Merayakan suatu pameran seni, hampir selalu menjadi sesuatu yang membingungkan, setidaknya untuk saya sendiri. Saya selalu mengalami kegagalan dalam memahami pertanyaan mengenai: apa signifikansi yang ditawarkan dalam sebuah pameran seni rupa? Apa pentingnya suatu karya seni, terutama bagi pengunjung pameran? Dalam kunjungan saya ke pameran tunggal Yula Setyowidi yang bertajuk In a Search for Divine Love, perlahan saya pun menemukan signifikansi dari suatu pameran seni.
Yula Setyowidi, seorang seniman asal pesisir timur pulau Jawa, merupakan seniman tipikal series. Artinya, ketika kita melihat seluruh karya yang dibuatnya dalam suatu rentang waktu tertentu, kita akan menemukan garis-subjek untuk memahami dan menunjukkan suatu durasi tertentu. Ide ini, menjadi suatu pemuas nafsu bagi Yula.
Hal ini menjadi masuk akal ketika kita menilik gagasan psikoanalisis Freudian yang menyebutkan bahwa penciptaan artistik berkaitan erat dengan konsep sublimasi, di mana gairah seksual diarahkan kepada hal-hal non-seksual. Dalam posisi ini, Yula sebagai sang pencipta karya mengarahkan hasratnya pada pengalaman yang kemudian diperlihatkan pada sapuan-sapuan kuasnya di atas kanvas.
Citraan-citraan yang ditampilkan oleh Yula dalam karya artistik menjadi sesuatu yang menarik jika diperhatikan. Setidaknya ada tiga figur dominan yang ditampilkan oleh Yula dalam karya-karya yang dipamerkan dalam pameran In a Search for Divine Love di LAV Gallery, Yogyakarta yang berlangsung dari 8 Juli hingga 6 Agustus 2023.
Figur ikan, menjadi salah satu figur dominan yang mudah dipahami sebab kedekatannya dengan laut. Kemudian, dihadirkan pula figur-figur deformatif serta citraan objek mata. Objek-objek seperti mata, serta figur deformatif tentu dihadirkan dalam karyanya bukan tanpa makna tertentu. Entah apa sebenarnya yang dimaksud oleh sang pencipta karya ini dengan menampilkan objek-objek tersebut, namun yang jelas citraan visual yang ditampilkan dalam pameran ini menimbulkan suatu perasaan yang aneh.
Perasaan aneh dalam menikmati pameran inilah yang kemudian menjadi pemantik bagi saya untuk mengeksplorasi pertanyaan soal signifikansi dari suatu pameran karya seni.
Eksplorasi Kedirian Manusia
Dalam pengalaman menikmati pameran In a Search for Divine Love, ada satu wacana dominan yang dengan tiba-tiba terbesit dalam pikiran mengenai kedirian manusia. Citraan-citraan visual yang dihadirkan oleh Yula, memperlihatkan representasi yang jelas mengenai kedirian manusia. Semua karya Yula yang ditampilkan dalam pameran ini, selalu menghadirkan figur manusia.
Ketika berbicara mengenai kedirian manusia, kita tidak bisa hanya berbicara mengenai manusia itu semata, sebab manusia selalu terkait dengan segala sesuatu di luar dirinya sendiri. Manusia selalu berada dalam proses yang tak berujung, selalu terkait dengan transendensi, dengan hal-hal yang melampaui dirinya sendiri.
Dalam hal ini, yang transenden dapat ditemukan dalam cinta, terlebih dalam cinta yang ilahiah, dalam divine love. Cinta yang transenden inilah yang kemudian membawa manusia pada refleksi dan eksplorasi mengenai pengalaman dan kedirian mereka. Refleksi mengenai kedirian manusia lantas mengingatkannya pada pengalaman-pengalaman bahwa manusia tak dapat hidup tanpa adanya cinta yang ilahiah, tanpa adanya cinta sejati dari Tuhan itu sendiri.
Kemudian, gambaran diri manusia dalam karya Yula, ditampilkan sebagai figur dengan penekanan pada bagian mata. Penekanan atas gambaran diri inilah yang kemudian menimbulkan perasaan aneh bagi saya. Perasaan aneh dalam pengamatan terhadap karya-karya Yula, kemudian saya pahami sebagai suatu gejala yang masuk akal dalam kerangka psikoanalisis.
Jacques Lacan, seorang psikoanalis Perancis, menjadi seorang sosok sentral dalam memahami gejala ini. Dalam mengamati, melihat, apa yang penting dalam hal ini adalah tindakan menatap itu sendiri. Dalam konsepsi Lacan mengenai hal ini, ia mengatakan bahwa apa yang dilihat, apa yang ditatap oleh seseorang bukanlah apa yang ia inginkan untuk dilihat.
Dalam tatapan terhadap sajian visual dalam karya Yula, saya bersepakat dengan Lacan, bahwa suatu karya seni dipahami sebagai objek libidinal. Objek libidinal dalam konteks ini, berarti suatu karya seni akan selalu menjadi objek yang tak terpisahkan dari apa yang disebut sebagai hasrat.
Seperti Yula yang menganggap bahwa penciptaan karya menjadi pemuas nafsu bagi dirinya, kita pun mengamati hasil karyanya dengan penuh hasrat. Hasrat inilah yang kemudian menarik kita sebagai penonton karya Yula untuk menikmati karyanya. Karena hal ini pula, kita perlu bersepakat kembali dengan Lacan, bahwa apa yang ditatap oleh seseorang bukanlah apa yang ia inginkan untuk dilihat. Kita selalu terjebak dalam hasrat untuk menikmati karya seni.
Hasrat dan/atau Keindahan
Ketika berbicara perihal kedirian manusia, juga mengenai hasrat, satu hal yang perlu untuk dibicarakan dalam konteks ini adalah mengenai keindahan, kecantikan. Namun, bagaimana karya seni itu dapat berkaitan erat dengan hasrat?
Mengutip Lacan, dapat dikatakan bahwa suatu karya seni dapat menenangkan seseorang, membuat ia merasa nyaman. Karya seni menunjukkan bahwa setidaknya seseorang dapat hidup dari eksploitasi hasratnya. Hal ini, hanya dimungkinkan terjadi ketika seseorang juga memiliki hasrat untuk berkontemplasi dalam menemukan kepuasan pada suatu karya seni.
Keindahan estetis dalam hal ini memainkan peran penting dalam kaitannya dengan kepuasan serta hasrat suatu karya seni. Pertanyaan mengenai makna dari keindahan itu sendiri memainkan peran formatif dalam pembentukan hasrat. Mengunjungi pameran In a Search for Divine Love dan melihat beberapa karya dari Yula Setyowidi, lantas menjadi pengalaman estetik tersendiri.
Dalam memaknai keindahan, mungkin gagasan dari Byung-Chul Han menjadi relevan untuk kita bicarakan di sini. Hari ini, keindahan dipahami dalam sifatnya yang konsumtif, ia semata-mata menjadi sesuatu yang memberikan kenikmatan begitu saja bagi diri manusia. Keindahan lantas menjadi sesuatu yang hanya memuaskan diri sendiri, dalam maknanya yang paling egois.
Seakan-akan, keindahan hanya dapat ditemukan dalam segala sesuatu yang bermakna positif. Ia mengejar hasil, namun mengabaikan proses. Menurut Han, keindahan ditemukan dalam maknanya yang negatif, supaya ia menjadi sesuatu yang menyegarkan, memberi kehidupan. Kelemahan, kerapuhan, bahkan kehancuran menjadi inheren dalam perbincangan soal keindahan. Seperti sebuah puisi yang indah mengenai patah hati.
Pengalaman menikmati karya Yula, saya rasa dapat menghadirkan pengalaman estetik ini, bahwa apa yang indah bukanlah sesuatu yang hadir begitu saja. Yula menghadirkan kedekatan sosial, serta tentang cinta yang transenden, bahwa keindahan akhirnya kita temukan dalam hal-hal yang melampaui kedirian manusia.
Bahwa manusia, akan selalu berada dalam suatu proses pencarian yang panjang, dan ini secara relevan disampaikan melalui suatu bagian yang bernama in a search for divine love.
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Michael Pandu Patria