#IndonesiaGelap: Sudah Waktunya Bunga Mekar dan Akarnya Lesak Memberontak

Setidaknya, tagar #IndonesiaGelap jadi gerakan kekecewaan dan apa yang dirasakan rakyat atas kinerja pemerintah.

Di tengah carut-marutnya kondisi negara, di antara arus informasi yang diperbarui tiap pergantian menit, belum lagi masalah pribadi yang datang silih berganti, tetap harus ada alokasi waktu untuk merenung dan menyendiri. Oleh karena itu kuambil sedikit porsi insomniaku untuk menyelesaikan buku yang tertunda diselesaikan, berjudul Musik Protes karya Soni Triantoro. “Semoga bisa bikin cepat tidur,” harapku.

Alih-alih terlelap, aku malah memutar salah satu lagu yang dibahas dalam buku tersebut dan berujung memaknai mandiri karya Bunga dan Tembok oleh Fajar Merah. Lagu ini menjadi lebih berkesan setelah aku mengetahui fakta bahwa yang kudengarkan ini adalah musikalisasi puisi yang ditulis Wiji Thukul, seorang aktivis HAM Indonesia dan dilantunkan oleh anaknya sendiri.

Fakta kedua, di platform Spotify terdapat dua versi Bunga dan Tembok. Kalau mau lebih meresap dan menyayat hati, dengarkan yang penyanyinya Fajar Merah ft. Cholil Mahmud. Kalau mau yang lebih pop, dengarkan versi Merah Bercerita. Bebas mau mendengarkan versi yang mana, asalkan tolong sama-sama dihayati.

“Seumpama bunga
Kami adalah yang tak kau hendaki tumbuh
Seumpama bunga
Kami adalah yang tak kau hendaki adanya”

Melihat dari latar belakang terciptanya lagu Bunga dan Tembok dan didukung vokal dari sang penyanyi juga instrumen pengiringnya, secara sekilas dapat memberikan kesan bahwa “kami” di sini mengacu pada tokoh yang lebih lemah yang suaranya diabaikan dan cenderung ingin dimusnahkan oleh sosok “kau”. Sementara “kau” di sini digambarkan sebagai sebuah entitas yang hobi berbuat seenaknya dan terkesan tidak mau mendengar sosok “kami”. Singkatnya, “kami” adalah orang “kecil”, sedangkan “kau” adalah pihak yang jauh lebih digdaya. 

Dalam pemutaran yang pertama kali, aku langsung tertarik dengan diksi “bunga”, “tembok”, dan “hancur”. Kata yang umum memang. Namun berkat aransemen dan pembawaan Fajar Merah yang tenang dan penuh penekanan di setiap katanya membuat impuls di otakku mengorelasikan ingatan tentang sebuah ilmu alam dari sebuah ensiklopedia favoritku saat masih sekolah dulu.

Pemilihan perumpamaan “kami” sebagai “bunga” menurutku sangatlah cerdas. Bunga memiliki karakteristik yang beraneka ragam rupanya dan di saat bersamaan ia lemah karena rentan dipetik atau rontok. Selain mengandung keindahan, bunga juga merupakan bagian penting dari tumbuhan. Jika tidak ada bunga, tidak akan ada biji. Jika tidak ada biji, tidak akan terjadi reproduksi. Jika tidak bereproduksi, tumbuhan akan langka, lalu habis meninggalkan selarik nama.

“Kau” mendapat julukan “tembok”. Supaya mudah, bayangkan saja seperti tembok yang biasa kita temui sehari-hari, yang umumnya terbuat dari batuan, direkatkan dengan semen, dan dilapisi dengan cat, terkadang lapisan anti rembes juga. Dengan ukurannya yang tinggi, besar, dan kokoh, tembok ini seakan-akan tampil dengan tampang yang hanya bisa dihancurkan oleh hantaman buldoser atau guncangan gempa. Oleh karena itu, rasanya “tembok” sudah cocok untuk digunakan sebagai perumpamaan bagi pihak yang “merasa berkuasa atas segalanya” (ups).

“Kau lebih suka
Membangun rumah merampas tanah
Kau lebih suka
Membangun jalan raya membangun pagar besi”

Berbicara tentang bagaimana tumbuhan bisa tumbuh dan hidup, salah satu syarat yang perlu dipenuhi adalah tersedianya media tanam atau substrat. Umumnya substrat dapat menggunakan tanah, air (hidroponik) atau bahkan batu-batuan selama kandungannya terpenuhi. Oleh karena itu, tidak jarang kita menemukan tumbuhan yang tumbuh di pinggir jalan, di sela-sela paving, bahkan dengan jenis tertentu merambat di tembok rumah. 

Kodratnya, semakin tua tumbuhan maka semakin punk lapisan akarnya makin tebal, ukurannya makin besar, dan jangkauan akarnya makin luas untuk menyerap zat dan mineral sebanyak-banyaknya. Jika pertumbuhannya tidak dikontrol, hal ini dapat berefek jangka panjang pada kerusakan media tanam dan area di sekitarnya. Pernah mendapati bahu jalan yang tidak rata (bahkan pecah) karena ada akar pohon menyembul di atasnya? Nah itu salah satu contoh kerusakan akibat media tumbuh tidak dapat menahan tekanan dari si akar pohon. Tentu hal ini tidak bisa disalahkan, sebab secara alamiah akar tumbuh secara organik.

(dok. Mojok.co)

Menurut ilmiah, peristiwa di atas termasuk ke contoh pelapukan batuan faktor biologis karena adanya aktivitas makhluk hidup, entah itu tanaman yang tumbuh ataupun karena kehidupan makhluk mikroskopis seperti bakteri. Sedangkan melalui sudut pandang pergerakan, menurut Fajar Merah (dan Wiji Thukul), justru ini adalah simbol kemenangan. “Pelapukan” inilah yang diharapkan para “bunga” dan seharusnya dikhawatirkan oleh “sang tembok” sedari awal (bukannya malah ditantang!). Karena kehancurannya bisa jadi bukan karena hantaman alat berat, melainkan aktivitas dari “tumbuhan berbunga” yang tanpa ia sadari telah tumbuh menjalar di atasnya. 

Baru sekitar 100 hari sejak visual garuda Pancasila yang pernah muncul dengan latar belakang biru elektrik bertuliskan “Peringatan Darurat” pada tahun 2024 kini warnanya telah berganti hitam. Tidak lupa tagar #IndonesiaGelap sebagai label gerakan yang mungkin tidak akan muncul jika rakyat merasakan kebijaksanaan dan kepuasan akan kinerja pemerintah. Gelombang kemarahan masyarakat semakin naik seiring kekecewaan akan hak dan intelektualitasnya yang seakan-akan ditantang dan dipermainkan.

Belum juga sempat mereda, tiba-tiba band punk Purbalingga, Sukatani, mengunggah video permohonan maaf dan klarifikasi terkait penarikan salah satu karyanya yang berjudul Bayar, Bayar, Bayar dari seluruh platform musik. Diduga ada pihak (mungkin bagian dari “tembok”) yang merasa dirugikan oleh lagu tersebut.

Kejadian ini menambah direktori kasus pembungkaman seni di masa kepemimpinan Kabinet Merah Putih yang bahkan baru menjabat seumur jagung. Sebelum kejadian Sukatani juga telah terjadi pembatalan acara pameran lukisan Yos Suprapto di Galeri Nasional dan pentas Teater Payung Hitam di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung. Miris melihat kesenian “diusir” dari rumahnya sendiri. Seakan-akan drama anak tiri berpindah dari layar televisi ke fasilitas publik. Parah.

Kalau sudah begini, siapa yang tidak naik pitam jika kebebasan berekspresi pun dibatasi sedemikian rupa? Beruntung masyarakat (setidaknya di sirkel terdekat dan spektrum algoritma media sosialku) masih waras. Reaksi yang muncul di publik mungkin tidak disangka oleh “para tembok”.

Pembatasan ruang yang mereka sangka dapat meminimalisir potensi kehadiran publik malah meledak dan semakin mendapat eksposur. Yang tadinya tidak tahu menjadi tahu. Yang tadinya pameran tersebut mungkin hanya dihikmati oleh penikmat seni yang jumlahnya tidak seberapa itu, malah kini khalayak umum dapat menyaksikannya, dengan gratis pula! Inilah yang contoh nyata Streisand Effect.

Kuucapkan terima kasih tak terperi pada siapapun yang menggunakan segala kapasitas dan kompetensinya untuk mengamplifikasi dan meningkatkan kesadaran publik. Netizen dengan segala macam template Instagram stories-nya. Pelajar, mahasiswa, serikat pekerja, hingga masyarakat sipil dengan macam-macam aksi unjuk rasanya. Musisi dengan aset visual panggungnya yang ditampilkan saat pentas. Ilustrator dengan poster-poster digital yang dibuat murni dengan tangan dan keahlian manusia tanpa bantuan akal imitasi (read: AI, artificial intelligence).

Jurnalis pop dengan tulisan berbasis data yang digodok sedemikian rupa agar dapat dipahami publik dengan mudah. Admin media independen beserta reportase jalanannya. Fandom grup musik mancanegara yang menggalang project berbasis kemanusiaan, serta masih banyak lagi aktor-aktor kemanusiaan yang tidak sanggup kusebutkan satu per satu. 

Kumpulan karya ilustrasi dari X dengan tagar #ArtistBersuara

Beragam gelaran pergerakan kolektif dari seluruh lapisan masyarakat yang tiada putus merupakan visualisasi nyata dari “biji-biji bunga” telah tersebar. Varietas “bunga” inilah yang diharapkan oleh Wiji Thukul dan Fajar Merah untuk tumbuh bersama. Mau seberapa besar ambisi “tembok” untuk mengenyahkan “bunga”, dengan keyakinan penuh  biji-biji tadi tinggal menunggu waktu untuk tumbuh dan mekar bersama di atasnya. Karena “bunga-bunga” ini tahu kekuatan akarnya yang terus menekan, menancap, dan melesak mengakibatkan substratnya  hancur dengan sendirinya suatu saat nanti. 

Tulisan refleksi ini kututup dengan salah satu bait dari lagu Nyanyian Kami karya lain Fajar Merah:

“Sejenak bicarakan nurani
Bukan hanya hujat menghakimi
Kami pun ingin bicara tanpa ancaman
Tapi jika tuan dan puan tetap ingin bermain peran
Kami akan terus menulis, melukis, dan bernyanyi!”


Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Tiara Afriani

Penulis

  • Balma Bahira Adzkia

    Perempuan yang sangat senang mempelajari manusia juga cara kerja otak komputer. Dia gemar mengikat ilmu dengan tulisan dalam berbagai format: skrip coding algoritma hingga catatan harian sebelum tidur | @balmabahiraa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

EP 'Harapan' The Cottons: Berbanggalah dengan Harapan

Next Article

Senandung Kebun #3: Singgah Sebentar di Konser Musik Intim, Magis, dan Kontemplatif

Related Posts