Album ‘Martyapada’ San.gita: Tak Ada Alasan untuk Tak Sebar Semangat Positif

Sebagai album perdana, San.gita telah menunjukkan kejeniusan musik dengan kreativitas yang tinggi pada album “Martyapada”.

San.gita (dibaca: sanggita) adalah kelompok musik rock asal Kota Salatiga di provinsi Jawa Tengah yang terdiri dari Bonita (vokal), Petrus B. A. (gitar), Sunu Yuliatma (bass), dan Michael Bangguna (drum). Perihal genre musik, dikutip dari pernyataan di salah satu postingan Instagram mereka, San.gita merasa tidak perlu memilih style/genre tertentu akan tetapi proses disiplin kreatif mereka.

“Martyapada” adalah album perdana mereka yang dirilis pada tahun 2023. Kata ‘Martyapada’ diambil dari Bahasa Sansekerta yang berarti “dunia, alam, jagat fana”. Album ini berisi delapan lagu dengan total durasi hampir satu jam jika didengar dari lagu pertama hingga selesai. Lagu-lagu mereka di album ini berada di kisaran sekitar lima hingga sembilan menit. Tiga single yang dirilis dari album ini berjudul Lokomotif, Marilah, dan Tanda Seru.

Dikutip dari pernyataan mereka, lirik lagu di album ini adalah pemaknaan San.gita terhadap dunia dalam keseharian mereka. Unsur-unsur yang terdapat dalam album ini ada banyak, antara lain: perenungan, ajakan, penguatan, umpatan, mengkaji pilihan, kerinduan, juga balada kisah perjuangan.

Pengerjaan album ini sangatlah ambisius, hingga mereka melakukan syukuran rilis album pada bulan November 2023 dan merilis edisi eksklusif dengan sleeve kulit yang diproduksi terbatas. Ambisi mereka tidak berakhir hingga membuat acara sesi dengar-simak pada bulan Februari 2024 dan melakukan tur mandiri live performance dengan nama Tur Lelaku yang merupakan program San.gita memperkenalkan karyanya.

Rilisan fisik album “Martyapada” San.gita (dok. Antonius Wendy)

Ketika selesai mendengarkan album ini, saya takjub dengan vokal Bonita yang enerjik dan permainan bass Sunu yang variatif dan kreatif. Kumpulan lagu di album ini memiliki tone musik yang bervariasi. Mari kita bahas lagu-lagu di album ini satu per satu.

Lagu pertama berjudul Lokomotif. Lagu ini dibuka dengan intro yang panjangnya satu menit dengan ritme tepuk tangan yang dipadu dengan permainan bass. Lagu ini mengisahkan perjalanan kereta dengan jalur baja dan manusia yang terus bergerak membangun jalur tersebut. “Roda-roda terus bergerak,” begitulah ujaran pertama di chorus lagu dengan nada bersemangat. Chorus lagu ini sangat gampang diingat dengan nada-nada yang catchy dengan paduan musik yang terasa segar dan asik didengar.

Lagu kedua berjudul Marilah. Lagu ini memiliki tona musik yang lebih santai dibanding lagu sebelumnya dan mengisahkan pertemuan dengan seorang kawan yang hatinya sedang dilanda gundah gulana. Chorus lagu ini merupakan ajakan untuk lupakan sejenak duka dan lara dengan menikmati nada dan gerak. “Marilah kawan berjoget,” begitu ungkapan pertama yang terdapat di chorus lagu ini.

Yang saya suka dari lagu ini adalah bridge lagu yang berisi lirik-lirik afirmatif berupa ”percaya kau tak sendiri mengarungi hidup” dan “bangun dan bergerak / tenangkan diri / meniti langkah”. Lagu ini seperti vitamin bagi pedengar lagu yang sedang merasakan keresahan dan saya sangat menyukai pesan positif yang ada di lagu ini.

Lagu ketiga berjudul Tanda Seru. Lagu yang sangat apik ini berhasil mencuri perhatian saya dan sekaligus menjadi lagu favorit saya. Lagu ini merupakan lagu terpanjang yang ada di album ini dengan durasi 9 menit hampir 30 detik. Di bait pertama, lirik lagu ini berkisah tentang bangun pagi dan mengucap syukur atas hidup yang dimiliki. Di bait kedua, lirik lagu berubah haluan menjadi rasa kesal dikarenakan polusi udara beserta polusi suara ketika menginjak kaki keluar rumah.

Chorus lagu ini merupakan ungkapan angan-angan dengan lirik “tinggi melayang, mimpi ke surga / tinggi ke surga, mimpi belaka”. Musik yang ada di chorus terasa begitu kentara kesannya hingga saya menemukan diri saya ikut berjoget mengikuti alur musik yang ada.

Yang membuat lagu ini menjadi lagu dengan durasi terpanjang adalah bridge lagu yang sangatlah panjang. Bridge lagu ini berisi permainan bass dengan ritme yang asik didengar dibarengi dengan noise elektronik yang sangat intens. Lagu ini pun secara tidak terduga kemudian berubah menjadi lagu kemarahan. Sang protagonis dalam lagu ini memarahi seseorang yang memaksakan keyakinan tentang Tuhan. Di bagian ini, vokal Bonita berubah menjadi teriakan memaki dan berujung dengan umpatan “YAKFU!” yang menurut saya adalah permainan huruf di mana huruf ‘y’ dan ‘f’ diganti posisinya.

Lagu keempat berjudul Harfiah. Tona lagu ini begitu sangat tenang dan merupakan lagu kerinduan dengan ungkapan pertama berupa “aku ingin pulang ke rumah”. Lagu yang tenang ini begitu kontras dengan lagu sebelumnya (lagu Tanda Seru) sehingga saya sebagai pendengar perlu menyesuaikan diri dengan perubahan alur direksi musikal yang ada.

Kejeniusan lagu ini terletak pada klimaks dengan ucapan “aku ingin pulang” yang diulang berkali-kali dan semakin intens setiap kali diucapkan. Tona vokal yang menjeritkan rindu begitu dalam dengan totalitas penghayatan membuat saya terpukau dan hati saya seakan ikut menjerit bersama dengan intensnya musik yang akhirnya memuncak di akhir lagu.

Lagu kelima berjudul Wo. Lagu ini memiliki memiliki tona musik yang sangat riang. Lirik lagu ini mirip dengan lagu Marilah, yaitu bertemu dengan kawan yang sedang dilanda gundah gulana. Chorus lagu ini serupa ajakan afirmatif seperti “tu wa ga pat ma / perlahan hitung nafasmu / masuk ke dalam ruang sadarmu”. Lirik yang terdapat di bridge lagu juga bagus, seperti “tak perlu merasa tersisih / tak ada yang menang”.

Lagu keenam berjudul Sebuah Kisah. Ini adalah lagu muram dan memiliki lirik yang berupa narasi mengenai seseorang yang memiliki luka batin, sebagaimana lirik lagunya yang berbunyi “bersama luka di batinnya yang tak kunjung sembuh” dan “dengan pilu yang ia pendam dalam bisu”.

Awalnya saya bertanya-tanya mengenai apa sih permasalahan hidup yang ia miliki sampai begitu muramnya ia menjalani hidup, tetapi kemudian lagu ini menyebutkan seorang perempuan, dengan lirik berupa “ia duduk di depan kaca sambil menatap / perempuan yang ada di seberangnya / tangannya bergerak untuk menata rambutnya / lalu turun ke muka untuk menyeka air matanya”. Saya pun akhirnya berasumsi bahwa lelaki yang menjadi protagonis dalam lirik lagu ini sedang mengalami patah hati.

Akan tetapi, ternyata ada hal-hal lain yang lebih dalam untuk ditelisik. Seperti pepatah dalam Bahasa Inggris “it’s more than meets the eye”, pre-chorus lagu ini mengungkapkan sesuatu yang lebih menyedihkan. Liriknya berbunyi “disingkirkan ia dari tanah yang melahirkannya / dirampas ruang hidupnya namun ia tidak menyerah”. Chorus lagu ini pun memiliki lirik berupa perlawanan sang protagonis atas permasalahan hidupnya.

Dikarenakan pre-chorus dan chorus lagu yang mengungkapkan kehidupan sang protagonis yang tertindas hidupnya, saya pun berpikir bahwa lagu ini sepertinya mengisahkan kehidupan seorang lelaki yang jatuh cinta pada seorang wanita, akan tetapi terjadi konflik yang bisa jadi berupa penolakan cinta atau bisa jadi karena sang lelaki tersebut “berbeda kasta” sehingga ia tidak layak memiliki perempuan tersebut.

Ada juga kemungkinan lain (yang merupakan kemungkinan terburuk) yaitu sang wanita tersebut melakukan berbagai tindakan kotor untuk menyingkirkan lelaki itu bahkan sampai merampas ruang hidupnya dan menyingkirkan ia dari tanah yang dilahirkannya. Hal ini pun menjadi kesempatan terbuka bagi sang pendengar lagu untuk menginterpretasi lirik lagu ini sehingga memiliki makna yang berbeda-beda bagi setiap pendengar lagu.

Lagu ketujuh berjudul Siklus Fana. Ini adalah lagu yang sangat menarik bagi saya, dikarenakan lirik lagunya yang mengisahkan kehidupan manusia dengan imaji berupa semesta yang terdapat di chorus lagu. Bait pertama lagu ini mengisahkan kelahiran dan pengalaman manusia, seperti liriknya yang berbunyi “ia lahir dari ruang kandung ibu / setelah bulanan meringkuk di dalamnya”, kemudian lirik di bagian lain yang berbunyi “lalu ia melangkah ke depan / melangkah dalam ketidaktahuan / menghantam dan dihantam arus kehidupan / menggapai nafas lalu hanyut kembali”.

Sebelum memasuki chorus di bait pertama dan bait kedua memiliki lirik yang cukup memprovokasi pikiran. Sebagai contoh, sebelum chorus pertama ada lirik berupa “bersyukur dan meratapi nasib hidupnya / saat keberadaan nasib dipertanyakan”. Contoh lain adalah lirik sebelum chorus kedua berupa “kukira kita semua pernah / rasakan mati kecil berkali-kali / ketika kosong adalah isi batin”. Penggalan lirik-lirik tersebut sangatlah dalam untuk dipikirkan dan menggema bagi pendengar lagu yang sudah memasuki usia dewasa.

Lagu terakhir berjudul Ayo. Lagu yang apik ini boleh jadi sangatlah cocok ditempatkan sebagai lagu terakhir dan penutup album dikarenakan pesan dan kesan positifnya. Lagu ini berpesan agar kita tidak menyerah walau jatuh dan kerap tersungkur. Lagu ini pun diakhiri dengan perayaan terahadap kehidupan yang dimiliki sebagaimana liriknya yang berbunyi “mari bersulang kawan semua / angkat gelasmu / ayo kita rayakan”.

Sebagai album perdana, San.gita telah menunjukkan kejeniusan musik dengan kreativitas yang tinggi. Saya sangat menyukai vokal Bonita yang enerjik dan permainan bass Sunu yang kreatif dan variatif. Saya juga suka dengan pesan dan kesan positif yang terdapat pada album ini. Tidak butuh waktu lama bagi saya untuk menjadi seorang penggemar band ini setelah mendengar keseluruhan album.

Saya sangat berharap San.gita terus berkarya di kancah musik dikarenakan potensi mereka yang sangat besar, meskipun saya tahu bahwa durasi lagu mereka yang panjang mungkin bisa jadi membuat beberapa orang yang tidak terbiasa dengan lagu berdurasi panjang akan berpikir-pikir dahulu sebelum mencoba mendengar lagu-lagu mereka. Saya secara pribadi tidak masalah dengan durasi lagu yang panjang, dikarenakan saya sudah terbiasa mendengar dan menikmati lagu-lagu dengan durasi yang bahkan panjangnya puluhan menit.


Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Antonius Wendy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts