Tulisan ini diketik di pondokan KKN Dusun Guyangan Kidul, tepatnya di tengah kamar remang berukuran 3 x 4 meter. Setelah menjalani kegiatan Kuliah Kerja Nyata selama dua pekan lebih, saya rasa, saya harus membagikan cerita pada siapa saja yang ingin membaca tulisan ini. Karena KKN punya banyak cerita, tapi kali ini sepenggal saja.
Tepat pada tanggal 3 Januari 2020 kami diterjunkan, pikiran yang ada di benak saya adalah bagaimana saya dan teman-teman satu kelompok bisa berbaur dengan masyarakat. Meski pada awalnya sulit, karena terkendala perbedaan bahasa dan kebiasaan, lama-lama perihal itu berangsur membaik, meski kadang sulit untuk dibangun lagi.
Kebiasaan dari kami masing-masing yang kerap dilakukan di rumah, seringkali muncul setiap hari, yakni tiduran di kamar dengan gawai yang tergenggam erat di tangan. Hal semacam itulah yang membuat interaksi antara kami dengan masyarakat tidak berjalan dengan baik. Kami kurang terbuka untuk mereka yang selalu dan akan terus menerima.
Beranjak ke pertengahan bulan, kami disibukkan dengan sebuah kewajiban, yakni menjalankan program-program yang mampu membawa warga setempat beranjak menuju tingkatan yang lebih baik.
Singkat saja, dusun yang kami singgahi berada di daerah yang bisa dikatakan berada diantara tingkat kemiskinan dan ketercukupan. Akan tetapi, daerah ini memiliki sumber daya dan potensi yang bisa dikembangkan, melalui sumber daya alam dan manusia. Melalui program kerja yang sudah direncanakan, seperti pelatihan mengolah hasil bumi untuk dijadikan produk makanan, diharapkan mampu mendongkrak perekonomian warga setempat.
Hal baik harus berjalan dengan baik.
Semakin lama saya berada di dusun ini, keakraban dengan warga sekitar semakin erat. Apalagi setiap hari disuguhkan deretan bukit yang memanjakan mata, dengan kabut dimalam hari, dan udara dingin dipagi hari.
Bahkan dengan pak lurah yang tinggal di dusun yang berbeda dari tempat saya, sudah seperti rekan. Keakraban itulah yang membuat saya selalu betah. Malahan saya sering anjangsana ke rumah beliau, untuk sekedar kongko, hingga mengadakan perjamuan kecil-kecilan. Dari obrolan-obrolan itulah muncul sebuah referensi maupun obsesi. Juga petuah-petuah dari beliau yang bisa dijadikan bekal umtuk orang muda semacam saya. Hal lain yang sukai adalah keramahan warga terhadap saya.
Bagaimana tidak, setiap saya duduk-duduk di teras rumah, pagi hingga malam, selalu saja ada warga yang lewat kemudian menyapa, “monggo mas.” Mau harus mau, saya menyapanya balik. Hampir sebulan saya berada di Guyangan Kidul, saya dan teman-teman merasa sudah menjadi anak sendiri bagi keluarga bapak dan ibu di pondokan. Ke mana mereka pergi, kami ikut. Bahkan kami piknik bareng.
Sebenarnya masih banyak hal yang mesti saya ceritakan, seperti perihal cinlok dan permasalahan yang mengganggu jalannya KKN. Tetapi hal itu menurut saya sebagai bonus, agar kegiatan ini lebih berwarna dan tidak membosankan.
Pada akhirnya, tulisan ini selesai dua hari setelah dimulai. Karena alasan masih ada kerjaan penting selain mengetik tulisan ini, termasuk memeng diantaranya.
Guyangan Kidul,
Januari 2020.
tjakep!
Cakep apanya ni? Yang jelas dong..