Livin’ On A Prayer: Representasi Perjuangan Kelas Buruh dalam Ilusi Utopia Kapitalisme

Dari “Livin’ On A Prayer” Bon Jovi, dapat kita lihat betapa kerasnya perjuangan hidup kaum buruh.

Woah, we’re halfway there
Woah-oh, livin’ on a prayer
Take my hand, we’ll make it I swear
Woah-oh, livin’ on a prayer, livin’ on a prayer

Lirik di atas mungkin sudah tidak asing lagi di kalangan insan pecinta musik hard rock. Penggalan lirik tersebut adalah bagian reff dari lagu berjudul Livin’ On A Prayer karya band rock legendaris asal Amerika, Bon Jovi.

Dirilis akhir tahun 1986, lagu ini menjadi salah satu lagu termahsyur dalam album “Slippery When Wet”. Album tersebut adalah album ketiga Bon Jovi yang memuat beberapa lagu lain seperti You Give Love a Bad Name, Wanted Dead or Alive, dan Never Say Goodbye. Kemunculan single bertajuk Livin’ On A Prayer berhasil mengantarkan Bon Jovi pada pintu kegemilangannya. 

Magnum opus Bon Jovi pada Livin’ On A Prayer menjadi anthem para buruh kala zaman telah lewat itu. Tentu tidak mudah untuk menembus telinga kelas buruh, lagu ini pernah sekali dianggap kontra revolusi dan kurangnya seruan untuk melumat kapitalisme.

Di sisi lain, Livin’ On A Prayer adalah cerminan kisah hidup Jon Bon Jovi, pendiri dan vokalis band ini. Bagaimana tidak, Jon adalah anak dari keluarga imigran yang berusaha hidup di bawah kerasnya dunia pekerja. 

Benar, pekerja atau buruh sering menjadi sasaran empuk dari bengisnya kapitalisme. Nasib buruh menjadi isu seksi dan tak jarang selalu dipertaruhkan dalam angan-angan gelap kapitalisme. Masyarakat oportunis memanfaatkan ini sebagai ladang emas mereka dari masa ke masa. Kini kapitalisme seolah-olah telah menjadi bagian dari struktur sosial yang tidak lagi dicela. 

Sejak dulu kapitalisme telah merambah ke sendi kehidupan masyarakat. Ironisnya sedikit masyarakat yang sadar betul dan sisanya hanya pura-pura tidak sadar. Tanpa perlawanan yang berarti, pemilik modal akhirnya berhasil menguasai moda produksi. Imbasnya sistem borjuis dan proletar kekal sampai zaman postmodernisme ini. 

Kembali ke Bon Jovi, band ini adalah salah satu dari segelintir orang yang sadar akan konstruksi sosial yang cacat. Meskipun terkesan samar dan cemen, Livin’ On A Prayer mengejawantahkan keresahan yang ada dalam kurun waktu empat menit. Dengan lirik yang sederhana, Bon Jovi berhasil memaknai sebuah fenomena sosial dimana enggan berpihak pada kelas buruh. 

Representasi Sepasang Buruh

Tommy used to work on the docks
Union’s been on strike
He’s down on his luck
It’s tough, so tough

Menceritakan tokoh fiksi Tommy, dulunya seorang buruh di pelabuhan, tapi kini terjebak dalam potret hidup yang penuh dengan harapan rapuh dan kesulitan tak terelakkan. Terperangkap dalam pusaran kemiskinan yang menjerat, bukan sebab oleh kurangnya usaha, melainkan oleh ketidakadilan yang terstruktur dan situasi yang tidak berpihak. Pemogokan serikat buruh menjelma menjadi simbol yang seolah tak rela mengamini ambisi kapitalis lokal. 

Gina works the diner all day
Working for her man
She brings home her pay
For love – for love

Menggantikan Tommy, Gina mulai mengais rezeki sepanjang hari. Terjebak dalam rutinitas kerja keras tanpa henti membuat Gina, aku, kamu, dan mungkin kita berharap akan terbayar berlian suatu hari nanti.  Bermodal cinta dan pengorbanan, berpegang teguh pada kesuksesan tanpa tau bahwa cinta dan pengorbanan tidak selalu dihargai. 

She says we’ve got to hold on to what we’ve got
Cause it doesn’t make a difference
If we make it or not
We’ve got each other and that’s a lot
For love – well give it a shot

Bolehkah seorang buruh berpasrah pada keadaan? Akankah mungkin kehidupan ideal itu tiba jika dibarengi dengan kegigihan? Apakah cinta dan kebersamaan hanya sebagai harapan belaka? Dapatkah janji-janji manis itu bukan sekedar angan? Sayangnya, semua ini lebih mirip seperti omong kosong yang terangkai.

Gambaran dunia ideal bagi kelas buruh dijual sebagai utopia yang menggiurkan. Padahal bagi mereka, khususnya di bawah hierarki sosial dan ekonomi, kapitalisme dianggap sebagai serangkaian janji kosong. Apa yang ditawarkan dan apa yang mereka cita-citakan ternyata hanyalah ilusi yang tidak pernah terwujud.

Whooah, we’re halfway there
Livin on a prayer
Take my hand and we’ll make it – I swear
Livin on a prayer
We’ve got to hold on ready or not
You live for the fight when it’s all that you’ve got

Bertahan hidup dengan harapan yang tak pasti. Sudah berkali-kali berjuang namun hasil akhir masih jauh dari jangkauan. Kiranya begitulah nasib buruh sudah sampai pada titik seputus asa itu. Hidup dalam bayang-bayang ketidakadilan membuat mereka harus menerima kenyataan pahit tentang perjuangan.

Utopia yang Tak Pernah Tiba

Buruh yang terbatas dengan banyak pilihan seringkali harus bertahan dalam situasi yang keras dan menantang. Ketika mereka tidak memiliki banyak kontrol atas kehidupan mereka, satu-satunya hal yang bisa mereka andalkan adalah kekuatan yang masih ada dalam diri untuk bertahan. 

Lantas bagaimanakah kelas buruh dapat merealisasikan utopia? Meminjam pemikiran Erik Olin Wright dalam artikel IndoPROGRESS berjudul Tanggapan Terhadap Perdebatan Mengenai Utopia yang ditulis oleh M. Fajar, sekurang-kurangnya harus memenuhi tiga syarat jika ingin adanya transformasi sosial: desirability, viability, dan achievability

Desirability mengacu pada suatu perubahan yang dikehendaki dan didukung oleh khalayak luas. Dengan kata lain merujuk pada apakah masyarakat baru lebih diinginkan daripada kondisi yang ada sekarang. Viability mempersilahkan masyarakat untuk memikirkan terkait konsep perubahan ini dapat dijalankan di lingkungan sosial atau tidak. Sementara itu, Achievability memberikan ruang untuk menyelidiki kapasitas agent of change dengan mempertimbangkan kondisi struktural dan agen-agen yang lain. 

Melihat kasus Tommy dan Gina, mereka adalah salah satu pasangan buruh yang harus hidup terombang-ambing dalam sistem yang menguntungkan segelintir orang. Impian mengenai kesuksesan hanya diperuntukkan untuk kaum oportunis. Sedangkan kelas buruh, harus bersatu untuk memperjuangkan kesejahteraan hidup mereka.

Maka dari itu diperlukan sekali kesadaran masyarakat terhadap kapitalisme kaum buruh yang tidak hanya terbatas pada lapisan tertentu saja. Dukungan dari intelektualis untuk menggandeng mereka yang termarjinalkan juga diperlukan guna menghidupkan kembali semangat mereka. Peran krusial pemerintah dalam memperbaiki struktur yang cacat menjadi PR tersendiri. Hal itu pun tidak pernah jauh dari pantauan masyarakat akar rumput. 

Dari Livin’ On A Prayer dapat kita lihat betapa kerasnya perjuangan hidup buruh dan paling tidak semangat untuk keadilannya harus kita anut. Karena Marsinah pernah berkata, “Perjuangan buruh adalah perjuangan untuk keadilan dan martabat manusia”. Terus bertekad, melaju!


Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: International Longshoremen’s Association

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Kenang Penangsang: Kumpulan Puisi Khuluqul Karim

Next Article

Realitas Berulang dan Kita di Antaranya

Related Posts