Dalam rubrik opini Kompas edisi 7 Mei 2024 Didit Saleh memberi pendapat berjudul “Reformasi Kebijakan Mengatasi Pengangguran”. Tulisan itu mengaitkan pendidikan dan permintaan industri. Termasuk menyoroti adanya gap antara lulusan pendidikan dengan serapan terhadap industri. Sistem pendidikan Indonesia dianggap kurang relevan, tidak seperti Jerman, Korea Selatan, dan Taiwan yang dianggap mampu mengatasi pengangguran dengan upaya vokasional dan pelatihan.
Lalu, menyoroti bahwa program negara seperti Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dan Kartu Prakerja dianggap kurang maksimal, karena tidak adanya transparansi serta akuntabilitas. Ditambah lagi penulis memberikan solusi dengan memperkuat responsifitas pendidikan terhadap perkembangan teknologi dan kebutuhan industri. Tulisan itu terdengar logis, tetapi tidak melihat kompleksitas masalah struktural isu pendidikan dan pengangguran.
Dahulu, sebelum muncul kapitalisme, setiap orang bekerja. Dengan keterampilan yang dimiliki, setiap orang dapat menghasilkan sesuatu. Mudahnya, keahlian-keahlian semacam ini bisa disebut sebagai tukang-ahli. Lambat laun terbentuklah gilda yang di dalamnya, menurut Marx dan Engels, diisi guild-master, journeyman, dan apprentice.
Pada sistem semacam ini tidak ada yang mengganggur, karena setiap orang mendapatkan kesempatan kerja yang sama kecuali seorang budak. Apprentice berbeda dengan sistem pemagangan yang kita kenal sekarang ini. Seseorang yang tidak memiliki keterampilan adalah seorang apprentice di bawah pengawasan guild-master. Baru setelah bekerja dalam durasi yang telah ditentukan serta dinyatakan lulus oleh guild-master, seorang apprentice dapat disebut sebagai journeyman. Journeyman adalah seorang yang ahli di bidang tertentu atas dasar keterampilannya. Namun ia memiliki keleluasaan untuk tetap bekerja di gilda sebelumnya atau berpindah ke gilda lainnya.
Barulah di abad ke-19 kapitalisme muncul dengan industri tekstilnya. Pabrik berhasil mengkooptasi lahan-lahan pertanian, ruang hidup masyarakat, dan terutama menciptakan relasi kerja-upahan yang menggantikan sistem sebelumnya. Gilda-gilda menjadi hancur, orang-orang beralih menjadi buruh kerja-upahan akibat perampasan alat produksi. Di antara mereka yang tidak terserap industri kemudian menjadi pengangguran, gelandangan, bahkan kriminil. Dari sinilah golongan pengangguran muncul dan akan selalu eksis selama kapitalisme bercokol.
Di masa-masa setelahnya, tranformasi kepemilikan tanah terjadi. Kapitalisme mensyaratkan pemusatan pemilikan, termasuk pemilikan atau penguasaan tanah. Singkatnya, negara-negara yang disebutkan oleh Didit Saleh dalam opininya merupakan negara-negara yang dianggap telah berhasil restrukturisasi pemilikan atau penguasaan tanah. Menurut Gunawan Wiradi dalam bukunya Reforma Agraria Perjalanan Yang Belum Berakhir menyebutkan bahwa negara-negara seperti Jerman, Amerika, Prancis, Jepang, dan Korea/Taiwan proses reforma agrarianya mengarah menjadi masyarakat kapitalistik. Berbeda dengan Rusia dan Cina yang mengarah menjadi masyarakat sosialistik.
Indonesia pascakemerdekaan tepatnya di bawah kekuasaan Soekarno pernah memiliki dua undang-undang yang progresif dalam hal agraria dan pendidikan. Dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) di sana terdapat cita-cita hendak mewujudkan sosialisme Indonesia. Sementara Undang-Undang No 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi pun sama, hendak mewujudkan masyarakat sosialis Indonesia yang adil dan makmur, materiil, dan spirituil serta menyiapkan tenaga yang cakap memangku jabatan dan cakap memelihara sekaligus memajukan ilmu pengetahuan. Dua undang-undang ini sebenarnya telah menyebutkan rencana negara menciptakan negara sosialis. Kedua cita-cita tersebut pupus akibat peristiwa G30S. Akibatnya reforma agraria tidak pernah tuntas sekaligus kehilangan satu generasi yang progresif.
Berbeda dengan sistem pendidikan dual track Jerman, penempatan kerja dan magang Korea Selatan, serta Youth Employment and Internship Program Taiwan. Indonesia melalui UU Perguruan Tinggi mendorong lulusan-lulusannya masuk ke dalam lembaga atau institusi yang ditunjuk langsung negara melalui Dewan Sarjana. Para sarjana yang baru lulus, kecuali calon doktor, diwajibkan bekerja selama tiga tahun. Artinya serapan tenaga kerja berpendidikan sudah dipikirkan negara, mengingat mayoritas masyarakat Indonesia adalah lulusan sekolah dasar. UU tersebut juga memikirkan bagaimana rakyat bukan hanya menjadi tenaga kerja-upahan murah. Hal yang paling penting ialah hakikat pendidikan menciptakan manusia yang logis, bernalar, serta beretika juga ditekankan oleh negara.
Berbeda dengan program kejuruan atau vokasional yang hanya menyumbang jumlah pengangguran terbesar menurut data BPS pada 2022. Program kejuruan dan vokasional hanya menambah derita kerja-upahan dengan politik upah murahnya. Menciptakan antrean panjang calon tenaga kerja yang berharap diserap industri. Di samping itu juga dalam urusan bisnis negara ini masih lemah. Cek daftar kerugian BUMN, Indonesia masih sedikit memiliki industri murni, dan sektor swasta masih ketergantungan modal asing. Ditambah munculnya gejala prekariatisasi buruh dan perusahaan.
Hal itu ditandai dengan kemunculan perusahaan start-up di mana pendirinya tidak memiliki modal yang kapan pun dapat digantikan dengan manajemen baru dengan aturan barunya, dan buruh-buruhnya tidak mempunyai kepastian kerja. Belum lagi kasus-kasus perusahaan yang gulung tikar akibat kerugian menahun. Kapital di negara ini masih tidak stabil, sehingga patut dicurigai Indonesia masih belum bisa dianggap sebagai negara dengan kapitalisme. Sementara kebanyakan lowongan pekerjaan memberikan syarat yang tidak masuk akal
Lalu JKP dan Kartu Prakerja bukan lagi tidak maksimal, tetapi juga gagal sejak awal. Kedua program tersebut didanai oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). BPJS dan buruh memiliki kaitan sangat yang erat pada momentum Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS). KAJS dianggap oleh sebagian aktivis perburuhan atau anggota serikat buruh sebagai aksi yang progresif. Padahal KAJS tak ubahnya gerakan reformis yang justru malah menghasilkan petaka di masa depan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
KAJS, sejalan dengan negara, menempatkan jaminan sosial sebagai suatu asuransi yang harus dibayarkan. Hal itu dapat dilihat dalam makna iuran, tak ubahnya sebagai sebuah premi dalam asuransi swasta. Artinya setiap orang dibebankan akan suatu harga demi dapat mengakses jaminan sosial. Di samping itu BPJS hanya menempatkan negara sebagai administrator jaminan sosial, bukan entitas yang harus memberikan pemenuhan jaminan sosial.
Apa yang disampaikan Didit Saleh hanyalah menambah rangkaian panjang penderitaan kaum buruh di Indonesia. Pasalnya, apabila negara memang didorong menghapuskan pengangguran, syarat awalnya adalah menghapus relasi kerja-upahan. Artinya menghapuskan corak kapitalistik dalam industri, jika tidak pengangguran akan selalu ada dan tidak pernah lenyap. Memang belum ada cara jitu dalam menghapuskan relasi kerja-upahan. Namun jika negara memiliki political will seharusnya mudah saja.
Negara hanya perlu memanggil semua ahli, pengangguran terdidik, dan profesor yang dapat membongkar praktik kerja-upahan, demi terciptanya masyarakat sosialisme Indonesia seperti semangat sila kelima Pancasila. Di sisi lain perlunya menciptakan pendidikan menciptakan manusia logis, bernalar, serta beretika kuat—bukan kejuruan atau vokasional. Pendidikan penting bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Karena hidup bukan hanya soal keterampilan dan pengalaman kerja, tetapi juga mampu menyelesaikan permasalahan kompleks struktural.
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Tufail Rosyad Abdi