Konon, sekularisasi dibuat untuk melenyapkan yang religius, atau setidaknya menenggelamkannya di palung-palung terdalam hamba sehingga gemanya tak lagi ikut campur dalam banyak urusan. Hal tersebut dimungkinkan untuk terjadi karena yang religius dianggap sebagai biang keladi kemunduran peradaban dan tindak tanduk tak manusiawi. Meskipun demikian, pada akhirnya sekularisasi memiliki problem-problemnya sendiri dan menuntut yang religius kembali. “The return of religious,” begitu istilah dari Jhon D. Caputo.
Kembalinya yang religius, menunjukkan bahwa manusia tak bisa dipisahkan dari keberadaan Tuhan. Manusia akan selalu merindukannya. Kebutuhan orang-orang akan ruang spiritual, untuk merasakan yang transenden itu mengalami peningkatan hari ini. Namun di era pasca-sekularisasi, kita dapat sedikit bertanya: religiusitas seperti apakah yang dinginkan manusia? Iman seperti apakah itu? Apakah tak ada perbedaan dengan yang sebelumnya?
Sebelum sekularisasi, Tuhan diletakkan di atas meja bedah analisis rasional. Ia dihadirkan dalam buku-buku apologetika para teolog yang tak ada habisnya. Mereka berusaha merasionalisasi Tuhan. Nampaknya, para teolog cukup berhasil melakukannya, sehingga Tuhan menjadi tak lebih dari serangkaian rumus-rumus penalaran matematis, yang keberadaannya berjarak dan tak lagi mungkin digapai kecuali melalui logika-logika hambar.
Kitab suci pun tak luput dari pembacaan model seperti itu. Alhasil, ia tampak problematik. Muncullah klaim-klaim misalnya, apakah kisah-kisah dalam kitab suci merupakan fakta historis, atau kitab suci sekadar kitab panduan moral, apakah ia hanyalah alat mengkonsolidasi dan mendisiplinkan massa, atau sebagai afirmasi Homo sapiens atas antroposentrisme sejak era agrikultur pertama kali hingga sekarang. Dampaknya, kesakralan kitab suci pun runtuh.
Ketika sakralitas runtuh, maka pada saat yang sama, Tuhan pun bertemu dengan kejatuhan-Nya. Agama tampak sebagai omong kosong. Lantaran demikian, Karen Armsrtong melalui buku The Lost Art of Scripture melancarkan kritik terhadap modus keimanan tadi, atau setidaknya mengevaluasinya dengan melihat ekses-ekses keimanan yang mulai mengkhawatirkan.
Otak Kiri dan Kanan
Perlu diketahui manusia sejatinya tak dapat mengakses langsung realitas. Hal itu bukan sekadar fakta filosofis yang dikemukakan Immanuel Kant melalui teorinya (baca: Revolusi Kopernikan II) bahwa objek sepenuhnya menyesuaikan dirinya pada kondisi subjektif-transendental pikiran, tapi juga merupakan fakta neurosains: bahwa pengetahuan manusia tak lebih dari hasil produksi satu sudut padang melalui jejaring sistem saraf yang kompleks. (hlm.12)
Oleh karena itu, pengetahuan hanyalah representasi realitas, atau yang secara radikal dikatakan oleh Karen Amstrong sebagai “ilusif”. Hal ini tak hanya berlaku pada ilmuwan atau filsuf, tapi juga pengetahuan teolog, mistikus, dan agamawan tentang Tuhannya. Maka Tuhan selama ini dan untuk selanjutnya tak akan pernah diketahui secara langsung, tapi sebatas representasinya semata. Ia hadir dalam suatu bentuk rekonstruksi hologramik dalam pikiran. (hlm.12)
Temuan neurosains itu menjawab pertanyaan mengapa berkembang kemajemukan interpretasi dan teori dalam bidang pengetahuan apa pun yang tiada habisnya. Sains kealaman dianggap sebagai pengetahuan yang bersifat relatif, artinya suatu temuan yang dianggap dapat menjawab suatu problem sains, di lain waktu dapat diganti oleh temuan lainnya yang lebih presisi. Tapi tampaknya, berdasarkan tuturan Karen, relativitas akan dimiliki semua pengetahuan, tidak terbatas hanya pada sains saja.
Meskipun demikian, temuan itu tidak mengisyaratkan bahwa Tuhan tidak ada. Hal itu dapat digambarkan dengan perumpamaan fenomena melihat kedalaman dasar sungai dari permukaan. Beberapa orang memiliki pengamatan yang lebih presisi sehingga dapat melihat detail-detail dasar sungai yang tidak teramati oleh orang yang lain. Ia yang tidak teramati, barangkali terlewatkan, bukan berarti tidak ada. Akan tetapi, yang tidak teramati itu justru mungkin tidak ada. Ia dihadirkan melalui modus tertentu.
Perdebatan kontroversi keberadaan Tuhan akan tetap menjadi abu-abu. Paling banter, para pendukungnya dapat bertahan melalui teori prima causa, bahwa ada penggerak dan pencipta tertinggi bagi seluruh kehidupan. Di kubu lain para penolaknya dapat mengajukan teori saintifik dan filosofis, seperti teori Big Bang yang secara implisit menunjukkan bahwa alam muncul dengan sendirinya, dari sebuah kerapatan yang amat lalu meledak, membesar, dan meluas menjadi galaksi tak berujung seperti sekarang ini.
Izinkan saya mengutip tuturan Bleise Pascal, Sang Apologetik menurut istilah F. Budi Hardiman dalam buku Pemikiran Modern, tentang la pari (pertaruhan): “Kalau kau percaya (akan adanya Allah), jika kau menang, kau memenangkan segalanya, kalau kalah (ternyata Allah tak ada), kau tidak kehilangan apa pun, jadi kau percaya jika kau dapat.” Kendati terkesan lari dari pokok pembahasan dan agak menipu, setidaknya hal ini menjadi obat bius yang mendamaikan area abu-abu tersebut.
Yang lebih fatalistik lagi, disampaikan oleh Rumi. Ia mengandaikan keimanan seperti berlayar tanpa arah yang boleh jadi akan sampai pada tujuan atau tidak sama sekali setelah karam ditelan samudra. Seorang beriman memang berjalan dengan rasa bimbang dan gelisah. “Unggahlah muatan dan berangkatlah berlayar,” kata Rumi sebagaimana yang dikutip oleh Goenawan Mohamad dalam salah satu esainya. Dalam hemat pribadi, ini seperti mencakar-cakar dalam gelap yang mungkin akan menemukan sesuatu.
Terlepas dari itu, agama tak lain merupakan upaya tanpa batas manusia untuk terus terhubung dengan Tuhan. Sayangnya, hubungan itu kian kandas. Sejak kecenderungan pada rasionalitas menguat, lalu memuncak di era modernitas, di mana negeri-negeri Barat secara terang-terangan menolak ekses agama dan menempatkannya di bilik-bilik sudut kota, Tuhan kehilangan daya magisnya. Ia telah menjadi dokumentasi doktrin menakutkan dan perlu dihindari.
Menurut Karen, dalam neurosains setidaknya otak terbagi atas dua belahan, yaitu otak kiri dan kanan. Otak kiri bersifat analitis dan selektif. Ia berguna memecahkan masalah, membangun konsep, dan cenderung reduktif. Apa yang kita sebut sebagai pengetahuan ilmiah bersumber dari otak kiri. Perannya sangat penting membangun kesejahteraan fisik dan emosi umat manusia hingga bisa seperti sekarang ini. (hlm.13)
Berbeda dengan otak kanan yang bersifat holistik dan abstrak. Pada belahan ini seni, musik, dan agama berkembang. Otak kanan memungkinkan manusia merasakan hal-hal yang sama sekali tak bisa dijangkau indra dan merasakan kesatuan dalam berbagai kemajemukan realitas. Dua hal ini, misalnya dapat kita rasakan saat menikmati musik yang disukai, tenggelam dalam munajat kepada Tuhan, merasakan sedih (empati) ketika petaka menimpa orang lain. (hlm.14)
Mirisnya, lanjut Karen, seiring menyongsongnya fajar kemajuan yang diperoleh dari otak kiri, ia menjadi diunggulkan atas belahan lainnya. Pendidikan modern diinvestasikan sepenuhnya atas pengembangan modus berpikir ala otak kiri (rasional), sehingga otak kanan pun terpinggirkan, “minor”. (hlm.15) Tidak heran bila manusia modern tergagap-gagap belakangan ini. Keimanan mereka terlalu sibuk dipenuhi teori yang membatasi, padahal Ia tak pernah terdefinisikan dan tak bisa dibatasi.
Misalnya, kata mitos yang dulu menjadi penting bagi modus keberimanan, kini disinonimkan dengan fiksi atau omong kosong. Padahal mitos ialah upaya yang digunakan untuk mengungkapkan kehadiran yang tak terjangkau sekaligus lekat. Mitos tak bisa dibuktikan secara logis dan empiris, sebab ia menempati belahan otak kanan. Ia memungkinkan seseorang berada dalam kondisi spiritual dan psikologis yang tepat. Sebab itu, ia erat kaitannya dengan ritual. (hlm. 21)
Ritual dan mitos atau ritual dan kitab suci merupakan keberadaan yang mutlak, ia harus selalu ada, bahkan pada titik tertentu ritual itu justru lebih urgen. Ketika kisah-kisah mitologis dalam kitab suci dihadirkan tentu beberapa akan tampak problematik. Dalam doktrin Kristen, Yesus merupakan reinkarnasi anak Tuhan, menurut Karen “berakar dalam praktik ritual, dan tidak memiliki keutamaan dalam kitab suci”. (hlm. 22) Belakangan, kitab suci kerap kali dibedah secara “akademik” lalu dianggap bualan agamawan.
Pisau bedah saintifik dan empirik yang mendominasi otak kiri, meski begitu gagah membuat berbagai kecanggihan piranti praktis bagi kesejahteraan, tentu ia akan tetap gagal apabila sepenuhnya digunakan memahami sesuatu yang bukan kemampuannya. Klasifikasi fungsi ini tidak dimaksudkan bahwa kedua belah otak ini terpisah dan bekerja sendiri-sendiri. Keduanya serempak dan saling membutuhkan, namun tetap ada sisi di mana paling dominan.
Misalnya dalam sebuah eksperimen sebagaimana ditulis Donald B. Clane dalam Batas Nalar: Rasionalitas dan Perilaku Manusia menerangkan bagaimana ketersalingan tadi. Seorang yang mengalami operasi sebab penyakit sehingga jembatan penghubung kedua otaknya harus dipotong memiliki kesulitan waktu diminta menyebutkan benda apa di tangan kananya dan hanya melihat dengan mata sebelah kanan. Jelas sebab kemampuan bahasa ada di belahan otak kiri.
Lantas, bagaimana keimanan itu harus dijalankan?
Akhirnya, kita perlu bersikap proporsional pada keimanan. Dengan menyadari keterbatasan rasio, lalu mulai menempatkannya pada posisi yang semestinya, maka sedikit demi dikit kita mulai bergerak pada sikap yang semestinya pula.
Catatan: Ulasan ini dibuat setelah membaca pengantar dan tiga bab buku Karen Armstrong, The Lost Art of Scripture (2019).
Editor: Michael Pandu Patria
Foto sampul: twitter/thegammaway