Hal Ikhwal yang Berubah selama Ramadan dan Pandemi

Hal Ikhwal yang Berubah selama Ramadan dan Pandemi
Ilustrasi: Arlingga Hari Nugroho

Ramadan sudah memasuki setengah bulan. Sementara, seruan physical distancing rasa-rasanya sudah tiga bulan dijalankan. Beberapa orang mungkin mulai terbiasa. Namun, ada juga yang sudah kehabisan tabungan dan memutar otak untuk dapat terus hidup. Lebaran di depan mata. Sementara, keadaan seperti ini bisa jadi soal lain.

Sebagai orang yang seumur hidup tidak pernah mudik, persoalan Erta Ardheana dan Nugraha Dhayu mungkin selesai sebagian. Yang jelas, puasa kali ini tetap punya ceritanya sendiri.

“Tahun ini beda banget. Tidak ada tarawih dan takjilan. Meskipun sebenarnya saya jarang ikut, tapi merasa nyesel karena tahun kemarin tidak memanfaatkan waktu dan momen yang ada,” kata Erta.

Dhayu merasa suasana bulan puasa tahun ini lebih tentram. Sayangnya, dia harus rela melewati bulan puasa tahun ini tanpa acara buka bersama (bukber) dengan kawan alumni sekolah, karang taruna, dan keluarga besarnya. Sedangkan, menyadran sebagai kebiasaan dari masyarakat, ia lakukan dengan tetap menjaga jarak. Setabuhan, Erta juga tetap membuat kue apem sebagai bagian dari menyadran untuk dibagikan kepada saudara dan tetangga.

Lintang Kumala adalah seorang mahasiswi asal Purbalingga, Jawa Tengah. Mudik kali ini berbeda. Ada harga yang harus ia bayar.

“Selama awal bulan Ramadan ini saya jadi Orang Dalam Pengawasan (ODP). Saya malah diawasi bapak saya sendiri karena beliau jadi anggota satgas. Tanggapan warga sendiri baik karena sudah mendapatkan penyuluhan,” tutur Lintang.

Sebagai informasi, total kasus positif Covid-19 di Kabupaten Purbalingga berdasarkan situs web sampai tanggal 7 Mei ada 32 orang. Sedangkan, total ODP mencapai 2.552 warga. Jawa Tengah sendiri menempati posisi keempat provinsi dengan jumlah positif sebanyak 905 dan ODP 30.975 orang.

Masih bisa pulang sebelum pemerintah memperketat gelombang mudik adalah sebuah keberuntungan. Nyatanya, tidak sedikit yang harus putar balik setelah beratus kilometer meninggalkan tanah rantau. Beberapa memompa adrenalin dengan menumpang angkutan barang sampai truk ekspedisi demi pulang ke rumah. Walhasil, tidak semua berhasil dan sebagian gigit jari di indekos menanti kepastian.

Amry Hidayat punya cerita yang berbeda semasa Ramadan. Dia justru tidak dapat kembali ke tanah rantau karena pembatasan angkutan. Sementara, dia harus berdiam diri di Lampung, kampung halamannya sampai pandemi ini berakhir.

Dari lingkungannya sendiri, tidak dirasakan pembatasan yang ekstrem. Kebanyakan warga masih melakukan kegiatan seperti biasa. Tarawih tetap dilaksanakan tanpa menggunakan pelantang suara. Sementara muda-mudi tetap kekeh ngabuburit tiap sorenya.

Asal tahu, menurut data dari Dinas Kesehatan Provinsi Lampung, hingga 7 Mei terdapat 3.008 orang yang dinyatakan sebagai ODP. Dari jumlah tersebut, 63 orang positif Covid-19.

Amry sendiri lebih suka berada di dalam rumah menghabiskan hari-harinya dengan piranti elektrik yang dia punya. “Biasanya saya membuka media sosial, Instagram. Kadang juga uji nyali melihat video TikTok adik-adik gemas. Mungkin nanti tagihan listrik naik karena punya saya tidak termasuk yang digratiskan pemerintah,” jelas dia.

Erta justru keranjingan resep YouTube dan hobi mendekorasi ulang rumahnya. Sementara, Lintang yang jadi ODP mengaku tidak terlalu ambil pusing.

“Di rumah, saya mengerjakan tugas kuliah, memasak, dan membuat konten puisi. Saya merasa tidak boleh membuang waktu. Maksudnya saya harus mengasah skill agar tetap produktif,” ungkap dia.

Lebaran semakin dekat. Deretan kue-kue kering dan pilihan sulit antara kacang bawang atau kacang mete belum terpikirkan. Erta juga belum punya rencana menjahit baju Lebaran sampai sekarang. Amry mengaku masih akan memakai baju Lebaran yang sama sejak empat tahun lalu.

Dhayu mulai menyusun daftar rigid untuk acara halalbihalal sembari memikirkan ulang untuk mengadakan open house seperti biasa. Berbeda, Lintang justru ancang-ancang beli kuota karena mungkin Lebaran tahun ini akan dihabiskan dengan melepas rindu via video call.

Kenangan tahun ini bisa saja lenyap dalam sekejap dari sebagian ingatan orang-orang. Namun, dapat juga menjadi memori pahit bagi orang terdampak. Yang jelas, kenangan tidak baik tentu dirasakan oleh keluarga yang kehilangan anggotanya karena virus ini. Dilansir dari Tirto.id, sampai dengan 22 April kemarin tercatat 40 tenaga kesehatan meninggal dunia. Selain itu, mengutip dari Kompas.com tanggal 19 April, Kementrian Ketenagakerjaan mencatat setidaknya ada 1,9 juta pegawai yang di-PHK dan dirumahkan.

Di masa depan, bulan puasa kali ini tentu akan menyurihkan cerita. Misalkan seorang anak bertanya, Amry akan bercerita tentang gagalnya pemerintah menahan kepanikan warga selama wabah. Erta mengedepankan pentingnya menjaga kesehatan. Ia juga berpesan untuk selalu jaga-jaga dan punya persiapan finansial misal wabah seperti ini terjadi lagi.

Dhayu, mungkin juga sebagian kita akan berusaha selalu mengingat kejadian-kejadian yang menyenangkan saja. Tentu itu sah-sah saja meski kadang kita tidak berdaya di antara jam dua malam dan tafakur. Pragmatis, Lintang tidak mau bertekuk lutut pada menunggu yang diam saja, Setidaknya, ada sesuatu yang dikerjakan dan memunculkan manfaat.

Selamat berpuasa.

 

Editor: Endy Langobelen

2 comments
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts