Bagi segelintir orang, kunang-kunang adalah bagian tak terlupakan dari memori masa kecil. Serangga ini muncul di kegelapan malam, berkelap-kelip di antara tanaman di halaman rumah nenek atau di sepanjang jalan di pinggir sawah. Namun, seiring perkembangan zaman, keberadaannya semakin langka akibat dampak teknologi dan pembangunan.
Meski teknologi membawa berbagai kemudahan bagi manusia, perubahan ini juga memengaruhi hubungan manusia dengan alam. Pembangunan masif dan perubahan lingkungan telah membuat kunang-kunang semakin sulit ditemukan, terutama di kota besar.
Inovasi cahaya LED kian menjadikan kota semakin gemerlap dan berdampak pada keberlangsungan hidup kunang-kunang dan spesies hewan lainnya. Banyak hewan yang bergantung pada gelapnya malam untuk navigasi, mencari makan, atau berkembang biak, kini terganggu.
Dalam buku The Darkness Manifesto, Johan Eklöf berpendapat bahwa pencahayaan artifisial yang masif telah menyebabkan hilangnya setengah koloni kelelawar yang sebelumnya menghuni gereja-gereja di barat daya Swedia.
Seperti halnya kelelawar, kunang-kunang juga terancam punah akibat polusi cahaya yang tidak terelakkan. Gelapnya malam adalah kebutuhan esensial agar cahayanya dapat berpendar. Pendar ini berfungsi sebagai bahasa untuk berkomunikasi, mencari pasangan, dan bereproduksi.
Penelitian oleh Ariel Firebaugh dan Kyle J. Haynes pada 2019 mengungkapkan bahwa paparan cahaya LED secara signifikan menurunkan tingkat keberhasilan reproduksi kunang-kunang. Jika kondisi ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin kunang-kunang hanya akan tersisa sebagai bagian dari ingatan kolektif masyarakat yang perlahan memudar.
Kunang-Kunang dalam Mitos
Kunang-kunang memiliki tempat penting dalam cerita rakyat dan mitos di berbagai budaya, termasuk Indonesia. Satu mitos populer menyebutkan bahwa kunang-kunang adalah kuku dari orang yang sudah meninggal. Cahaya yang dihasilkan dipercaya sebagai tanda bahwa arwah seseorang belum menemukan kedamaian dan masih berkeliaran di dunia. Mitos ini konon hadir karena kunang-kunang sering terlihat di area pemakaman yang gelap.
Kunang-kunang juga dianggap sebagai pembawa keberuntungan. Kedatangan kunang-kunang ke sebuah rumah atau wilayah dianggap sebagai tanda keberuntungan, karena mereka hanya muncul di tempat yang masih asri. Di Bali, terdapat sebuah destinasi wisata konservasi kunang-kunang yang terkenal, The Fireflies Garden, berlokasi di Desa Taro, Tegallalang, Gianyar. Pengelola setempat menyebutkan bahwa kehadiran kunang-kunang di desa ini menandakan kualitas unsur hara dan air yang masih terjaga kealamiannya.
Kunang-kunang juga menjadi bagian dari mitos di berbagai budaya di dunia. Di Jepang, kunang-kunang yang muncul saat festival musim panas dipercaya membawa jiwa para pejuang yang gugur di medan perang. Di Amerika Serikat, ada kepercayaan bahwa membunuh kunang-kunang akan mendatangkan nasib buruk, bahkan bisa menyebabkan tersambar petir saat badai.

Sementara itu, masyarakat Afrika mengenal makhluk mitologis bernama Adze, sosok vampir yang berwujud kunang-kunang sebelum menjelma menjadi manusia untuk menghisap darah. Para sejarawan berpendapat bahwa mitos tentang Adze muncul sebagai upaya untuk menjelaskan penyebaran penyakit malaria.
Baik dianggap mistis maupun sebagai pembawa keberuntungan, mitos-mitos ini mencerminkan upaya manusia untuk memahami fenomena alam yang sulit dijelaskan. Namun, di balik cerita-cerita tersebut, kunang-kunang menyimbolkan hubungan yang mendalam antara manusia dan alam. Kehadiran mereka menjadi lambang keseimbangan ekosistem, yang kini kian terganggu oleh berbagai aktivitas manusia.
Buku Anak dan Upaya Preservasi Memori tentang Kunang-Kunang
Ketika kunang-kunang semakin jarang ditemukan, bagaimana kita menjaga memori kolektif tentang mereka?
Salah satu cara untuk melestarikan memori tentang kunang-kunang adalah melalui buku anak. Melalui cerita fiksi misalnya, buku anak dapat menjadi media yang memperkenalkan kunang-kunang kepada generasi berikutnya, yang mungkin tidak lagi berkesempatan melihat kunang-kunang secara langsung.
Salah satu buku anak yang mengangkat kisah tentang kunang-kunang adalah Kisah Masa Kecil Ibuku karya Irma Irawati yang diterbitkan oleh Kanak. Buku ini merupakan kumpulan cerita fiksi yang menghadirkan berbagai kenangan masa kecil penulis, termasuk pengalaman-pengalaman khas di masa lalu yang semakin jarang dialami oleh anak-anak masa kini. Dalam salah satu cerita, pembaca diajak menyusuri nostalgia lampu petromaks dan kunang-kunang.
Kisahnya berpusat pada sekelompok anak yang pulang mengaji di malam hari, ditemani cahaya temaram lampu petromaks. Dalam perjalanan, mereka terpukau oleh kunang-kunang yang berpendar indah di gelapnya malam.
Meski salah satu anak memperingatkan dengan mitos menyeramkan, “Heiii, hati-hati. Bukankah kunang-kunang itu kuku orang mati?”
Rasa takut itu tidak mengurangi kekaguman mereka. Justru, antusiasme mereka semakin tumbuh, menantikan perjalanan serupa esok hari untuk kembali menikmati keindahan kunang-kunang. Bagi para orang tua yang tumbuh di masa kunang-kunang masih mudah dijumpai, cerita ini membangkitkan memori akan keajaiban sederhana semasa kecil yang terdapat di alam.
Lewat buku anak seperti Kisah Masa Kecil Ibuku, kita diajak untuk merawat memori seputar kunang-kunang bagi generasi berikutnya. Dalam dunia yang semakin terang oleh cahaya artifisial, penting bagi kita untuk merenungkan kembali bagaimana menjaga keseimbangan antara kemajuan teknologi dan pelestarian alam. Sebab, di setiap pendar kecil kunang-kunang, tersimpan harapan akan dunia di mana manusia dan alam tetap dapat hidup berdampingan dengan harmonis.
Judul buku: Kisah Masa Kecil Ibuku
Penulis: Irma Irawati
Penerbit: Kanak
Terbitan: Pertama, April 2020
Tebal halaman: 144 halaman
ISBN: 978-623-7576-49-5
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Justin Kerr
