EP ‘Infernonesia’ Jeruji Bastard: Suara Beringas Perlawanan dari Gunungkidul

Angkat isu ketimpangan sosial, Jeruji Bastard resmi rilis EP ‘Infernonesia’ dengan liar, cadas, dan beringas.

Jeruji Bastard secara resmi merilis dan melepaskan EP terbarunya Infernonesia di bawah Balas Libas Records pada Maret 2024 lalu. Band heavy punk inferno kebanggan insan muda Gunungkidul ini melempar EP teranyarnya dalam bentuk rilisan fisik.  

Lima lagu yang direkam di Watchtower Records, Sewon, Bantul ini begitu kental dengan nuansa protes tajam terhadap otoritarianisme kekuasaan. Lahir dan tumbuh besar di Gunungkidul, sisi tenggara kota Jogja membuat Jeruji Bastard sangat akrab dengan beragam bentuk ketimpangan sosial. Keresahan di lingkungan sekitar inilah yang mencoba mereka teriakkan lewat lagu-lagunya yang liar, cadas, dan beringas.

Sejak berdiri pada 2008 silam, band yang kini dipunggawai Rhian Ardian (bas), Bayu Rasmana a.k.a Srowd (vokal), Dendra Hadi Pratama a.k.a Pijar Liar (Drum), Indra Kurniawan (gitar), ini lewat lagu-lagunya (tetap) tegak lurus melawan segala bentuk penindasan dan pengisapan. 

EP Infernonesia (Instagram/jeruji.bastard)

Infernonesia, Menolak Lupa Kejahatan Rezim Otoriter

Menyandang predikat sebagai band bergenre punk, bikin Jeruji Bastard selalu berupaya menjaga marwahnya dan tetap mewakili suara-suara masyarakat akar rumput. Hal ini mereka buktikan lewat Infernonesia.

Saat ditemui di salah satu warung kopi di Kota Wonosari, Dendra Hadi Pratama (drum) menjelaskan bahwa semua lagu dalam EP ini mengangkat tema tentang kebobrokan negara. Drum yang liar memaknai Infernonesia sebagai ungkapan kekesalan mereka terhadap kesemerawutan sistem pemerintahan dalam negeri.

“Inferno kan hal-hal yang berbau neraka. Terus kalau nesia, aku ambil dari kata Indonesia. Ya, secara keseluruhan lagu-lagu di EP ini, berisi tentang angkara dan kebobrokan-kebobrokan di negeri ini. Lima lagu semua saling berkesinambungan. Benang merahnya, ya, soal ambyar-ambyaran itu tadi,” terang pria yang akrab disapa Dendra, Sabtu (15/6).

Konsistensi Jeruji Bastard dalam menyuarakan kebobrokan dan sifat angkara murka ini memang terdengar  jelas dalam album. Lima molotov (baca: lagu) seperti “Hitam Kelam Silam”, “Oligarki”, “1312”, “Pesta Sejuta Dusta”, dan “Balas Libas” semua berisi tentang kemarahan mereka terhadap rezim yang culas dan penuh tipu daya. 

Kelima amarah dalam EP ini mungkin bisa dirangkum dalam satu lagu: “Balas Libas”. Tembang berdurasi 2.07 menit ini seperti menjadi titik ledak dari semua persoalan yang menjadi tema besar Infernonesia. Ini tergambar jelas dalam lirik berikut,

Terinjak tertindas
Para penguasa culas
Usulan dilibas
Moncong represifitas
Balas! Balas! Balas! Balas! Libas!
Menancap membekas
Memori rezim buas
Hak hidup berbatas
Demokrasi yang tewas

Jujur, tanpa tedeng aling-aling, dan apa adanya. Sebuah ciri khas yang begitu melekat dalam setiap lirik yang dimuntahkan Jeruji Bastard. Perpaduan antara lirik lagu yang beringas dengan suara hentakkan drum dan distorsi gitar menyayat, saya rasa sanggup mewakili jiwa yang lama terabaikan, tertindas, dan berontak. 

Persembahan untuk Para Korban Penghilangan Paksa

Saat ditanya mengenai alasan mereka merilis EP dalam bentuk fisik, Dendra mengungkapkan bahwa dia ingin membuat semacam prasasti untuk Jeruji Bastard. 

“Ya, kan kalau ada wujud fisik kayak ada kepuasan tersendiri. Teman-teman pendengar juga bisa menggengam langsung karya ini. Itu aja, sih,” jawabnya singkat.

Aksi panggung Jeruji Bastard (dok. @ikkoardiyanto)

Sementara itu dalam hal membuat lirik, Dendra tentu nggak perlu diragukan lagi. Pria kelahiran Wonosari yang cukup lama berkecimpung di skena musik Jogja ini sangat peka dengan realitas sekitar. Terbukti dari lirik-lirik beringas yang dia rangkai sangat related dengan situasi zaman. 

Pria berkacamata tebal itu menceritakan, bahwa lagu-lagu di dalam EP ini banyak terpengaruh dari band-band seperti The Casualities, Discharge, The Exploited, dan sedikit sentuhan heavy metal ala Motorhead. Gesekan-gesekan dominasi street punk dan heavy metal inilah yang membuat lagu-lagu di EP Infernonesia cukup ganas dan brutal.

“Kebetulan semua lirik lagu di EP ini aku yang bikin. Biasanya, aku nulis lirik dulu, terus tak masukin chord mentah, habis itu tak lempar ke teman-teman. Misal semua sudah sreg, kami langsung ke studio untuk menyempurnakannya,” terang Dendra.

Beberapa lirik lagu dalam EP ini terinspirasi dari kisah kelam korban-korban tragedi kemanusiaan tahun 1965 dan penghilangan paksa di era Orde Baru. Bahkan secara khusus, lagu “Hitam Kelam Silam” didedikasikan untuk mengenang Wiji Thukul dan Marsinah. Dua aktivis pembela kebenaran sekaligus simbol perlawanan yang dihilangkan secara paksa oleh penguasa kala itu.

Kebenaran menjadi ancaman
Hingga harus dipaksa dihilangkan
Dibinasakan tanpa peradilan
Pada kami dendam kau tanamkan
Hitam! Kelam! Silam!
Bongkar! Bongkar dan tuntaskan!
Suara kebenaran dipenjarakan
Penuntut keadilan dilenyapkan
Dinding arogansi kekuasaan
Hitam kelam silam harus dituntaskan
Untuk Marsinah
Tuk Wiji Thukul
Bongkar dan tuntaskan!

Begitulah teriakkan Jeruji Bastard dalam lagu “Hitam Kelam Silam” yang memotret kasus-kasus penghilangan paksa tanpa peradilan pada masa Orde Baru. Dendra berujar, lagu ini juga untuk mengingatkan kembali kalau dulu pernah ada peristiwa kelam yang sampai sekarang perkara itu semakin nggak jelas juntrungannya.

Alih-alih menuntaskan kasus tersebut, kini penguasa justru berjabat erat dengan orang-orang yang diduga terlibat kasus pelanggaran HAM. Sebuah anomali politik yang diprotes dengan tajam, padat, dan pekat oleh Jeruji Bastard.

Berulang kali Bongkar-Pasang Personil, Infernonesia Jadi Titik Berangkat Baru

Harus diakui bahwa Infernonesia menandai bangkitnya skena punk di Gunungkidul. Sebagai salah satu ‘sesepuh’ band punk di Bumi Handayani, Jeruji Bastard seperti membangunkan dan menggebrak kembali jiwa-jiwa pemberontak di selatan Kota Jogja ini.

Dendra mengakui, sejak berdiri pada 2008 lalu, band yang sering nongkrong di Burgassy Studio ini memang berkali-kali harus bongkar-pasang personil. Formasi awal band ini digawangi oleh Dendra (drum), Osep (gitar), Gilang (vokal), dan Nopen (bass). Barisan ini pada tahun 2009 sempat merekam beberapa lagu, seperti “Satpol PP” dan “Pembuktian”.

“Pas selesai rekaman EP pertama itu, bassist dan vokalis kami keluar karena ada satu dan lain hal. Lalu, Lukman masuk jadi vokal, Brivit pegang bass. Formasi ini bertahan sesaat sebelum akhirnya gitaris kami, Osep, meninggal dunia,” kenang Dendra.

“Dia sempat nonton ngasih support band aku yang satunya lagi, Brutal Tragedy, main.. Dan, itu terakhir kalinya aku lihat Osep,” lanjutnya.

Sepeninggalan mendiang Osep a.k.a Oz Skin (ex gitar) pada 2010 lalu, Jeruji Bastard memang sedikit goyah. Dendra merasa sangat kehilangan tandem. Di matanya, Osep adalah sosok yang paling militan dan amat sangat loyal di komunitas. Ini yang kemudian bikin Dendra pada 2012 mengambil jarak sejenak dari Jeruji Bastard dan lebih fokus di Brutal Tragedy. 

Singkat cerita, Kenanta Nan Baladika a.k.a Tata (bass), Gilang Pamungkas (vokalis formasi awal), dan beberapa kawannya, pada tahun 2015 mencoba membangunkan kembali band ini dengan merekam beberapa single, seperti “Polishit”, “Come on Drunk with Me”, dan “Sure in This Way”. 

Keluarnya beberapa single ini menjadi angin segar yang disambut gembira di kalangan skena musik punk Gunungkidul. Perlahan tapi pasti, nama Jeruji Bastard mulai terdengar lagi.

Sayangnya, band ini harus kembali kehilangan beberapa personilnya. Gilang (vokal), tahun 2016 harus meninggalkan band ini karena ada kesibukan lain di luar Gunungkidul. Sementara pada tahun 2018, Tata pulang ke pangkuan Tuhan Yang Maha Kuasa. Saat itu, sempat terdengar kabar miring di kalangan skena musik Wonosari kalau Jeruji Bastard sudah bubar.

Personil Jeruji Bastard (dok. @ibnustwnaji)

Namun kabar tersebut ditangkis tegas oleh Dendra dan Srowd (vokalis). Kedua penggagas kebangkitan Jeruji Bastard itu, menegaskan bahwa band ini bangkit dari pengasingan. Mereka seakan nggak rela band yang sudah menjadi bagian dari hidupnya itu tenggelam sirna.

“Band ini udah diperjuangkan sama dua orang sampai akhir hayatnya (Osep, Tata). Kalau nggak ada progres dan nggak dilanjutkan, ya, eman-eman to. Akhirnya beberapa kawan tak ajak bangkit lagi, lalu merekam beberapa single, yang akhirnya jadi EP Infernonesia ini,” jelas Dendra.

Pria yang juga vokalis/gitar band folk Panglima Kumbang itu berharap dengan keluarnya Infernonesia ini bisa membentuk pola pikir pendengar agar lebih kritis, skeptis, dan berani bersuara. Baginya, musik bisa menjadi alat penggebuk yang efektif untuk sistem pemerintahan yang macet dan busuk.

Sebagai salah seorang yang berpengaruh di skena musik Gunungkidul, Dendra juga berharap agar band-band lokal lebih berfokus pada pesan yang ingin disampaikan. Identitas diri sebagai band Gunungkidul juga harus dipertebal dan diangkat ke permukaan.

“Ya, secara pribadi sih, pengin teman-teman di skena ini bisa mengangkat tanah kelahirannya. Entah fungsinya sebagai kebanggaan dari mana mereka berasal atau siasat mereka dalam menjaga Bumi Handayani. Jadi, nggak sebatas gebyar dan ingar-bingar doang, tapi harus ada esensinya,” pungkasnya mengakhiri percakapan sore itu.


Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: dok. More Than Stage

1 comment
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts