekerja // gemerlap di pesta tebu, panen raya tercipta”
Sebenarnya masih ada banyak lagu lain dengan cerita-cerita lokalnya, seperti Roda Gila, Setan Dolbon, hingga lagu berbahasa Inggris yang bercerita soal masuk angin Entered by The Wind oleh LAIR dan Sigrid Espelien.
“Meraba jalanan gila menggila // Panas, debu, dan serapah // Di roda-roda yang lelah //
Meraba jalana gila menggila // Panas debu dan serapah // di roda-roda yang lelah”
Melalui lirik Roda Gila, terdengar ingin menggambarkan kondisi jalanan Pantura. Dengan segala bentuk kondiri dan rasa yang sepertinya sudah membuncah di puncak kegilaan. Pengendara memilih tetap untuk meroda.
Liriknya sarat akan cerita, penampilannya kental dengan budaya dan kekhasan daerah. Tapi ada satu hal lagi yang akan menarik perhatian mata adalah, alat musik yang digunakan para personil LAIR seperti gitar dan bass ternyata dibuat dari tanah liat menyerupai genteng.
Yup, genteng atap rumahmu itu! Tedi dalam interview di tengah penampilannya di KEXP menceritakan bahwa Jatiwangi, Majalengka merupakan sentra penghasil genteng tanah liat. Jadi, tanah Jatiwangi, Majalengka itu benar-benar secara harfiah berkeliling dunia bersama LAIR dalam berbagai penampilannya.
Belum lagi, di beberapa penampilan live mereka kerap membawa satu set obrog-obrog—tradisi bermusik masyarakat dalam menyambut bulan Ramadhan. Lengkap dengan kostum, corong atau Toa, spanduk kain yang membuat suasana penampilan makin meriah. Inilah yang saya sebut satu paket pertunjukkan yang apik. Semoga saja sih saya bisa nonton langsung, amin!
Tak berlebihan bila mengatakan kehadiran LAIR menambah warna blantika musik nusantara. Apalagi dengan musik dan lirik yang khas lokalitas. Acap kali membuat diri ini sadar bahwa kita hidup di masyarakat yang punya budaya dan kebiasaan yang berbeda-beda. Dan ketika itu dibungkus dalam satu lagu yang bercerita, menambah wawasan dan penghargaan akan perbedaan tersebut.
LAIR dengan musik-musik dan cerita khas panturanya. Lalu ada Lorjhu band asal Madura yang juga hadir dengan cerita-cerita lokalnya. Ada Sukatani, duo sejoli post punk dari Purbalingga yang bercerita soal kehilangan tempat dan teman bermain dalam balutan lagu bertajuk Alas Wirasaba.
Pada akhirnya, saya akan selalu senang dengan penemuan-penemuan band/musik/lagu baru. Terlebih, jika itu band yang datang dengan cerita lokal untuk kita dengar dan ketahui. Semoga masih ada banyak cerita-cerita lain yang bisa kita dengar untuk lebih saling memahami satu sama lain!
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: @possedrwdfdrii