Sejak diundang dalam gelar wicara yang dibawakan penyiar Gofar Hilman, maestro asal Solo Didi Kempot kembali tenar di dunia maya. Lagu-lagunya yang menyayat hati mampu membawa suasana hati seseorang yang tadinya baik-baik saja menjadi galau. Istilahnya, ambyar. Apalagi jika didengarkan dalam sesi curhat semalam suntuk, pasti situasi si penderita patah hati bertambah berantakan.
Setelah penampilan Didi Kempot tersebut, viral sebuah video seorang penonton laki-laki yang menangis sambil menyumpah-nyumpah ketika mendengar lagu yang dibawakan idolanya. Didi Kempot hanya tertawa, “Kelingan (teringat) ini.” Tak heran beliau dijuluki Godfather of The Broken Heart.
Didi Kempot dikenal sebagai seorang penyanyi dan penulis lagu berbahasa Jawa. Seniman kelahiran Solo, Jawa Tengah tersebut dikenal dengan lagu-lagunya yang bertemakan patah hati dan kehilangan cinta.
Lagu-lagu seperti ‘Pamer Bojo’, ‘Suket Teki’, ‘Layan Kangen’, dan ‘Sewu Kutha’ menjadi hits sejak awal kepopulerannya pada 1990-an. Tidak hanya itu, ia sering mengangkat tempat-tempat ikonik suatu kota menjadi judul lagi.
Kira-kira apa yang membuat penampilan Didi Kempot tersebut begitu tenar? Tentu ada lebih dari sekadar solidaritas patah hati yang menyatukan seluruh penggemar Didi Kempot.
Dalam dunia patriarki, tidak hanya perempuan yang dituntut memenuhi standar perilaku tertentu. Meskipun jarang dibicarakan secara gamblang, ternyata masyarakat memberi standar tersendiri untuk dipenuhi laki-laki.
Salah satunya adalah mengenai emosi dan bagaimana mengekspresikannya. Ada perbedaan stereotipe tentang bagaimana layaknya laki-laki dan perempuan mengekspresikan perasaan masing-masing.
Ekspresi emosi lebih sering menjadi milik perempuan. Lebih spesifik lagi, emosi-emosi yang bersifat sensitif dan halus disinonimkan dengan emosi yang feminin. Hal ini kemudian dibiasakan sejak kita kanak-kanak.
Sebagai contoh, anak laki-laki yang menangis akan dimarahi orang tuanya, “Jangan cengeng! Seperti anak perempuan saja,” atau “Laki-laki harus kuat, nggak boleh nangis.” Sebagai anak kecil yang mudah percaya, kita lalu meyakini kebenaran ini.
Menyatakan rasa sakit bagi seorang laki-laki sama saja dengan mengungkapkan kelemahan dan mengasosiasikan diri dengan sifat-sifat feminin. “Kelemahan” ini dianggap akan mengurangi maskulinitas seseorang. Jahat memang, kadang rasa manusiawi dilanggar hal-hal yang telanjur kita anggap rasional.
Ketika seseorang tumbuh dewasa, emosi yang dialami menjadi lebih kompleks. Rasa sakit di lutut karena jatuh di halaman berubah menjadi rasa sakit karena jatuh cinta. Laki-laki yang tidak dibiasakan sejak kecil akan lebih sulit mengekspresikan rasa sedih, patah hati, dan galau. Secara terbuka menangisi kisah cinta mungkin malah akan ditertawakan teman-teman se-tongkrongan.
Baca juga: Selamat Jalan Didi Kempot, The Godfather of Brokenheart
Padahal persoalan hati memang perkara yang pelik sekali. Bukannya mengalami emosi-emosi tersebut hal yang buruk, karena yang lebih penting adalah bagaimana kita mengolahnya. Mengakui dan mengekspresikan emosi tersebut menjadi langkah awalnya.
Lagipula, kemampuan mengolah emosi termasuk dalam kategori kecerdasan tersendiri. Ketika kita masih belajar mengutarakan emosi, di sinilah peran lagu-lagu patah hati muncul.
Melalui liriknya, lagu-lagu Didi Kempot menyediakan sebuah sarana untuk mengekspresikan bagaimana sakitnya patah hati ditinggal kekasih. Ditambah lagi solidaritas para pendengar yang sama-sama memiliki perasaan serupa.
Para pendengar laki-laki yang tidak terbiasa mengungkapkan perasaan kemudian memahami bahwa ada sebuah cara untuk berbagi rasa sakit. Perasaan dapat diverbalkan, bahkan dilagukan. Mungkin juga, disumpah-serapahi. Dengan demikian perasaan tersebut menjadi jelas, nyata, dan manusiawi. Persoalan yang sedemikian rumit menjadi lebih dapat tertanggungkan.
Apakah mengekspresikan perasaan dapat mengatasi persoalan? Tentu tidak. Namun setidaknya memahami perasaan dapat membantu memetakan posisi kita dan bagaimana kita harus mengambil sikap. Kita juga dapat lebih memahami hal-hal apa yang bisa menyakiti maupun menyenangkan kita.
Jadi, bagaimana? Sudah siap belajar memahami dan mengekspresikan emosi? Menonton Didi Kempot bisa menjadi awalnya.
*) Artikel ini pernah tayang sebelumnya di laman pribadi bunga-bahasa.blogspot.co.id.
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto: youtube/ BROTAR