Wawancara Karina Utomo KILAT: Satu Band Harus Saling Respect!

Simak wawancara Dheni Fattah bersama Karina Utomo tentang proyek musik KILAT dan skena musik independen.

Artikel ini merupakan arsip Dheni Fattah ketika mewawancarai Karina Utomo KILAT pada 6 Agustus 2023 lalu.


KILAT adalah unit raw black-metal asal Naarm / Melbourne yang tebentuk pada awal tahun 2021. Band ini terdiri dari tiga personel yang sebelumnya telah memiliki berbagai pengalaman dalam menginisiasi proyek artistik obskur, di antaranya: Karina Utomo (High Tension, Rinuwat), Rama Parwata (Whitehorse, Rinuwat) dan Benjamin Andrews (MY DISCO, Agents of Abhorrence).

DI masa awal, KILAT lahir melalui serangkaian proses percakapan intens yang mendalam antar para personelnya mengenai siasat mereka untuk membuat proyek musik yang berupaya menerobos batas-batas eksplorasi musik ekstrem hingga taraf paling kaotik.

And, absolutely freaking yes, KILAT is the fucking bomb!

Live perform mereka di Semarang pada bulan Agustus 2023 lalu yang diorganisir oleh Whocares Collective ini, terasa sangat liar, kaotik, membabi buta, mencekam, dan memekakkan telinga– bagi saya sebagai penonton. Kunjungan KILAT di Semarang merupakan bagian tur dari perjalanan ritual mereka di beberapa titik Jawa-Bali yang ditemani oleh Amerta (JKT) dan Sunlotus (YK).

Pasca menyaksikan live perform mereka, saya berkesempatan untuk melakukan wawancara singkat dengan unit trio raw black-metal asal Australia ini. Membicarakan soal proses produksi, rilisan debut album KILAT yang bertajuk Rantai Penjinak (2022), dan lain-lain. Simak!

Pertanyaaan pengantar yang sangat klise dan standar, tetapi rasanya penting untuk diketahui kawan-kawan di luar sana. Tolong perkenalkan KILAT dan latar belakangnya terbentuknya band ini, mengingat para personilnya juga memiliki project lain sebelumnya.

Jadi saya kenal dengan Benjamin Andrews udah kenal lama sejak dia di MY DISCO dan Agents of Abhorrence. Memang udah saling mengenal sejak dulu, saat saya ada di High Tension. Terus kita selama 5 tahun yang lalu udah pengen bikin band crust/grindcore tapi ga jadi-jadi. Terus kemudian saya ketemu dengan Rama di sebuah klub untuk improvisasi musik. Di mana klub tersebut mengundang para musisi-musisi untuk berkolaborasi dan berimprovisasi langsung secara tiba-tiba, tanpa latihan.

Itu institusi yang sangat terkenal di Melbourne. Sudah sekitar 25 tahun. Setiap hari Selasa. Itu legendaris banget. Nah dari situ, aku diundang ke Make It Up Club oleh Rama yang merupakan salah satu kuratornya. Kemudian, aku tanya, “Nama kamu Rama?” pake bahasa Inggris. Oh, ternyata dia orang Indonesia. Jadi kita langsung berteman dan kebetulan dia juga udah berteman dengan Benjamin Andrews.

Terus mereka punya ide, “Yuk kita bikin band black metal, Karina yang nyanyi”. Nah dari situ langsung jadi. Terus sebelum lockdown pandemi global, kita latihan di rumah orang tuanya Rama, ada studio gitu, kita jamming bareng tiap minggu. Nah, itu kita bertiga langsung srek gitu kita bertiga.

Ya, begitu, jadi sebelum KILAT, aku sama Benjamin Andrews pengen bikin band crust/grindcore, tapi setelah ketemu Rama kita pengen bawain black metal. Itu memang didasari bahwa kami bertiga memang penikmat musik genre-genre ekstrem tersebut.

Lalu, soal pemilihan nama “KILAT” inspirasinya dari mana?

Jadi sebelum KILAT, aku, Rama dan Mike Deslandes (gitaris High Tension) bikin project eksperimental namanya Rinuwat pakai instrumen gamelan gong gebyar. Karena Rama dan Jaya dari kecil main gamelan Bali (gong gebyar). Terus aku kepikiran, pengen bikin project metal tapi menggunakan notasi-notasi tradisional. Aku mempelajari mantra-mantra sastra Jawa.

Nah, kebetulan waktu itu ada salah satu mantra yang menyebutkan, “Kilat besi hitam lebur” gitu. Besi hitam itu sebenernya permainan kata dari black metal. Karena kita juga tau bahwa banyak kolonialisme musik di scene black metal, maka kami pengen reclaim dengan tetap membawa unsur-unsur sebagai orang Jawa-Bali. Kita punya garis keturunan yang berbeda dibanding orang-orang yang memainkan musik black metal di wilayah barat. Jadi itu penting untuk kita mendekati budaya sendiri juga, sebagai diaspora yang tinggal di negara asing yang merupakan tanah rampokan (Australia).

Debut rilisan album Rantai Penjinak menghadirkan nuansa sound tipikal raw black-metal yang gelap, padat, kotor, harsh, disgusting, dan chaotic dengan lirik bahasa [Indonesia] improvisasi. Bagaimana proses produksinya? Seperti apa formula penulisan musiknya?

Jadi antara saya, Rama, dan Benjamin Andrews, kami saling mempercayai satu sama lain. Jadi dalam proses membuat musik, kami banyak improvisasinya. Karena kami semua background-nya memang sudah suka untuk bereksperimentasi dan berimprovisasi. Apalagi kalau di kawasan atau wilayah musik ekstrem kadang intrikasinya harus tepat gitu.

Kalo di kita ada fleksibilitas atau ada ruang untuk saling mendengar dan merasakan. Jadi itu pentingnya dari unsur saling percaya satu sama lain dan kami juga saling respect.

Saya fans banget sama Benjamin Andrews sama Rama, dan mereka respect juga soal kontribusi yang aku berikan di musik. Karena dalam proses kolaborasi terkadang belum tentu compatible atau tidak saling trusting. Rama juga banyak menulis musiknya dan Benjamin Andrews juga terbuka, bener-bener fluid-lah.

Untuk lirikal yang digunakan bahasa Indonesia improvisasi, karena dalam musik ekstrem enaknya kalo pakai bahasa Indonesia itu sonik banyak “OOO dan AAA” (penggunaan vokal “o” dan “a”). Itu terasa lebih organik, bagi aku saat menggunakan bahasa Indonesia dalam kancah musik ekstrem dan itu juga merupakan bahasa pertama saya. Jadi untuk meraih volume dan agar bisa merasakan secara visceral atau mendalam (terasa di seluruh tubuh) saat bernyanyi, ya dengan menggunakan diksi-diksi dari bahasa Indonesia.

Tetapi juga banyak abstraction-nya karena kalau saat teriak-teriak banyak orang nggak ngerti juga, apalagi dibawakan (di) Australia dengan lirik bahasa Indonesia. Tetapi walaupun begitu mereka bisa turut merasakan. Nah, itukan bagusnya musik ekstrem, tidak harus explicit liriknya apa, tapi pesannya tetap mampu dirasakan.

Bagaimana scene musik independen di Australia? Apakah sama dengan di Indonesia, baik secara pola atau metode? Hal apa yang berbeda dan menarik untuk dibagikan di sini?

Di sana, diverse juga ya. Maksudnya banyak pilihan dan tawaran alternatif dari berbagai genre-genre. Di sana saling bantu dan kerja sama. Misalnya kita bikin acara, biasanya juga sama band death metal, hardcore, punk, electronic, dst. Kita semua tetep bisa nyambung dan saling topang karena menggunakan metode yang sama: DIY. Jadi, ya ada kelompok komunitasnya sendiri begitu.

Kalau di Melbourne memang kondisinya selalu subur scene-nya. Di sini (Indonesia) juga saya kira sama kalau saya lihat dari band-bandnya. Main di sini, waktu 15 tahun yang lalu dengan project band serius pertama saya keliling Jawa juga rasanya lain dengan sekarang, sama kalau tur di Australia itu rasanya berbeda banget. Mungkin karena di Indonesia, pertalian dengan budaya juga sangat kuat dan juga untuk musik kontemporer semacam ada paralelnya gitu. Di sana (Australia) juga masih banyak yang produksi terbitan dengan spirit mandiri seperti zine dan newsletter, bahkan pada banyak yang langganan.  

Memungkinkan tidak untuk band lokal Indonesia menjalankan tur di Australia secara mandiri/DIY? Bagaimana mekanisme yang sebaiknya diikuti, seperti menghubungi booking-agent terlebih dahulu, mengontak venue terlebih dahulu, atau menghubungi organizer lokal?

Yang terpenting kalo mau ke sana, harus ada yang bisa bantuin untuk ngurusin visa. Nah, itu yang kadang menjadi halangannya bagi band-band luar Australia yang pengen main ke sana secara DIY.

Tapi kalo udah sampai di Australia banyak banget yang bisa organize turnya. Banyak banget band-band yang sering tur DIY ke sana.

Tapi kalo mau tur di sana itu juga mahal banget karena jarak antar kora itu jauh-jauh. Kalo di Indonesia masih deket-deket, kemarin dari Bandung ke Semarang 5 jam sampai. Sedangkan, kalo di sana misal dari Melbourne ke Sydney aja waktu tempuhnya 10 jam. Itu jauh. Terus mahal. Secara geografi dan administrasi emang ada sedikit tantangan itu tadi, tapi kalo secara dukungan banyak yang bisa bantu karena banyak komunitas dan orang-orang yang aktif di sana.

Pasca melakoni tur, apa rencana KILAT dalam waktu dekat?

Kita rencana mau rekaman album kedua, saat ini sedang dalam masa proses development. Kita mau nulis dulu, paling kemungkinan akhir tahun depan. Terus kita juga sedang ngumpulin berbagai footage untuk kita olah jadi produk DVD yang isinya fragmen-fragmen dari show live KILAT.

Terakhir, rekomendasikan kepada para pembaca, band-band lokal Australia apa saja yang harus mereka simak!

FACELESS BURIAL, AGENTS OF ABHORRENCE, GELD, GUTLESS, VILE APPARITION, ALTARS, DIPLOID, NERVE.

Momen bersama KILAT (dok. Dheni Fattah)

Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: @rottenslice

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts