Sebenarnya siapa diri kita yang orisinal? Mulai dari soal genetik hingga budaya hari ini tidak benar-benar milik kita. Hibriditas tidak hanya berlaku bagi setiap makhluk, namun juga hasil pemikiran manusia. Dari satu pertanyaan sederhana ini, apakah kita harus menggugat orisinalitas di tengah pembauran?
“Ketika orang, kini, sebagai citizen tidak lagi mudah diasosiasikan pada satu
identitas budaya semata. Sementara sebagai netizen, pun tidak lagi sanggup
dijabarkan dalam identitas tunggal akun media sosialnya. Maka, multiplisitas dan
hibriditas yang terus menerus terjadi ini tidak lagi dipersoalkan…” Adhi Pandoyo – Kurator
Mungkin beberapa kalimat di atas cukup untuk memberikan jawaban. Tidak perlu meributkan hak-hak mutlaknya, semua normal, semua orang merasakan hal yang sama, mari memaklumi, merayakan pembauran. Lalu apa hubungan pembauran ini dengan dunia seni?
Dalam aktivitas kelompok 15 Juni 2022 lalu, Adhi Pandoyo dan 3 seniman muda Jogja memberikan esensi dari pembauran dalam sebuah pameran berjudul “Setelah yang Baur Enggan Usai”.
Dibuka di halaman Indieart House, seniman Bernandi Desanda, Mutiara Riswari, Rangga Aputra berjejer tampak tenang dengan tampilan sederhana sembari mendengar kata sambutan oleh kurator tentang tajuk dan tema yang diangkat. Pembukaan pameran diakhiri dengan pemberian hadiah berupa karya drawing kepada pihak sponsor sekaligus melakukan exhibition tour.
Saat saya memasuki ruang pameran tampak tidak ada yang benar-benar memberikan kesan berarti, ditambah lagi, sebelumnya karya-karya Mutiara Riswari dan Rangga Aputra sudah sering terlihat lalu-lalang tiap eksibisi; seperti Mutiara dalam pameran bersama Komunitas Tulang Rusuk dan Rangga dengan pameran tunggalnya tahun lalu. Sedangkan saat menyaksikan karya Bernandi, sesekali saya meyakinkan diri tentang figur-figur yang dihadirkannya, “topeng atau ekspresi wajah manusia?”
Sembari melangkah di ruangan cukup luas terlihat tiga box kaca yang terisi karya lukis, patung, dan catatan. Pada sisi sebelah kiri ruangan akan terlihat sebuah patung berjudul “Corral Fossil” oleh Rangga Aputra. Masih terus penasaran sambil berkeliling mencoba memahami, sekali lagi saya ingat tentang apa yang tadi disampaikan Adhi pada pembukaan pameran, past-present-future. Apa ini maksudnya?
Memang benar adanya, karya seni tidak selamanya mampu mempresentasikan dirinya sendiri walau sudah dibantu dengan deskripsi. Karena masih belum mendapat apa-apa, akhirnya scan barcode berisikan katalog sepertinya akan menolong. Tidak menunggu waktu lama, segera saya baca. Melalui dokumen berformat Pdf 88 halaman, semua karya yang awalnya tampak biasa ternyata menawarkan banyak cerita penuh impresi.
Saya memutuskan kembali untuk berkeliling mengamati lukisan Mutiara Riswari. Bagaimana visual lukisan abstrak ternyata berbicara tentang masa lalunya? Perjalanan hidup seorang anak kecil dengan bakat luar biasa yang diuji oleh keadaan dan menjadikannya tak terhentikan dalam berkarya, terutama untuk mengeksplor kemampuannya di bidang lukis.
Lukisan bunga yang dibuat pada masa kecilnya dibawa ke ruang pameran dan terpanjang gagah penuh cerita. Menurut katalog, lukisan pada box yang terpajang merupakan bagian dari babak past. Pada sisi kanan ruangan akan terlihat babak present sang seniman dimana terdapat sebuah lukisan hitam pekat dengan warna biru yang merupakan kompilasi rindu dan pilu. Karya dalam babak future yang berjudul “Niskala” dengan konsep pengalamannya tentang mimpi juga tak kalah memberi penjelasan sekaligus tepisan atas argumen “mimpi cuma bunga tidur biasa,” karena nyatanya mimpi juga bisa termanifestasikan.
Begitu juga dengan karya Rangga Aputra. Karyanya penuh guratan di bidang suram hingga gelap. Dibalik itu semua, Rangga merupakan makna baur yang sesungguhnya dan kompleks yang dimulai dari identitas diri, gagasan hingga artistik. Ia adalah penjelmaan dari semua orang di dunia; manusia yang tidak bisa lepas dari masa lalu yang terus mengganggu.
Pada babak past, dihadirkan juga catatan pribadi dan sketsa yang pernah jadi tempat curahan hatinya. Sedangkan bagian present, Rangga hadir dengan karya monochrome dengan guratan-guratan yang khas, impulsif, bebas, dan menambahkan tulisan bak catatan di atas kertas.
Ada yang berbeda dari Rangga pada babak futurenya. Meski tetap dengan tekstur dan guratan masa lalu, tampilan lukisan berwarna biru dengan satu corak baru yang cukup kontras cukup menarik perhatian. Jika diamati dari karya-karya sebelumnya, apresian akan bertanya-tanya atas karyanya yang mulai berwarna, “ada apa dengan Rangga?“
Bernandi Desanda ternyata jauh melebihi ekspektasi saya. Yang awalnya bertanya-tanya dengan figur pada karyanya, kini saya ikut mengetahui dan merasakan kesan bebas dan menyenangkan sang seniman. Kebahagiaan seperti apa yang bisa menandingi atas proses berkarya sambil menikmati setiap goresan? Bernandi mungkin cukup khatam atas hal tersebut yang disampaikannya pada tiap babak. Hampir mirip Rangga, Bernandi berlatar belakang keluarga beda suku dan berkali-kali pindah provinsi. Pembauran tentu saja sangat lekat padanya.
Di sisi lain, sebuah patung anjing yang terdistorsi menarik perhatian beberapa orang. Patung tanpa nama ini ternyata merupakan bagian dari babak past dengan cerita yang cukup apik dan menjadi titik tolak kekayaan artistik kolaborasi dengan orang tercintanya yaitu Bapak. Karya present miliknya membentuk visual satu binatang cukup ekspresif. Pada babak future, Bernandi menggunakan kanvas lebih besar dan spesifik pada karakter beberapa binatang.
Keluar dari ruang pameran, kesan awal dan akhir cukup berbeda. Ternyata baur itu tidak asing, normal. Ia sangat akrab dengan keseharian. Kini saya paham tentang pembauran yang dianggap tidak orisinal ternyata bukan lagi hal esensial. Toh seorisinal-orisinalnya seni, ia tidak lebih dari produk kontemplasi rumitnya isi kepala sang seniman yang telah baur karena terpengaruh sana-sini.
Editor: Tim Editor Sudutkantin