Memandang Masa Depan dalam Jakarta Biennale 2021: ESOK

dok. Agung Kurniawan

Jakarta Biennale 2021 berupaya untuk tetap konsisten menggunakan infrastruktur seni dan budaya secara ideal untuk memandang masa depan.


Seniman menjadi pembawa memori yang berbagi imaji dan narasi dari masa lalu sedangkan seni rupa kontemporer menjadi media di mana memori tersebut ‘berjalan’ melintasi masa dan teknologi: dari narasi lisan, tulisan, film hingga karya seni rupa multimedia

-Wulan Dirgantoro

Sejak pertama kali ikut terlibat dalam proses penanganan karya seni di ruang pameran dan ruang publik, sebuah pertanyaan hadir menyelinap selama mengikuti proses pemasangan karya. Bagaimana pelaku seni melalui karyanya yang telah dikonstruksi dan dikomposisi lalu disuguhkan mampu membangun daya ingat dari sebuah pengalaman?

ESOK adalah tema yang diangkat oleh Jakarta Biennale 2021 dengan berlandaskan perkembangan zaman yang bersifat progresif sampai ke masalah masa lampau yang tak kunjung selesai. Hampir setiap karya yang dipamerkan hadir berdampingan dan relevan dengan peristiwa yang sedang terjadi hari ini di masyarakat. Mulai dari hak asasi manusia, lingkungan, keberagaman, kesetaraan gender, hingga perilaku politik yang mencemaskan. Semua ide-ide itu menyentuh setiap aspek karya melalui lukisan, patung, fotografi, instalasi, video, dan performance. Semua karya berisikan kritik tentang kehidupan hari ini sekaligus sebagai telaah kehidupan di masa yang akan datang. 

Tema “esok” diinisiasikan langsung oleh seniman, kurator, pegiat seni, komunitas dan juga aktivis baik dari Indonesia maupun mancanegara untuk mengkaji lebih dalam dari gagasan itu sendiri. Jakarta Biennale kali ini memilih Dolorosa Sinaga, pematung dan aktivis kemanusiaan sebagai direktur artistik Jakarta Biennale dan bersama direktur eksekutif program, Farah Wardani seorang kurator, sejarawan seni Indonesia dan direktur eksekutif Indonesia Visual Art Archive (IVAA). Dari 71 seniman, masing-masing karya ikumpulkan oleh tiga kurator dari kancah seni rupa kontemporer yaitu, Grace Samboh, Sally Texania, dan Qinyi Lim (Singapura). 

Mengamati setiap karya seni yang dipamerkan dan bekal hasil membaca buku tentang perspektif seni rupa Indonesia, muncul perdebatan perihal gerakan untuk melawan peradaban zaman yang kian hari kian berkembang. Perdebatan itu pun dikaitkan dengan hadirnya fenomena modernisme. Alih-alih mengatakan perdebatan ini pernah menjadi sebuah polemik di kancah seni rupa kontemporer Indonesia, tetapi kemudian polemik ini seolah hilang tanpa jejak seiring munculnya aktivitas berkesenian baru yang datang dari berbagai kelompok/komunitas seni lintas disiplin (dan lintas genre) yang mengangkat beragam isu-isu sosial.

Jika perdebatan itu menjadi sebuah polemik bagi para seniman di Indonesia, pada saat itu pula bisa dikatakan menjadi celah untuk menghasilkan pemikiran kritis kebaruan bagi individu atau kelompok yang mampu mengembangkan ide dan gagasan tentang berkesenian untuk hari ini dan esok. Hendro Wiyanto seorang kritikus seni senior dan kurator seni rupa independen sebelumnya telah membuat pernyataan ini lewat tulisannya yang berjudul Sesudah Keriuhan Posmo. Pandangan tersebut ditulis dengan amatannya sejak awal tahun 2000-an dan dirilis dalam buku Spektrum 2021: Enam Perspektif Seni Rupa Kontemporer Indonesia.

Memasuki atmosfer ESOK, pengunjung ditawarkan pengalaman a posteriori pada setiap karya yang dipamerkan di dalam STOVIA (Museum Kebangkitan Nasional). Di tengah area gedung nan penuh sejarah Indonesia ini, terdapat sebuah karya fotografi dan video dokumenter milik Ary “Jimged”, seniman asal Jakarta yang menyuguhkan sebuah dokumentasi tentang bagaimana budaya masyarakat kota di Timor Leste dalam segi konsumsi. Diikuti pula dengan perubahan sosial budaya yang berubah secara cepat.

Karya Ary “Jimged” (dok. Agung Kurniawan)

Karya ini dipamerkan di dalam ruangan layaknya ruang tamu pribadi lengkap dengan sofa dan meja yang berisikan buku, koran, dan kumpulan foto-foto budaya kota setempat. Karya Jimged ini berangkat dari pengamatannya selama melakukan riset lapangan dengan menawarkan perspektif yang berbeda lewat media rekam gambar yang dibumbui dengan ilmu sosial, politik, geografis, dan sejarah.  

Selain itu, di ruang lain bagian hook museum terdapat sebuah karya milik seniman asal Austria, Ines Doujak. Ia mencoba mengupas bagaimana sejarah kelam akhirnya mewariskan sebuah konflik budaya, seperti rasisme dan diskriminasi gender. Dia menyuguhkan karya berupa material kertas yang berisikan literasi tentang konflik di berbagai negara. Ines juga menampilkan 10 patung manekin yang menggunakan kaos berisi kutipan soal pengambilan lahan dan pengusiran yang tidak bermoral oleh perusahaan dan investor. Selain itu, dia juga berkolaborasi bersama komunitas batik di Majalengka. Karya Ines hadir dalam upaya memantik diskusi tentang masa depan milik bersama yang akan tiba dalam waktu dekat.

Karya Ines Doujak (dok. Agung Kurniawan)

Kutipan-kutipan ini diberikan guna memperjelas bahwa perebutan dan pengusiran yang tidak bermoral terhadap populasi pedesaan di seluruh dunia oleh perusahaan, negara bagian, dan investor adalah fenomena yang sangat tematik. Fragmen lain dari perampasan tanah yang dirujuk dalam karya ini adalah perusakan keanekaragaman hayati global melalui kebangkitan monokultur yang berdampak buruk bagi rakyat dan ekologi. 

Selain itu juga Jakarta Biennale tahun ini menghadirkan forum jejaring pertemanan yang dibentuk oleh KUNCI Study Forum and Collective. Sebuah platform bernama Ufuk yang dibantu oleh Yayasan Tonjo Foundation (Tonjo) dengan menawarkan refleksi baru perihal ekonomi yang kini kerap menjadi persoalan penyelenggaraan pameran seni. Tawarannya adalah amplifikasi inisiatif kebaruan dalam upaya mendorong praktik perputaran pendapatan untuk para pedagang di Yogyakarta.

Tanpa kehadiran mereka tujuan redistribusi sumber daya tak akan bisa berjalan. Ini juga bentuk kesadaran bahwa ada kebutuhan akan oase di tengah artikulasi seni rupa yang terkesan rumit di tengah masyarakat awam. Dalam kesempatan ini KUNCI mengandalkan kegiatan sayembara hingga permainan lotre untuk menjadi sarana artikulasi dan kebetulan ruang bermain Tonjo adalah tongkrongan seni, maka hal yang mereka lakukan dapat dikatakan sebuah kegiatan berkesenian. Menurut Tonjo, dengan cara ini mereka dapat mendekatkan masyarakat pada seni dan begitupun sebaliknya mendekatkan seni pada masyarakat.

Karya Ufuk (dok. Agung Kurniawan)

Jakarta Biennale 2021 berupaya untuk tetap konsisten menggunakan infrastruktur seni dan budaya secara ideal. Oleh karena itu, tahun ini ESOK menjadi penutup tahun 2021 sekaligus juga menjadi pembuka tahun 2022 untuk menawarkan gagasan-gagasan relevan terkini dalam cakupan nasional dan internasional. 

Bicara hari esok adalah bicara sebuah perubahan dan untuk mewujudkannya, mengutip sebuah kalimat milik Dolorosa Sinaga, “seni harus berada di barisan terdepan”. 

 

Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto: M. Agung Kurniawan

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts