Sejak pandemi melumpuhkan persendian ibu pertiwi, semua hal dipaksa berhenti dan jalanan mendadak lebih sepi, termasuk pula Ciputat. Mahasiswa yang kebanyakan pendatang dari luar daerah, pulang ke kampung halamannya.
Kos dan kontrakan kosong di mana-mana. Fenomena yang barangkali terjadi seratus tahun sekali. Pada saat normal, kawasan sekitar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tak ubahnya pasar yang tidak pernah kehilangan pembeli: selalu ramai dan berisik.
Setelah pandemi usai, hal ini turut berdampak pada beragam kegiatan kajian dan diskusi sastra. Mahasiswa kinyis-kinyis generasi pandemi, rupanya tak begitu berminat melanjutkan marwah mazhab Ciputat yang dikenal penuh dengan dialektika, terutama dalam bidang kebudayaan dan sastra.
Pandemi, rupanya mematikan nalar dan hanya membuat otot sebagian mereka semakin membesar. Setidaknya, dibuktikan dengan adanya video viral perhelatan adu jotos dalam konflik pemilihan umum raya mahasiswa di depan student center.
Apalah itu berpikir dan diskusi. Jadul. Berantem, dong!
Saya masih ingat sekali, bagaimana di tahun-tahun sebelum pandemi, forum-forum diskusi sastra begitu marak diadakan. Kita dapat menjumpai dengan mudah kajian berskala kecil yang dilakukan—sebab ruang kelas, terlalu ringkas untuk membicarakan hal-hal yang kompleks.
Sebut saja beberapa misalnya, Majlis Kantiniyah yang mengadakan diskusi pada senin sore di lobi barat Fakultas Tarbiyah. Formaci setiap selasa malam di Aula jalan Semanggi. Rusabesi setiap Kamis sore di selasar Fakultas Adab. Ini hanya beberapa saja di antaranya dan masih ada banyak kajian lain yang tak tersebutkan.
Saya tidak sedang ingin membangun glorifikasi atau cengeng meromantisasi masa silam. Setiap masa memang memiliki tantangannya tersendiri. Namun, tidak keliru rasanya jika kita berupaya mengembalikan perlahan apa yang telah menjadi ciri khas identitas mahasiswa UIN Jakarta: Kajian dan Diskusi.
Daerah Istimewa Ciputat dan Sekitarnya
Ciputat dianugerahi banyak sastrawan yang bertempat tinggal sepelemparan batu dari UIN Jakarta. Jika ditempuh dengan Mio karbu keluaran 2008, tidak memakan waktu sampai 7 menit untuk mencapai pagar rumah mereka.
Sastrawan tersebut mulai dari mereka yang telah almarhum seperti Sapardi Djoko Damono dan Danarto, hingga nama-nama besar lain yang masih eksis malang melintang sampai hari ini di dunia sastra seperti Putu Wijaya, Eka Kurniawan, dan Seno Gumira Ajidarma.
Namun, keberadaan mereka hanya romantisme belaka. Tidak lebih, bahkan banyak yang tidak tahu. Keistimewaan kelurahan ini tidak juga menjadi dorongan bagi sebagian mahasiswa lebih merasa dekat untuk membaca, membicarakan, atau mengkaji lebih jauh karya-karya mereka dalam ruang-ruang diskusi.
Selain novel, cerpen, dan puisi sastrawan kenamaan kita itu hanya sekadar dijadikan bahan tugas-tugas atawa korpus skripsi mahasiswa sastra tingkat akhir yang dikerjakan setengah hati.
“Saya lebih 20 tahun tinggal di sini. Tetapi, saya tidak pernah mendapatkan undangan bicara di UIN Jakarta,” keluh Sapardi, penyair kita tercinta. Hal tersebut diutarakannya di penghujung tahun 2014, ketika saya berkesempatan ngobrol berdua di ruang tamu rumahnya bernomor 113, Kompleks Dosen UI.
Barangkali, ini merupakan salah satu hal yang amat disesalkan oleh Sapardi, bahkan sampai akhir hayatnya. Dapat dipastikan, hampir setiap hari ia melewati UIN Jakarta. Saya pun tidak pernah tahu, mengapa sivitas Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Jakarta, belum sempat merencanakan untuk mengundangnya.
Padahal, mengenai budget, menurutnya, masih bisa dibicarakan dan disesuaikan. Nampaknya, Sapardi juga tidak mau repot soal itu, selain kecenderungannya belakangan yang ingin bersenang-senang dengan membagikan pengetahuan dan pengalamannya.
Kita beralih dari keluhan Sapardi di atas, serta kajian dan diskusi yang terkesan serius.
Perhelatan bergenit-genit menghidupkan sastra—dengan segala kelebihan dan masih banyak kekurangannya—pun belakangan ini nampaknya belum juga muncul. Beruntung, kekeringan iklim bersastra ini terselamatkan dengan adanya dua agenda resmi tahunan, di dalamnya memuat agenda apresiasi sastra dalam bentuk kegiatan Pestarama dan Pekan Kebudayaan Nasional yang digagas PBSI UIN Jakarta beberapa waktu lalu.
Di luar itu, pasca pandemi, banyak kafe baru bermunculan; penuh kerlip lampu estetik dan lahan parkir yang berdesakan. Kafe-kafe itu tumbuh serupa jamur setelah musim penghujan. Namun, keramaian mahasiswa di kafe penuh jejal itu tak sebanding dengan kegiatan di dalamnya. Sejauh ini, belum juga terlihat ada kegiatan berbau sastra dikirim di grup Whatsapp, atau yang tersebar melalui poster digital.
Saya pernah menelusuri secara aktif sekitar tahun 2017 hingga 2019, perhelatan sastra yang diadakan di kafe-kafe sekitar Ciputat-Pamulang. Ada banyak kafe yang cukup rutin mengadakan agenda bulanan seperti Malam Puisi, Musikalisasi Puisi, dan Diskusi Karya.
Penggeraknya dahulu, sejauh yang saya amati, rata-rata diinisisasi oleh komunitas mahasiswa UIN Jakarta dan Universitas Pamulang yang kini tentu saja sudah menjadi alumni dan bekerja entah menjadi apa. Sedangkan hari ini, adik-adik mahasiswa kita tercinta lebih suka berlomba-lomba memantau jadwal tiket festival musik paling murah di bulan depan.
Menyaksikan Tulus dan Nadin Berpuisi
Saya berprasangka, kecintaan mahasiswa UIN Jakarta terhadap sastra telah bergeser kepada jenis yang lebih populer, yakni festival musik.
Tulus dan Nadin Amizah adalah dua sosok penyanyi yang sering kali saya jumpai dalam pemantauan saya di instastories mereka. “Rayuan Perempuan Gila” dan “Hati-Hati di Jalan” berhasil menjadikan mereka merayakan kata-kata penuh metafor secara berkesadaran. Menjadikan mereka penyair baru dalam bentuk lain.
Coba saja kita telaah secara singkat potongan lirik mereka, “Kukira kita asam dan garam / Dan kita bertemu di belanga” atau “Panggil aku, perempuan gila / Hantu berkepala, keji membunuh kasihnya”, selain kuat secara musikal, lirik semacam ini juga kuat sebagai puisi.
Begitulah di Jakarta sendiri, festival musik seperti tidak pernah selesai. Selalu ada. Tidak cukup sepuluh jari untuk mengurutkannya. Asalkan uang kiriman dari orang tua di kampung dapat sedikit diakali dengan cara mengorbankan menu makan yang seadanya, hanya orek tempe dan nasi satu kali sehari, mereka bisa datang dan bergembira menyaksikan festival-festival musik itu.
Fenomena semacam ini sebetulnya patut disyukuri. Tulus dan Nadin hanya dua di antara sekian banyak musisi yang memiliki lirik lagu yang puitis. Kita bisa menyebut nama lain seperti: Yura Yunita, Dere, Kunto Aji, Raisa Anggiani, dan lainnya.
Mahasiswa menjadi tidak anti dengan puisi, tidak lagi berjarak dengan ungkapan yang terkesan rumit. Bahkan, mereka mengklaim kepada sejawatnya, “Gue anaknya nyastra banget, Cuy.”
Walakin, yang menjadi persoalan kemudian adalah sejauh mana para mahasiswa dapat terlibat dalam ekosistem sastra itu sendiri. Sastra yang hadir di rumah sendiri.
Sebab, mereka yang terdidik hanya menjadi konsumen belaka, bukan pelaku yang seharusnya produktif. Saya meyakini, mereka memiliki potensi untuk tampil sebagai kritikus, cerpenis, penyair, atau bahkan musisi yang jauh lebih aduhai.
Selain menghidupkan lagi ruang diskusi sastra yang sehat, apresiasi terhadap karya-karya mahasiswa, apapun jenisnya, mestilah diperbincangkan. Meski mulanya hanya impresi teknis semata karena perbedaan tingkat pengetahuan hingga masuk pada teori dan wacana yang menyertainya.
Mahasiswa senior, tidak perlu sok bayem sore. Sedangkan yang junior, harus tahu diri dengan terus merawat rasa ingin tahu yang besar.
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: redaksi sudutkantincom
1 comment