Dalam benak pembaca miskin seperti saya, puisi tergambar sebagai bangunan yang berdiri karena benda-benda seperti angkong, cangkul, cethok, sekop, dan sebagainya. Perkakas itu digunakan dan digerakkan kuli di bawah komando tukang. Lalu, langgam-langgam Jawa terputar dari radio—barangkali sekarang sudah bergeser menjadi suara dangdut melalui speaker aktif. Selain sarapan dan makan siang, kuli dan tukang itu juga mendapatkan pindhon sebelum azan Asar berkumandang. Begitulah puisi dalam gambaran saya. Saya tidak berani menyebut “pemahaman saya” kala membaca puisi, sebab hal itu akan membuat saya dekaden.
Semasa SMA saya baru mengenal istilah arsitek dan insinyur. Bagi saya kuli dan tukang adalah pendiri bangunan sejati. Gambaran demikian, saya gunakan untuk membaca buku puisi Bagaimana Mengubah Rasa Sakit menjadi Sense of Art: Sebuah Tutorial (2023) yang ditulis penyair Erhan Al Farizi. Meski sedikit pun tak ada puisi yang menyuplik-kaitkan kuli, tukang, maupun benda pekerja bangunan terkait, puisi-puisi Erhan seperti menyiratkan kata-kata sebagai bangunan, yang kadang reyot atau kokoh: fisik atau penghuninya.
Lokus penciptaan puisi Erhan bukan lahir dari tempat yang kita kenal. Sebagai misal, nama kota, kampus, kamar, dan sebagainya bukanlah lokus yang disengajakan ketika menulis puisi. Mengacu pada genealogi penamaan suatu tempat, para ahli tentu mempertimbangkan sisi sejarah, sosiologi, antropologi, psikologi, dan ilmu terkait lainnya. Namun, Erhan, lewat puisi-puisinya, memberi kita pandangan bahwa lokus penciptaan puisi ternyata jauh dari pengertian bahwa bahasa itu arbitrer.
L0Irbio (hal. 33), Jkhgytr4 (hal. 59), Kui0(Ijskash (hal. 120) merupakan sebagian kecil lokus yang dituliskan Erhan di setiap puisinya. Di satu sisi, lokus-lokus tersebut bukanlah berasal dari bahasa Indonesia yang menjadi bahasa penulisan puisi-puisi Erhan—dengan sematan beberapa istilah dari bahasa Jawa, Inggris, dan Spanyol. Tentu ini menjadikan diskursus bagi pembaca, dan mengulang kembali pertanyaan, apakah bahasa puisi seperti itu—khususnya untuk lokus penciptaannya?
Pada wawancara sebagai pengantar editor, yang penuh dengan “alih-alih” dan “pertanyaan gugatan”, sedikit pun tak ada penjelasan mengenai lokus. Justru, ruangan yang mencakupinya adalah umpatan terhadap waktu, meski satu pun puisi tak ditemukan umpatan. Untung, Erhan masih memberi kesempatan pembaca—setidaknya—untuk mengetahui kapan puisi-puisinya ditulis. Keterangan itu memberi napas bagi pembaca untuk menangkap penutup pengantar yang membagi babak puisi-puisinya Erhan.
Karena pengantar itu, saya hampir terjebak dalam dugaan bahwa penyair adalah seorang preman, atau halusnya mantan preman. Namun, senyatanya yang saya temui tidak begitu. Erhan menulis puisi dengan pertanyaan-pertanyaan. Seperti dalam puisi “Sekali Gantangan, Dua-Tiga Kejuaraan Terlampaui” (hal. 34), Erhan merekam masa di mana sertifikasi profesi bagi seorang pencari kerja sungguhlah penting. Realitas itu coba dibalik Erhan dengan sertifikat prestasi yang, ketika ditawarkan, mungkin tak akan diterima oleh HRD. Lagi pula, prestasi yang dimaksud adalah sertifikat gantangan.
Padahal, jika ditilik lebih jauh, seorang kicau mania harus merawat burungnya sedemikian rupa agar mampu memberikan performa maksimal. Dengan pakan berkualitas, dijemur setiap pagi, disemprot air agar siap maksimal saat kompetisi gantangan berlangsung. Doa dan harapan kemudian dipanjatkan—jika tak mendapatkan peringkat, setidaknya masih ada kesempatan di hari lain.
Sebagai penyair, yang dalam pengantar diterangkan tidak ingin terjebak ambivalensi antara kota dan desa, maka Yeni Inka, Happy Asmara, dan Putri Kristya duduk dalam satu buku bersama Nazario da Lima, Stanilavski, The Smith, dan lainnya sebagai ketidakinginan jebakan ruang. Sebagai tokoh-tokoh yang muncul melalui rahim puisi Erhan, ini menandai sekat antarruang coba dibebaskan.
Puisi-puisi Erhan yang terangkum dalam buku ini bukan garis yang linier. Beberapa puisi seperti berada di halaman rumah, beberapa lainnya di ruang tamu, di kamar, di sekretariat dan lainnya. Itu di luar lokus yang tertulis, sebab tergambar dalam diksi, frasa, maupun kalimat yang tertulis dalam puisi. Erhan sedang membangun rumah puisinya sembari mendengar lagu hajatan maupun impor, sesekali pun menonton panggung teater dengan menjumputi pindhon.
Orangtua—terwakilkan melalui diksi “Bapak” dan “Ibu”—dan Tuhan, adalah dua diksi yang kerap muncul dalam puisi Erhan. Ia mempertanyakan apa yang kita sebut dengan takdir, lalu kembali memotongnya karena mungkin penyair sadar bahwa ia hidup dalam nilai filosofis ora ilok yang tumbuh di lingkungannya. Karenanya, meski puisi-puisinya menggugat, yang terdengar bukanlah sebuah teriakan “melawan!” tetapi justru bisikan yang menghantui. Saking begitu perlahannya sehingga sangatlah menusuk.
“…Dan kita tidak akan memperdebatkan lagi
Bahwa dunia memang absurd
Bahwa dunia membangun semuanya dalam kesekaligusan
Bahwa dunia membangun lelucon dengan aku sebagai objeknya” (hal. 44).
Meskipun bahwa, jika baris-baris itu terdengar melalui megaphone, maka akan menjadi aneh. Erhan melawan, menggugat, tanpa berteriak lantang. Puisinya seperti mengatakan kedalaman pandangan terhadap dunia yang penuh serba-serbi, perlawanan yang dipertanyakan. Momentum yang begitu jamak ditemukan dalam keriuhan yang membingungkan. Sekalipun menyebut Chairil maupun Gie di puisinya. Erhan menempatkan perlawanan itu pada posisi yang palung, bukan “kita harus” atau “seharusnya”.
Kekentalan puisi Erhan terdapat pada panggilan memori, atas masa-masa yang pernah terlewat. Yang membuat puisi Erhan tidak menceramahi atau memerintah pembaca. Puisinya mempertanyakan dan menggugat, yang samar sehingga tidak terdengar interogatif atau imperatif. Demikian yang membuat puisi-puisi Erhan seperti panggilan yang mengajak pembaca merefleksi diri di tengah dunia yang semakin cepat dan penuh lompatan.
Buku puisi Erhan resmi lahir, judulnya terdengar seperti teks prosedur. Editor menyebutnya sebagai anak sulung. Puisi Anda Sopan, Kami Segan (hal. 78) menegasikan bahwa puisi Erhan siap melayani seperti sinoman. Tentu, buku ini telah menjadi bangunan rumah bagi puisi-puisinya. Yang terbangun karena pelbagai hal, terlebih mengenai sense of art yang digarisbawahi: oleh kuli dan tukang atau arsitek dan insinyur, atau kesemuanya, dalam lokus yang barangkali belum sempat didefinisikan.
Judul: Bagaimana Mengubah Rasa Sakit Menjadi Sense of Art: SebuahTutorialPenulis: Erhan Al Farizi Editor: Pramudya Adi Pratama Penerbit: Kutub Buku Cetakan: Pertama, 2023 Tebal: 107 halaman ISBN: 978-602-06-6455-2
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: redaksi sudutkantin.com