Atas nama apa saja semua bisa terjadi. Mungkin selalu dari nilai subjektif manusia atas kebaikan itu sendiri. Atas nama kebaikan yang subjektif semua menjadi nyata, menjadi sebaik-baiknya pilihan manusia untuk bertindak. Hidup yang penuh pilihan, selalu berjalan atas nama kebaikan.
Kali ini atas nama kesejahteraan, kebaikan rakyat, dan kontinuitas entitas negara, para penguasa menggunakan pilihan subjektifnya dengan nilai kebaikan miliknya sendiri. Kukabarkan hari ini di negeriku semua orang terluka, tidak secara sederhana, justru berangsur menggerus segala mimpi manusia di dalamnya.
Hari ini seribu nyawa hadir, seribu yang lainnya meninggalkan dunia, sisanya dibunuh mimpinya oleh penguasa negerinya. Hari ini senyum merekah bagi siapa saja yang memiliki kuasa dan kesedihan menghampiri bagi siapa saja yang bukan siapa-siapa. Namun, mereka menyadari realitasnya.
Hari ini digugurkan kepercayaan mereka yang mawas akan nasib baik negerinya lewat sudut jalanan penuh amarah, keringat asin, dan di balik kepalan tangan manusia yang menggugat negerinya yang sedang demam.
Untuk menghardik pilihan subjektif atas nama itu, perlu dibungkus dengan baik melalui cara sopan dan tidak tercela. Bentuk pemaksaan penerimaan nasib khalayak diputuskan dalam sebuah mimbar dan dalam Bahasa Tiran. Lagi-lagi sebuah penerimaan nasib secara paksa karena takdir kami, hidup juga menghidupi negeri ini.
Sepertinya kini realitas berulang kembali tentang kejinya kekuasaan menyergap manusia negeri ini. Perlahan dan pasti kembali ke dataran masa lampau.
Pengulangan menjadi Siklus, Masa Lampau Berkunjung Kembali
Sebuah realitas berulang kembali. Alam semesta menyajikan momen serupa di masa kini. Siklus ini tiada akhir dan akan terjadi lagi untuk selama-lamanya. Nietzsche menyatakannya dalam konsep Eternal Return: setiap kejadian berulang dengan sama persis terus menerus dalam sebuah kehidupan.
Pertanyaan pun lahir setelahnya, apakah kehidupan serupa itu layak untuk dijalani?
Pengulangan serupa dalam balutan masa lampau melahirkan banyak luka dan ke-enggan-an untuk diulangi lagi. Bukan dalam semangat hidup yang mengempis. Bukan berarti dari masa lampau kita tidak mendapatkan ilham rupa kesadaran dan pembelajaran untuk menjalani masa kini semaksimal mungkin.
Serupa dengan negeri ini, masa lampau telah melahirkan banyak kompleksitas struktur, bahkan luka yang kita hadapi di masa kini. Namun lagi-lagi kita gagal untuk mengilhami masa lampau: luka menganga yang tidak terobati oleh waktu.
Pemaknaan itu pupus dilahap birahi naluri manusia sebagai Homo Cupidus, keserakahan atas apapun. Keserakahan atas nikmatnya kepercayaan berlimpah, nikmatnya memiliki supremasi, kenikmatan yang hanya dimiliki oleh mereka-mereka pemegang otoritas administratif di negeri sulap ini.
Sifat abai dalam melihat masa lampau rasanya menjadi genderang perang untuk meledakkan momen di masa kini. Ketidaktahuan atau jua pengabaian masa lampau akan menjadi sebab-musabab yang serius untuk kita hidupi di masa kini. Termasuk pengulangan tragedi yang menjadi mimpi buruk masa kini sebab lalainya manusia, terutama mereka yang berkuasa di negeri sulap, tentang segala luka di masa lampau.
Konsepsi kelalaian dan pengabaian, sejalan dengan pemikiran George Santayana, seorang pemikir berpengaruh di abad-20. Pola siklikal atas masa lampau juga disepakatinya, jika direduksi secara sederhana pengulangan masa lampau tidak dapat dihindari tetapi dapat dipelajari secara sadar.
Pengulangan masa lampau akan menjadi realita sedekat mata memandang, tetapi pengulangan yang disengaja adalah dosa milik mereka. Those who cannot remember the past are condemned to repeat it.
Lagi-lagi pertanyaan lahir, apakah sudah cukup kesadaran akan masa lampau yang siklikal tumbuh di rongga dada umat manusia negeri sulap ini?
Kondisi muram menyedihkan negeriku, bersama para pemegang otoritas administratif sedang mengupayakan jalan kebaikan subjektif miliknya. Tidak bagi kami yang berada di tepi batas garis kehidupan sederhana yang sedang mengupayakan kebahagiaan kecil untuk dirasakan setiap harinya.
Kami berada di tepi, menunggu jatuh dari ketinggian yang memakan waktu beberapa saat hingga berada di dasar sana gelap dan dingin. Kebahagiaan kecil itu kami selipkan seraya berada di udara menuju dasar, dasar yang justru berada di masa depan yang mengantongi seribu misteri.
Kami tak lagi berlari kembali kedataran masa lampau, dataran kepastian yang sudah dimakan waktu. Kami berada di tepi untuk menghadapi masa lampau yang berulang tanpa ada waktu untuk menghidar, mengemban tugas untuk mengingat masa kini yang pelik.
Menanyakan ulang, layakkah seorang manusia hidup menjalani scene masa lampau berupa luka dan secara disengaja disajikan oleh entitas kuasa paling dipercaya secara kolektif di negeri ini.
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Bima Chrisanto
