Majalah dan Jurnalisme Musik, Fan yang Tercerahkan

Jurnalisme Musik dan Selingkar Wilayahnya

Bicara majalah musik di Indonesia, tak dapat lepas dari majalah Aktuil yang terbit perdana tahun 1967. Meski bukan yang pertama, majalah yang digagas oleh Denny Sabri dan Toto Rahardjo ini menjadi batu penjuru pada zamannya.

Slogan “Majalah untuk Kaum Muda dan Mereka yang Berhati Muda” mampu mendongkrak tiras sebanyak 100.000 eksemplar. Aktuil menjadi salah satu kompas selera anak muda, terutama soal musik rock Barat.

Selain menghadirkan reportase pengalaman langsung menonton konser di luar negeri, Aktuil juga memiliki kolom “Orexas” atau “Organisasi Sex Bebas”. Remy Sylado, sang begawan puisi mbeling, menjadi aktor di belakang meja. Dalam seri tulisan itu, ia menggelontorkan kritik budaya sembari menguleni adonan musik dan puisi agar jadi tulisan yang kalis.

Aktuil juga pernah menulis liputan tentang aksi panggung Ucok AKA (Apotek Kaliasin) yang menyeret peti mati ke atas panggung, juga Micky Jaguar yang mengigit kelinci dan menyesap darahnya di hadapan penonton. Belakangan, melihat Kuburan Band membawa kambing ke atas panggung saja sudah membuat kita geleng-geleng.

Aktuil juga berjasa mengundang Deep Purple konser di Indonesia tahun 1975. Namun, itu ternyata membuat keuangan boncos dan berpengaruh pada kinerja majalah. Pada tahun 1981, Aktuil berhenti terbit.

Pasca Aktuil, tidak banyak majalah yang murni bicara tentang musik. Di antara nama-nama seperti majalah Gadis, Vista, Mode, dan Monitor, majalah Hai jadi yang paling serius menulis tentang musik. Pure Saturday, Puppen, PAS Band, dan Kubik jadi deretan band independen yang berhasil melesat bersama majalah Hai.

Membangun majalah musik tentu membutuhkan jurnalis yang andal. Menurut Idhar Resmadi dalam bukunya, jurnalis musik memiliki banyak perbedaan dengan jurnalis pada umumnya. Jurnalis musik bertumpu pada interpretasi dan penafsiran. Ini membuat tulisannya bersifat subjektif, alih-alih berpusat pada objek seperti jurnalis lainnya.

Belum selesai di sana, jurnalis musik tenyata masih perlu memilih jalan ninjanya. Ada pendapat yang mewajibkan seorang jurnalis musik untuk paham teknis dan seluk-semeluknya. Sementara, ada pula pandangan yang menomorduakan teknis dan menempatkan jurnalis sebagai mediator antara pemusik dan pendengarnya. Singkat kata, jurnalis jadi penyampai pesan musisi.

Nyatanya, menjadi jurnalis musik tidak melulu harus berkerja di konglomerasi media besar. Menghadapi “senja kala media massa cetak”, seorang penulis bisa saja memilih media alternatif, salah satunya zine. Menjadi zinister memungkinkan seseorang menulis dengan lebih intim dan autentik. Beberapa zine yang terkenal misal Tigabelas Zines (Arian13), Membakar Batas (Ucok Homicide), dan Brainwashed Zine (Wendi Putranto). Selain nama itu, tentu masih banyak zine yang perlu disimak.

Setelah sampai di sini saya mulai menyangsikan mimpi Rob Gordon dalam film High Fidelity (2000) untuk jadi jurnalis musik di NME. Apakah menjadi jurnalis musik di 2020 masih merupakan pekerjaan terbaik bagi fan musik?

Yang menarik, buku ini selalu saja berhasil menghadirkan informasi yang padat. Misal, soal perseteruan antara Benny Soebardja penggawa The Giant Step dan Rhoma Irama dengan Soneta-nya pada medio 70-an. Atau, soal ulasan semadyanya Remy Sylado untuk album mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sampai albumnya yang dicatat oleh Museum Rekor-Dunia Indonesia (MURI).

Buku ini tentu saja sangat bergizi untuk dibaca pencinta musik atau bisa jadi secercah cahaya bagi mereka yang bercita-cita jadi jurnalis musik. Seperti seloroh di luar, jurnalis musik adalah fan yang tercerahkan. Namun sebelum itu, coba simak ucapan Frank Zappa berikut.

“Most journalism is people who can’t write, interviewing people who can’t talk, for people who can’t read.”

 

Editor: Endy Langobelen
Foto: Agustinus Rangga Respati

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts