Saya sebenarnya paling berjarak dari mengikuti informasi yang sedang ramai dijadikan bahan obrolan diskusi. Sering kali, sifat viralisme hanya menjadi obrolan sesaat. Berita viral ibarat air mendidih, lama-lama mendingin, lalu akhirnya hilang dan ditinggalkan begitu saja. Begitulah kerja-kerja viral yang terjadi belakangan ini.
Sebagai penikmat musik, konten musik jadi konsumsi utama kita di media sosial. Berita diva kayak Raisa mandi pakai air galon atau Delpi dari Dongker terpampang di baliho caleg, sampai kekerasan di ruang scene musik, semua bisa viral.
Belakangan ini ada beberapa video kekerasan di scene hardcore/punk. Seorang anak muda dipukuli beberapa orang. Yang lebih parah, pelakunya adalah personel band dan teman-temannya sendiri. Nggak ada pembenaran buat itu.
Apakah ini hal biasa di scene hardcore/punk? Sejak kapan kekerasan dianggap normal?
Hardcore/punk itu musik keras, maskulin, memacu adrenalin. Ada cara beda-beda buat menikmati musik ini. Moshing itu respons tubuh buat menikmati musik keras. Tarian ekstrim yang melemparkan tangan dan kaki tanpa arah, kadang kena orang lain. Asalnya dari Amerika, besar di scene hardcore/punk. Dari pogo sampai moshing yang kita kenal sekarang. Ada juga istilah violence dance, two step, crowd surfing, dan stage diving. Semua itu jadi cara buat meluapkan emosional di gigs hardcore/punk.
Sebagai penikmat, saya sering nonton dari pinggir sebagai penonton kacamata ketiga. Senggol sana-sini di moshpit memang bagian dari pengalaman. Tapi, kita harus sadar kalau masuk ke moshpit berarti siap terima segalanya. Moshing itu parodi kekerasan, bukan buat benar-benar melukai.
Moshing itu parodi kekerasan, bukan buat benar-benar melukai. Meski kadang dalam parodi itu ada yang kena memar atau berdarah, itu tetap bagian dari ekspresi. Tapi, tetap aja moshing sering kontroversial, bahkan sampai ada istilah “mosh killers” untuk mereka yang over-the-top. Di Bali, scene hardcore/punk berkembang pesat. Anak-anak muda di Denpasar dan daerah-daerah kecil lainnya punya antusiasme tinggi. Media sosial membantu banget dalam memperkenalkan musik hardcore/punk ke lebih banyak orang.
Scene hardcore/punk di Bali sekarang tumbuh dengan berbagai subgenre seperti thrash metal dan beatdown. Tiap kali ada gigs, penonton—terutama remaja—selalu ramai dengan semangat perlawanan yang menggebu. Moshing dan hardcore/punk adalah dua unsur utama dalam gigs musik keras underground. Karakternya yang maskulin dan penuh energi memang menggambarkan narasi kekerasan.
Tapi, sayangnya banyak yang nggak punya pemahaman yang dalam soal hardcore/punk dan moshing. Kadang mereka cuma meniru apa yang viral di media sosial tanpa tahu sejarah atau esensinya. Pengetahuan yang seharusnya didapatkan melalui pengalaman malah jadi cacat karena mereka cuma fokus pada apa yang dilihat di media.
Sebagai pelaku musik dan penikmat scene ini, kita harus mulai sadar kalau ada tanggung jawab lebih yang perlu diemban. Band/musisi punya peran penting untuk memberi edukasi, setidaknya memberikan pengetahuan kecil kepada para penonton. Ini bukan cuma soal menyuguhkan musik, tapi juga soal menjaga keselamatan bersama. Edukasi ini nggak perlu panjang lebar, cukup diselipkan saat manggung. Paling tidak, penonton tahu kalau moshing bukan soal ngeroyok orang lain.
Kalau band/musisi nggak mau ambil peran untuk memberi edukasi, lantas siapa yang harus? Jangan sampai semua jadi chaos, apalagi sampai merugikan pihak-pihak lain seperti panitia atau venue. Harga tiket gigs hardcore/punk yang cuma 30 ribu nggak akan cukup buat ganti rugi kalau alat rusak atau ada kerusakan di venue. Tanpa sadar, kita bisa aja sedang membunuh scene hardcore/punk itu sendiri, pelan-pelan.
Semua orang datang ke gigs hardcore/punk buat bersenang-senang, bukan buat dirugikan. Jadi, kita perlu tindakan lebih tegas untuk mengajarkan kepada oknum yang suka cari masalah di moshpit. Kita harus sadar kalau ada banyak hal yang harus dijaga, termasuk kenyamanan orang lain. Toh, kita semua beli tiket dengan harga yang sama, jadi harusnya punya hak buat nikmatin pertunjukan tanpa takut dirugikan.
Di Bali, saya masih sering lihat kekerasan di moshpit. Ada yang sengaja ngincar orang buat dipukuli berkali-kali tanpa alasan jelas, terus pergi begitu aja tanpa rasa bersalah. Apa itu keren? Makan tuh moshing!
Media sosial sering banget ikut memperparah situasi. Demi konten viral, banyak yang nggak peduli apakah isi dari videonya mendidik atau nggak. Yang penting viral. Mereka cuma peduli jumlah view dan like, nggak peduli soal dampaknya. Sebentar, tiba-tiba kepala saya gatal, pengen garuk pakai jari tengah, terus nunjukin acungan jari ini ke media-media yang cuma peduli viralisme.
Sudah waktunya kita usir jauh-jauh para jagoan toksik maskulin dari moshpit. Apa yang mereka lakukan sama sekali nggak keren. Justru malah bikin orang malas datang ke gigs hardcore/punk. Akhirnya, orang-orang awam yang pengen tahu soal hardcore/punk jadi kapok gara-gara pengalaman nggak enak. Apapun alasannya, kekerasan di moshpit nggak bisa dibenarkan, apalagi kalau sampai merenggut nyawa. Harga tiket gigs sama sekali nggak sebanding dengan nyawa manusia.
Sebelum saya tutup tulisan ini, saya mau rekomendasiin satu film dokumenter menarik: American Hardcore (2006) garapan Paul Rachman. Film ini bercerita soal sejarah dan perkembangan hardcore/punk di Amerika dari era 1980–1986. Film ini juga banyak ngomongin soal apa aja yang beririsan dengan scene hardcore/punk.
Harapannya, nggak cuma band/musisi lokal Bali aja yang peduli soal ini, tapi juga kita semua, termasuk para penikmat musik underground. Kuncinya adalah kesadaran—kesadaran buat saling mengedukasi di scene ini, entah itu musisi, penonton, bahkan medianya juga.
Karena saya sendiri masih pengen terus menikmati pertunjukan hardcore/punk sambil bersenang-senang tanpa ada berita viral soal kekerasan lagi dan lagi. Kita sebagai pelaku scene ini harusnya nggak nunggu sampai viral dulu baru bersuara. Jangan sampai kita kayak polisi di negara ini yang nunggu masalah viral baru pada sibuk bertindak. Bhahaha shit, man!
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Mang Prad