Fanatisme dalam Selera Musik

Fanatisme dalam Selera Musik
Foto: Danny Howe

Media sosial belum lama ini diramaikan dengan persoalan terkait pernyataan Baskara Putra, vokalis .Feast yang mengatakan kalau generasi muda saat ini sudah tidak lagi mendengarkan musik bergenre rock. Alasannya, mendengarkan musik rock terus-menerus akan membuat bosan. Pernyataan tersebut seketika dipatahkan Gofar Hilman dalam video ”#NGOBAM Baskara Putra” yang diunggah di Youtube dengan durasi satu jam empat belas menit tiga puluh enam detik. Gofar Hilman langsung menyela “gue masih denger sih” pada durasi 49:24-49:29.

Tak terima dengan pernyataan Baskara, beberapa penggemar musik rock langsung menyatakan ketidaksukaannya terhadap perkataan sang vokalis. Sampai-sampai wawancara mengenai lagu Peradaban milik .Feast dalam video “Wawancara .Feast –  Musik Medcom” yang diunggah oleh medcom.id menjadi bulan-bulanan beberapa penggemar musik rock. Pernyataan para penggemar musik rock itu merupakan satire yang seakan-akan mendukung pernyataan Baskara yang menganggap kalau Peradaban adalah lagu yang keras melebihi lagu metal manapun  –durasi 03:59-04:09—. Dampak yang bisa khalayak rasakan adalah banyaknya meme yang berseliweran terkait polemik tersebut, mulai dari meme yang bermaksud sekadar mencari hiburan saja atau yang ikut-ikutan agar suasana semakin panas.

Lalu apakah ada hubungannya dengan fanatisme? Fanatisme dalam KBBI memiliki arti keyakinan (kepercayaan) yang terlalu kuat terhadap ajaran politik, agama, dan sebagainya. Istilah fanatisme memang lekat pada segala aspek, tapi apakah fanatisme juga merambah pada ranah permusikan? Fanatisme dapat membutakan individu. Ini disebabkan oleh suatu kelompok yang diikutinya atau ideologi yang dianut. Fanatisme bisa mengacu pada intoleransi dan diskriminasi. Sebabnya, muncul rasa benci yang berpedoman pada sikap superioritas pada kelompok sendiri. Mereka juga cenderung memandang pihak lain lebih rendah atau inferioritas (memiliki mutu yang rendah).

Seseorang yang memiliki selera musik berbeda dalam satu lingkaran kehidupan sosial cenderung dikucilkan. Mereka tidak diberi ruang untuk memperkenalkan musiknya karena dianggap musik tersebut aneh, tidak cocok di telinga, dan merasa kalau itu bukanlah “identitas” dari lingkaran kehidupan sosial tersebut. Nyatanya perkara itu masih wajar dan mudah ditemukan dalam suatu pertemanan, bahkan suatu band. Sebut saja Aksan Sjuman, mantan drummer Dewa 19 yang dikeluarkan karena pukulan drum Aksan dinilai terlalu jazz.

Seseorang menjadi fanatik karena terbentuk dari pengaruh sosial. Pun, seseorang bisa punya kecenderungan untuk mempertahankan identitasnya dengan menolak keberagaman yang ada di sekitar. Fanatisme dapat menumpulkan pemahaman akan karakteristik individu orang lain untuk melihat benar dan salah.

Polemik tentang selera musik di Indonesia sudah lama terjadi. Tercatat, polemik tentang selera musik di Indonesia sudah ada pada era 1970-an ketika muncul istilah “Kampungan vs Gedongan”.  Itu merujuk pada musik rock dan dangdut. Idhar Resmadi dalam buku “Jurnalisme Musik dan Selingkar Wilayahnya” mengatakan, majalah Aktuil dan Rolling Stones Indonesia memberitakan gesekan penggemar antar kedua selera itu dengan cukup mencolok. Musik rock dinilai sebagai musik gaul, terdidik, dan penikmatnya mayoritas anak muda. Berbeda dengan musik dangdut, yang dianggap sebagai musik kelas bawah, musik bagi orang tak berduit, dan penggemarnya pasti bukan orang terdidik karena dianggap vulgar dan seronok. Namun, jika menelaah beberapa lagu Rhoma Irama, raja dangdut tersebut menggunakan lagu justru sebagai sarana untuk berdakwah.

Bukan tanpa sebab pergesekan tersebut muncul. Peran media cetak pada masa itu cukup berpengaruh. Majalah Aktuil digandrungi oleh anak muda karena konten-konten dalam Aktuil memuat tentang budaya barat, termasuk musik rock. Maka dari itu Aktuil dapat disebut pendukung selera musik rock. Dalam beberapa kasus, dangdut pernah dipaparkan dalam Aktuil dan beberapa media cetak lain, namun terkesan mengolok-olok dan mencerca.

Terdapat dua pernyataan dari tiap kubu yang terkesan menohok. Pertama, Benny Soebardja, personel The Giant Step mengatakan kalau musik dangdut adalah “musik tai anjing”. Sedangkan, Rhoma Irama sebagai musisi dangdut membalas komentar Benny Soebardja dengan mengatakan kalau musik rock adalah “musik terompet setan”  (Resmadi, 2018, p. 131).

Selera merupakan pergumulan batin tiap individu dan tidak dapat dipaksakan kepada orang lain untuk sama-sama menyenangi selera kita. Apalagi jika kita sendiri juga menutup diri saat orang lain memaksakan seleranya untuk kita senangi; selera merupakan karya seni yang indah, diciptakan individu untuk dirinya sendiri. Seperti yang Platon kemukakan kalau kenyataan bahwa karya-karya seni itu indah tetap tidak memadai untuk dijadikan argumen. Padahal menurut Platon keindahan – yaitu satuan ukuran, proporsi, dan harmoni – memang patut dihargai (Hauskeller, 2015, p. 12). Seni yang bermakna adalah seni yang mampu mengajari manusia untuk mengendalikan nafsunya, untuk menjalani hidup dengan kebajikan serta mencari kebenaran (Hauskeller, 2015, p. 14).

Penulis mengajak khalayak untuk bersama-sama saling menyemangati dunia permusikan di Indonesia apapun genre yang khalayak senangi. Pasalnya, jika ingin bicara tentang toleransi yang minim di Indonesia, kita sebagai penikmat salah satu genre seharusnya bisa menghargai selera orang lain sebagai pengejewantahan dari toleransi yang didambakan Warga Negara Indonesia. Toh, toleransi masih utopis untuk direalisasikan dengan sebab sektarianisme masih kental dalam pola pikir masyarakat Indonesia.

Penulis mengutip juga semangat dalam sebuah utas cuitan yang dibuat oleh mantan personel Banda Neira, Ananda Badudu dalam postingannya di Twitter pada tanggal 26 April 2020. Dalam postingannya, dia berharap semangat yang ada lebih baik diarahkan untuk mengkritisi jalannya pemerintahan yang sedang berlangsung, “Anak folk dibilang senja kopi tai kucing juga pada biasa ajah, ga baper, apalagi ngebully ampe ga abis2. Nih ampe ada lagunya. Terus tu yang nyanyi jadi bully gitu? Kaga, biasa aja, ngapain ngabisin tenaga buat gitu2an. Masi banyak yang lebih penting, melawan pemerintah otoriter salah satunya. Yuk lah rock, metal, punk, folk, indie, dangdut, pop cinta, kita gabung lawan kesewenang2an.. mending energinya diarahin ke sana aja bro.”

Selamat refleksi.

 

Sumber Acuan:

Hauskeller, M., 2015. Seni-Apa Itu?. Yogyakarta: PT Kanisius.
Resmadi, I., 2018. Jurnalisme Musik dan Selingkar Wilayahnya. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
https://www.qureta.com/post/fanatisme-yang-terjadi-di-Indonesia-kecintaan-atau-kebodohan
https://m.liputan6.com/showbiz/read/231967/dewa-19-penuh-masalah-sarat-prestasi
https://mobile.twitter.com/anandabadudu?lang=en
https://www.youtube.com/watch?v=7JbZxDydmaw
https://www.youtube.com/watch?v=cS4tVplc91Y

 

Foto: Danny Howe

 

1 comment
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts